Terasing
Jauh di suatu pulau kecil terasing dari bentang luas samudra. Tidak jelas siapa penduduk aslinya. Yang pasti pulau ini tak pernah sepi dari jamah manusia yang melintas. Entah itu karena tugas negara, berlibur atau melarikan diri.
"Pulau ini selalu ingin menarikku untuk tetap tinggal," katamu seraya menarik tali ayunanku.
"Rayuan apalagi sekarang? Aku bersumpah tidak akan tertipu lagi," sungutku ketus.
"Ah! Rayuan apa? Kamu tahu aku tak pandai merayu. Aku sungguh suka pulau ini terlebih ada kamu, gadis manis buah hati pemilik bibir pantai." Wajah genitmu sudah ada di hadapanku sekarang.
"Sudahlah... aku muak denganmu. Kamu hanya memperalatku untuk bersembunyi dari kejaran sekelompok mafia itu kan? Ditambah lagi, siapa kemarin lalu meneriaki rumahku. Istrimu keberapakah itu? Menyesal aku mengenalmu. Kamu kuras pulau dan apa-apa milikmu," kesal bicaraku. Aku dorong tubuh kekarmu dengan sekuat tenaga. Kemudian berlalu pergi.
"Bukankah kamu juga menikmatinya," celotehmu terkekeh.
"Menikmati apa?" tolehku tanpa berhenti.
"Kebersamaan kita... haha..."
Sungguh suara tawamu membuatku mual. Aku menyesal sampai ubun-ubun. Pelet apa yang sudah membuatku takluk padamu saat itu. Aku bersumpah tidak akan tertipu lagi.
Di sepanjang perjalanan pulang banyak pasang mata menatapku diam-diam. Berbisik. Mengikuti setiap arah gerakku. Tentu aku merasa, ada hal aneh terjadi.
Terang saja. Setiba di rumah, aku temukan tulisan besar dengan cat berwarna merah di pagar kayu 'GADIS PENGHUNI RUMAH INI SUDAH RESMI MENAWAN HATIKU ~ MAD MAN'.
"Dasar lelaki gila!" Pekikku seraya masuk mencari apapun untuk menghapus.
Ini sudah tulisan kesekian yang dia buat. Selain itu, ada lagi bunga, coklat, boneka dan barang aneh lain yang dia bawa entah dari negeri mana. Tidak sesuai tradisi, maka jadilah aku bahan perbincangan warga. Tidak berhenti sampai di situ, penderitaanku juga bertambah lantaran aku diusir dari rumah oleh kedua orang tua. Katanya aku bukan lagi bagian dari mereka sejak wanita gila meneriaki rumah kami.
Sekarang sudah tidak bisa lagi dibiarkan. Nama baik, kehormatan keluarga, harga diri dan ketenangan hidupku harus aku rebut kembali. Akan aku usir dia jauh hingga alam baka.
Keesokan pagi. Warga sudah begitu ribut. Mengalahkan kokok ayam saat fajar. Pulau ini memang teramat kecil untuk menyembunyikan sesuatu. Samar aku dengar nama lelaki gila itu disebut. Ada apa gerangan? Aku bergegas.
Tidak perlu waktu lama dan tanpa bertanya pada siapapun, aku sudah tahu kemana arah tujuan berita ini. Tentu pantai itu. Deru ombaknya masih berlomba mengikis pasir pantai. Anginnya masih acuh membawa dingin, mengayun kencang ayunan tanpa penghuni, menyapu kulit dan menyeruak biadap di kedua lubang hidung.
Tepat di atas salah satu perahu nelayan yang tertambat kencang pada pohon kelapa, rebah tubuh seorang wanita. Rambut hitam panjangnya terombang-ambing mengikuti riak air. Baju putihnya bercorak merah di sekitar punggung.
Aku mulai tidak bisa melihat jelas. Terlalu banyak kerumunan manusia. Ditambah sinar matahari terbit begitu terik membuat tubuhku menguap.
"Anakku...." Lautan manusia membuka jalan untuk sepasang suami istri tua.
"Ayah? Ibu?" Aku heran pada apa yang mereka lakukan.
Fajar semakin terik menyilaukan pandanganku. Tubuhku memanas. Kerumunan manusia semakin meluas. Aku berjalan di rongga-rongga yang tersisa. Penasaran dengan apa yang terjadi di muka.
Benar. Mereka orang tuaku. Apakah?
Tubuh bersimbah darah di atas perahu itu adalah aku. Aku mati? Bagaimana bisa? Bukankah semalam seharusnya aku bunuh lelaki gila itu? Kenapa justru mayatku yang ditemukan pagi ini?
"Hahaha... Lena... Sudah aku katakan pulau ini selalu memikatku untuk kembali. Ditambah lagi karena ada kamu. Kenapa kamu malah berniat membunuhku? Tapi tubuh indahmu. Bagaimana bisa Lena?" Tangis lelaki gila pecah diselingi tawa menyebalkan. Tubuhku tertembus oleh tubuh kekar itu.
Aku mati.
"Pulau ini selalu ingin menarikku untuk tetap tinggal," katamu seraya menarik tali ayunanku.
"Rayuan apalagi sekarang? Aku bersumpah tidak akan tertipu lagi," sungutku ketus.
"Ah! Rayuan apa? Kamu tahu aku tak pandai merayu. Aku sungguh suka pulau ini terlebih ada kamu, gadis manis buah hati pemilik bibir pantai." Wajah genitmu sudah ada di hadapanku sekarang.
"Sudahlah... aku muak denganmu. Kamu hanya memperalatku untuk bersembunyi dari kejaran sekelompok mafia itu kan? Ditambah lagi, siapa kemarin lalu meneriaki rumahku. Istrimu keberapakah itu? Menyesal aku mengenalmu. Kamu kuras pulau dan apa-apa milikmu," kesal bicaraku. Aku dorong tubuh kekarmu dengan sekuat tenaga. Kemudian berlalu pergi.
"Bukankah kamu juga menikmatinya," celotehmu terkekeh.
"Menikmati apa?" tolehku tanpa berhenti.
"Kebersamaan kita... haha..."
Sungguh suara tawamu membuatku mual. Aku menyesal sampai ubun-ubun. Pelet apa yang sudah membuatku takluk padamu saat itu. Aku bersumpah tidak akan tertipu lagi.
Di sepanjang perjalanan pulang banyak pasang mata menatapku diam-diam. Berbisik. Mengikuti setiap arah gerakku. Tentu aku merasa, ada hal aneh terjadi.
Terang saja. Setiba di rumah, aku temukan tulisan besar dengan cat berwarna merah di pagar kayu 'GADIS PENGHUNI RUMAH INI SUDAH RESMI MENAWAN HATIKU ~ MAD MAN'.
"Dasar lelaki gila!" Pekikku seraya masuk mencari apapun untuk menghapus.
Ini sudah tulisan kesekian yang dia buat. Selain itu, ada lagi bunga, coklat, boneka dan barang aneh lain yang dia bawa entah dari negeri mana. Tidak sesuai tradisi, maka jadilah aku bahan perbincangan warga. Tidak berhenti sampai di situ, penderitaanku juga bertambah lantaran aku diusir dari rumah oleh kedua orang tua. Katanya aku bukan lagi bagian dari mereka sejak wanita gila meneriaki rumah kami.
Sekarang sudah tidak bisa lagi dibiarkan. Nama baik, kehormatan keluarga, harga diri dan ketenangan hidupku harus aku rebut kembali. Akan aku usir dia jauh hingga alam baka.
Keesokan pagi. Warga sudah begitu ribut. Mengalahkan kokok ayam saat fajar. Pulau ini memang teramat kecil untuk menyembunyikan sesuatu. Samar aku dengar nama lelaki gila itu disebut. Ada apa gerangan? Aku bergegas.
Tidak perlu waktu lama dan tanpa bertanya pada siapapun, aku sudah tahu kemana arah tujuan berita ini. Tentu pantai itu. Deru ombaknya masih berlomba mengikis pasir pantai. Anginnya masih acuh membawa dingin, mengayun kencang ayunan tanpa penghuni, menyapu kulit dan menyeruak biadap di kedua lubang hidung.
Tepat di atas salah satu perahu nelayan yang tertambat kencang pada pohon kelapa, rebah tubuh seorang wanita. Rambut hitam panjangnya terombang-ambing mengikuti riak air. Baju putihnya bercorak merah di sekitar punggung.
Aku mulai tidak bisa melihat jelas. Terlalu banyak kerumunan manusia. Ditambah sinar matahari terbit begitu terik membuat tubuhku menguap.
"Anakku...." Lautan manusia membuka jalan untuk sepasang suami istri tua.
"Ayah? Ibu?" Aku heran pada apa yang mereka lakukan.
Fajar semakin terik menyilaukan pandanganku. Tubuhku memanas. Kerumunan manusia semakin meluas. Aku berjalan di rongga-rongga yang tersisa. Penasaran dengan apa yang terjadi di muka.
Benar. Mereka orang tuaku. Apakah?
Tubuh bersimbah darah di atas perahu itu adalah aku. Aku mati? Bagaimana bisa? Bukankah semalam seharusnya aku bunuh lelaki gila itu? Kenapa justru mayatku yang ditemukan pagi ini?
"Hahaha... Lena... Sudah aku katakan pulau ini selalu memikatku untuk kembali. Ditambah lagi karena ada kamu. Kenapa kamu malah berniat membunuhku? Tapi tubuh indahmu. Bagaimana bisa Lena?" Tangis lelaki gila pecah diselingi tawa menyebalkan. Tubuhku tertembus oleh tubuh kekar itu.
Aku mati.
Komentar
Posting Komentar