Konsekuensi

Tidak akan sama lagi. Karena apa yang kalian goreskan sudah membuat jejak pada kertas ini. Kami pikir memberi kalian kesempatan adalah cara kami berbakti kepada-Nya. Kemudian kalian pongah. Ketika kamilah yang membuat kalian berkuasa, kalian justru menjual aset-aset kami. Aset yang mestinya kita kelola bersama.

Kami hanya meminta kalian mewakili kami, bukan menjual harga diri kami. Sehingga kami menjadi pembantu di rumah kami sendiri. Atau kami membereskan semua muntahan mereka. Bahkan terkadang memakannya demi mengisi perut kami yang lapar. Sementara kalian menikmati suapan racun dengan topping kenikmatan dari mereka. Inikah balasan kalian kepada kami?

Aah... apalah kami. Hanya kerumunan sampah yang mengganggu kalian. Atau hama yang menahan pertumbuhan kalian. Baiklah musnahkanlah saja kami jika sudah tidak ada arti kami bagi kalian. Biarkan kami menjerit sendiri dalam kardus usang di bawah tumpukan harta yang kalian miliki. Mungkin ini cara Tuhan agar kami lebih dekat dengan Nya. Bahwa tidak ada tempat berlindung selain berlindung memohon kepada-Nya.

Dalam perangkap kardus ini, kami semakin melemah. Tidak banyak lagi udara di dalamnya. Sementara kalian terus menjejalkan manusia yang tak berarti lagi seperti kami. Sudah tidak ada lagi ruang untuk kami bergerak. Tidak ada lagi makanan. Tidak ada lagi dinding kosong untuk bersandar dan menggantungkan harapan.

Aah... harapan. Kata semu yang tidak kunjung datang. Seperti roda yang berputar, kondisi kami tidak pernah menanjak ke atas. Mungkin roda itu sudah berhenti. Atau seperti matahari yang timbul dan tenggelam, tapi kondisi kami selalu tenggelam dan tidak pernah timbul lagi. Mungkin kiamat sudah bagi kami.

Kami mulai tergusur ke pinggiran. Kalian mempermainkan kami? Berkata atas nama pembangunan. Pembangunan mana yang dibangun atas dasar tangis pesakitan kami? Berkata bahwa ini untuk kebaikan kami. Kebaikan mana yang memisahkan keluarga dari rumahnya? Berkata bahwa kami akan ditempatkan di rumah yang lebih layak. Rumah seperti apa yang membuat kami selalu bermimpi buruk setiap saat bisa dilempar ke jalan jika tidak patuh. Rumah seperti apa jika tidak pernah ada hak kami seutuhnya di sana? Rumah seperti apa jika hanya membuat kami terus berhutang budi tanpa pernah diberi solusi untuk membayarnya?

Beginilah hidup kami sekarang. Tepat dalam penggambaran hidup enggan mati tak mau. Ooh... rasanya justru kami ingin mati saja tapi ada amanah hidup yang harus kami tuntaskan. Meskipun hidup penuh kesesakan. Namun memilih mati adalah pilihan bodoh. Jadi biarlah kami hidup mengganggu kalian. Biarlah kami hidup terinjak dan membersihkan muntahan mereka. Inilah konsekuensi kami memberi kalian kesempatan.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

EOA GOLD, Investasi Emas Dunia Akhirat

Mengenal Sereal Umbi Garut, Manfaat, dan Cara Mengonsumsi

Unlogic Birth dalam Al Quran