Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2017

Pesan

Lumajang, 26 September 2015             Mentari masih di ujung fajar. Lamina belum sanggup melengserkan embun. Garis lurus gelap dan terang abadi menjadi lukisan pemandangan yang selalu aku nanti.             Aku sudah siap bersama toga di kepala. Begitu juga Ibu. Tersisa Bapak. Sibuk dengan bentuk dasi diantara kerah kemeja biru yang dikenakannya. Tumben.             Ini pertama kali, aku melihat Bapak bersetelan jas hitam. Rambut hitam dengan sedikit uban berhasil disisir rapi berkat bantuan sedikit minyak orang aring . Sepatunya pun mengilap akibat digosok semalaman. Bapak memang gagah. Pantas Ibu rela hatinya tertawan.             “Ayo berangkat! Mobil jemputan Tuan Putri sudah menunggu di depan,” ujar Bapak seusai menutup sebuah telepon.             Seketika aku menoleh keluar jendela. Mobil sedan hitam baru saja berhenti tepat di pagar rumah kami. Aku kembali menoleh pada Ibu dan Bapak secara bergantian. Bertanya-tanya.             “Kata Bapakmu, sekali-kali arep bua

Misteri Tugu Kali Bekasi

Ketika Bulan Oktober tiba, segeralah bersiap melihat banyak orang asing terutama berkebangsaan Jepang mondar-mandir di Kota Bekasi. Kota yang terkenal sebagai Kota Patriot ini ternyata memiliki kisah tidak terduga. Mereka, orang Jepang, akan mulai menaburkan bunga di beberapa situs bersejarah. Meskipun banyak juga yang menyebutnya sebagai situs-situs angker di Kota Patriot. Salah satunya adalah di Tugu Kali Bekasi. Tugu Kali Bekasi terletak pada samping sebelah barat jembatan Kali Bekasi di Jalan Ir H Juanda. Bagian bawah Tugu terdapat relief yang menceritakan kisah berdarah di tahun 1945 silam. Konon katanya pada 19 Oktober 1945 telah terjadi pembantaian terhadap 90 tentara Jepang. Tentara Jepang direncakan akan diterbangkan melalui Bandara di Subang. Namun, ketika kereta yang mereka tumpangi melewati Bekasi, para patriot Indonesia sudah siap menghadang. Pembantaian tidak terelakkan. Mayat-mayat dipenggal kepalanya lalu dibuang langsung di Kali Bekasi. Seketika Kali Bekasi di

Doaku Semalam

Engkau tahu Tuhan, akhir-akhir ini doaku lebih banyak dan panjang. Kata Ustad, kalau sedang berdoa jangan lupa tanamkan dalam hati bahwa Tuhan akan malu melihat kita menengadahkan tangan tinggi-tinggi memohon, sementara Engkau tidak mengabulkannya. Maka sejak hari itu, aku berdoa banyak-banyak, apapun yang terlintas dalam pikiran, aku ucap bersama tetesan air mata. Kemudian beberapa hari yang lalu, doaku memendek. Bukan karena semua doaku sudah terkabul atau aku tidak lagi percaya pada-Mu. Bukan itu. Namun, karena aku mulai minder terus meminta. Lantas tidak ada perubahan lebih baik pada diriku. Aku paham sekali banyak kewajiban, sebagai hak-Mu, tidak aku laksanakan dengan tepat. Aah... Sungguh aku termasuk orang merugi! Jadi Tuhan, aku mohon maaf! Jangan salah keliru. Engkau tetap nomor satu bagiku! Percayalah! Seperti doaku semalam. Aku ingat betul. Sengaja aku pasang dekat-dekat alarm agar terbangun di sepertiga malam-Mu. Sudah aku siapkan. Bagaimanapun aku tidak bisa untuk t

Membangunkan Mimpi

"Duh... Pagi gini udah berkhayal. Ayo sadar! Ada realita hidup yang minta ditawan Sang Penulis," sambar Nina membuyarkan lamunan. "Iih... Buat kaget saja. Nyebelin!" Amukku. "Kenapa? Berimajinasi lagi pergi ke negeri Sakura? Aah... Kamu ini. Mandi sana!" "Lusa pengumuman kuis. Doakan lolos ya!" Kataku sambil berlalu. Aku tidak bisa tidur. Mataku terpaku tidak mau beranjak dari layar komputer. Masih menanti dengan penuh harap. Memori ingatanku beranjak pada ruang perkuliahan seminggu yang lalu. Ketika itu, salah satu Profesor tercerdas, menurutku, berdiri gagah di tengah ruangan. Menunjuk satu per satu wajah kami secara bergantian. "Kalian! Mental tempe! Dipikir revolusi hanya kelakar ideologi? Atau demokrasi serupa topeng penguasa sejati. Dibandingkan berteori hanya duduk diam di sini. Kalian pasti juga jengah melihat kondisi negera saat ini. Sekarang saya bubarkan kuliah. Berhamburanlah kalian ke pelosok negeri bila kurang refer

Mencemburui Sang Surya

Genap sebulan. Tumben sekali kamu tidak angkuh memamerkan panasmu yang membara itu. Biasanya kamu diktator membuatku terus merunduk atau melipir di bawah bayangan-bayangan ketika tengah hari terpaksa harus berada di luaran. Aneh rasanya, kali ini congkakmu pudar tak mampu menembus tebalnya awan. Bahkan sekedar salam panorama di akhir senja pun tidak. Ada apa gerangan? Kamu yang luar biasa disiplin beredar sesuai perhitungan. Malah enggan terbit di ufuk surya membangunkan. Apalah yang hendak kamu rencanakan? Tolong jangan berkata bahwa kamu lelah bersinar. Aku mohon jangan mulai berbisik poros tarikmu melemah menjaga keseimbangan Bima Sakti. Dan janganlah mengiba karna mungkin tidak banyak lagi wajah penuh harap setiap kali kamu datang menawarkan kesempatan. Ooh... Mungkinkah aku sudah berhasil mencemburuimu? Tepat sebulan lewat sehari yang lalu, saat aku pandangi panorama senja karena ulahmu. Aku tertegun membisu. Apakah kamu ciptaan Tuhan paling ajaib? Di Padang Mahsyar nant

Ke(tak)berdayaan

Pemerintah kadang keterlaluan. Sembarangan menunjuk tanpa aturan. Tahu apa yang kalian tunjuk, kadang harta berharga kami yang tak bernilai. Aah... Tapi apa daya kami. Hanya makhluk jelata tak berarti. Menghalangi berarti mati. Melawan berarti menghilang. Aah... Sekali lagi apalah daya kami. Kalian sudah seperti Tuhan saja yang tidak bisa ditolak keinginannya. Atau seperti penyihir yang banyak kutukan bila tidak terturut kemauannya. Seumpama buah, kamilah yang busuk itu. Seumpama makanan, kamilah yang basi itu. Seumpama sampah, kamilah kotoran itu. Tidak mengapa. Jujur tidak mengapa. Lakukanlah apa yang kalian suka. Perbuatlah yang kalian kehendaki. Jika derita kami adalah tawa kalian. Hiduplah dengan hujatan kami dalam kebisuan. Jika jerit tangis kami adalah sumber semangat kalian. Sehatlah dengan ledakan doa kami pada bisikan di setiap sujud malam.

Berandal Cilik-1

                “Lihat dong, Cu! Gitu amat sama teman!”             Akhirnya Incu, panggilan tenar, menoleh. Setelah beberapa kali tendangan didaratkan pada kaki kursinya. Alih-alih membantu, Incu malah tersenyum meledek. Kembali khusuk menjawab soal ujian.             “Udahlah enggak temenan kita!” Kibo menjadi penghuni terakhir yang keluar dari ruang ujian.             Kedua sahabatnya, Incu dan Cungkring, telah siap menanti di depan pintu. Macam artis saja Kibo ini. Setiap gerak-geriknya diawasi. Apalagi setelah Cungkring memutuskan untuk menyerahkan lembar jawaban kepada pengawas dalam kondisi setengah bersih.             “Lu pikir gue paham Bo? Sana lihat lembar jawaban gue, isinya gambar Pak Mamat. Hahaha...” Gelak tawa Incu menyambut Kibo yang kali ini rambutnya 10 kali lebih kribo. Cungkring pun ikut tertawa.             Ketika di perjalanan menuju kantin.             “Kring! Sari tuh!” Kibo menunjuk seorang wanita cantik sedang berjalan, melenggak-lenggok bak

Mengertilah, Aku Butuh Lebih Banyak Waktu

Maafkan aku! Ketika kamu datang membawa cinta. Aku tidak menyambutmu dengan hangat. Aku justru menghardikmu kuat-kuat. Memaksamu pergi ke sudut ruang hatiku. Meskipun masih di dalam ruang hatiku. Namun, aku letakan kamu jauh pada hitungan kesekian. Bahkan presensiku tidak pernah sampai pada urutanmu. Meski demikian aku tetap menyimpanmu. Membiarkanmu berangsur naik pada urutan agak atas. Mungkin aku terlihat kejam. Tetapi percayalah aku tidak sekejam itu. Aku pun berusaha bersikap seadil mungkin terhadapmu. Kamu tahu kenapa? Karena firasatku berkata cinta yang kamu bawa berbeda. Bersabarlah sebentar! Jangan bernafsu pergi sebelum kamu mengenal ruang-ruang pesakitan di hatiku. Atau taman-taman megah yang aku sengaja bangun khusus untuk seseorang. Aku masih berharap kamu tinggal lebih lama. Karena ada bisikan bahwa seseorang itu kamu. Walaupun di sisi lain separuh jiwaku mengingatkan untuk terus waspada. Mengertilah, bahwa aku butuh lebih banyak waktu untuk melawan separuh jiwa w

Berdamai Pada Kenyataan

Sudah sepekan gelisah ini melanda. Resah tiada tara. Bukan karena tugas menggunung atau kantong kering. Namun, pada sebuah pengharapan yang tidak kunjung datang. "Kalimat saktinya hanya dua!" Kata seorang kawan mengingatkan. "Luruskan niat. Sempurnakan ikhtiar," lanjutnya. Aku tidak terlalu paham maksudnya. Hanya saja, pribadiku yang menyukai hal baru ini berhasrat untuk mencoba. "Tanamkan dalam hati, hajatkan!" Gumamku setiap pagi pada cermin. Kemudian hari berlalu lebih baik. Harapku menjadi lebih terang. Aku semangatkan lagi diriku. Aku pompa juga asaku. Tenggat waktu hampir tiba. Perlahan dan pasti pengharapan yang menemani justru lenyap tidak terkendali. Meskipun begitu, yang sudah aku mulai harus aku akhiri. Tiba dihari penentuan. Semakin tidak ada tanda hadir untuk pengharapan. Walaupun niat sudah aku luruskan. Ikhtiar sudah aku usahan sempurna. Aku baca setiap nama pada papan pengumuman. Berharap ada namaku terselip. Masih belum.

Masihkah Dari Dunia Dan Untuk Dunia?

Aku merasa. Aku tidak lagi paham caranya bersyukur. Karena terlalu asik mengejar apa yang menjadi cita. Lalu lupa mengingat yang dititipkan bisa saja diambil segera. Aku pikir. Aku tidak tahu caranya berterima kasih. Karena sering kali menagih, mengeluh dan protes. Lalu hilang bertanya pada diri sudahkah memberi yang terbaik? Aku bergumam. Aku mungkin malu berucap maaf dengan lantang. Karena sibuk mencari kesalahan dan kekurangan orang lain. Lalu tidak pernah bertanya bahwa perilakuku akankah menyakiti hati mereka? Aku menyungging. Aku mungkin belum belajar ikhlas. Karena tidak memberi kesempatan pada kebenaran untuk menempatkan diri dengan kokoh. Lalu aku hanya keras membatu bertahan pada dogma yang salah kaprah. Dunia beropini. Dan aku membuang mentah-mentah. Dunia membawa berita. Dan aku baca sekilas tanpa bekas. Dunia mengadu. Dan aku kikir tidak membantu. Padahal dunia ini yang membuatku menjadi aku. Padahal dunia ini yang memberiku kuasa sebagai aku. Padahal dunia ini m

Kontroversi Hati

Siapa lagi yang mengerti kecuali diri sendiri? Berharap pada orang lain hanya akan membuat patah hati. Menguatkan diri sendiri juga tidak segampang membeli terasi. Dibandingkan bertutur yang tidak perlu lalu menyakiti. Lebih baik diam selalu mengingat Ilahi. Berharap banyak dosa terampuni. Jujur pada hati. Ketika gelisah datang menghampiri. Sudikah instropeksi diri mengaku salah telah mendzalimi diri. Seringkali lupa, merendahkan orang lain dengan pandangan duniawi. Sempatkah berpikir setiap orang memiliki kelebihan masing-masing. Lalu resah kembali mampir. Sudahkah ditunaikan semua janji. Atau lalaikah berbagi bahagia dengan orang lain. Mungkin lupa tidak pernah alfa tetapi sekedar menyapa diabaikan pergi. Sampai akhirnya... Hanya serpihan asa untuk mengulang kembali. Dan tentu saja tidak pernah terjadi.

Kelakuan

Akhir-akhir ini sedang sering lihat kelakuan orang-orang yang suka ikut-ikutan. Terutama di akun media sosial. Si A posting foto-foto wisata di suatu kota. Si B merupakan teman si A ikutan share foto tersebut. Begitu dengan si C merupakan teman si B. Berlajut terus hingga timeline penuh dengan foto wisata. Berikutnya tentang postingan sensitif. Beralasan mengungkapkan pendapat tapi menghakimi tidak karuan. Terlebih lagi yang merasa memiliki kesamaan pendapat, baru baca judul sudah share. Tidak hanya share yang iseng suka ditambah kalimat provokatif. Biar panas dan kekinian. Ikut-ikutan juga terjadi karena korban games lucu-lucuan. Seperti apa warna kepribadianmu atau bagaimana kamu di kehidupan sebelumnya. Jadilah saling mention. Selanjutnya pemberitahuan penuh dengan undangan ikut serta bermain. Namun, dari beberapa kelakuan, masih ada satu lagi kelakuan menakjubkan. Perang cyber. Mencetak rekor teratas. Trending topik itu keren katanya.  Sampai harus membuat akun virtual untuk

Wanita Hamil

Aku berdiri gusar di pintu antar gerbong. Kereta masih tertahan di stasiun menunggu kereta langsung lewat. Aku tengok jam di tangan. Sudah hampir tiga puluh menit. Aku lihat pesan di whatsapp . Hanya centang satu. Aku coba telepon. Tetap berada di luar jangkauan. Kenapa aku baru tersadar hal ini? Padahal sudah berulang kali dia mengatakan lelah berpergian dengan bobot tubuh semakin berat. Sungguh aku bersalah dan berdosa padamu. Aku akan meminta maaf sesegera mungkin. Aku kembali mengetik sebuah pesan. Kali ini, aku coba kirim melalui sms . ‘Aku malu. Aku seperti tertampar. Baru saja aku melihat sebuah kejadian. Hanya kejadian kecil. Namun, berhasil menohok batinku. Di sisi lain, kamu sampai memelas meminta izin. Aku justru abai. Acuh tidak peduli. Membeku nuraniku karena himpitan ekonomi. Terusik banyak harga naik. Bahkan cabai saja tidak terbendung. Akhirnya, membuatku lupa percaya ada Penggerak dari setiap rezeki.’ Kirim. Sedetik kemudian muncul pemberitahuan ba

Meluruskan Cerita

"Umi, kenapa Tuhan jahat mengusir manusia dari surga?" Tanya Zahra, bocah berusia 5 tahun seusai menyaksikan serial kartun di youtube. "Manusia tidak pernah diusir oleh Tuhan, sayang," kata Umi lembut. "Lalu kenapa kita ada di bumi bukan di surga?" Tanya Zahra semakin penasaran. "Kaka Zahra mau Umi ceritakan kisah Nabi Adam, manusia pertama yang Allah ciptakan?" Tawar Umi mengelus kepala Zahra dan membuatnya duduk di pangkuan Umi dengan nyaman. "Mau Umi," jawab Zahra berbinar. "Jadi begini, ketika Tuhan telah menciptakan Malaikat dan Jin, kemudian Tuhan menciptakan manusia sebagai khalifah di bumi. Tuhan ciptakan Umi dan Zahra juga," ujar Umi mulai bercerita sambil bergantian menunjuk Umi dan Zahra. Zahra mulai fokus. Terkesima dengan pembukaan Umi. "Para Malaikat berkata, 'Kenapa? Manusia itu akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, sedangkan kami selalu bertasbih memuji-Mu.',&qu

Panggung Sandiwara

Sudah tiga jam aku menanti di ruang tunggu 10 m x 15 m ini. Barisan bangku besi tetap penuh diduduki silih berganti. Akibat lama menunggu satu dua orang tertidur. Beberapa asik berlatih ekspresi atau melakukan peregangan demi mengusir ketegangan. Beberapa berkerumun terlibat pada percakapan seru. Sisanya berjalan sambil komat kamit dengan mata tertutup dan kertas bertuliskan naskah di tangan. Aku duduk di pojok belakang barisan. Mengamati sembari tersenyum melihat kelakuan unik orang-orang. Tidak habis pikir pada mereka yang sibuk mengejar ketenaran. Mengagungkan kecantikan dan ketampanan dibandingkan bersedekah agar tidak ada lagi yang mati kelaparan. Bukankah dunia ini sementara saja? Bagaimana bisa mereka begitu mencintai dunia yang bahkan tidak pernah adil? Andai aku tidak pernah berhutang pada wanita tersebut, aku pasti sedang bebas berlari di bibir laut Selat Sunda. "Sorry lama," kata wanita yang duduk di sampingku sambil melepaskan high heels  35 cm. Aku terlalu

Aku Memaafkanmu Demi Ketenangan Diri

Tidak ada keraguan lagi bahwa Tuhan Maha Baik. Telah diperlihatkan padaku semua tentangmu yang selama ini tersembunyi. Padahal sudah aku pastikan untuk melabuhkan hati pada dermaga hatimu. Kemudian aku menyesal sudah mendahului kehendak semesta. Sore itu aku temukan kamu bersama wanita lain. Bermanja di pangkuan gadis berseragam putih abu-abu. Dunia yang telah berporos padamu, runtuh seketika. Kamu berbohong, menipu, berkhianat, mendustakan banyak janji terucap. Aku mematung di depan pintu rumahmu. Mengamati kalian bersenda gurau mesra. Bukankah seharusnya itu adalah kita? Bagaimana bisa ini terjadi? Bagaimana bisa kamu setega ini? Napasku mulai menderu. Aku lihat kalian semakin menjadi. Kemarahanku sudah semili lagi mencapai ubun-ubun. Aku tidak terima diperlakukan seperti ini. Aku ringkus tanganmu yang mengusap lembut pipi dan bibir gadis itu. Kalian bahkan nyaris berciuman jika aku terlambat sepersekian detik saja. Aku tinju tubuhmu sekenaku seperti petinju pemula yang

Untukmu, Orang Di Depan Mejaku, Mari Kita Buat Banyak Kenangan!

"Hidup ini berat," katamu layu pagi ini. Sejak pertama kita ditakdirkan sekantor, kamu tidak pernah selesu ini di pagi hari. Ada apa gerangan denganmu? Aku sungguh keheranan. Namun, aku biarkan kamu duduk di bangku dan melepaskan sedikit keletihan sisa perjalanan dari rumah ke kantor. Aku menatapmu lekat. Kamu tetap saja abai. Mulai bersiap menyalakan komputer lalu mengeluarkan sisa kerjaan kemarin dari laci. Bicara perihal kedekatan sudah tidak terdefinisikan, mengingat kami hanya berdua di ruangan ini. Meskipun baru saja 2 bulan bersama, berbagi cerita dari gosip tetangga hingga politisi yang terjerat kasus korupsi sudah kenyang jadi bahan obrolan sehari-hari di kantor. Pagi ini, entah ada apa, kamu dirundung sendu. Awan gelap menggantung kokoh di atas kepala. Kamu masih diam seribu bahasa, sibuk membuka file ini dan itu. Aku di sini masih menatap menunggu waktu untuk mulai bertanya. "Kenapa?" Aku beranikan untuk memulai pembicaraan. Sedetik k

Aku dan 2016

Genap sudah kita bersama. Aku ingat pertama kali kamu membawaku pada dunia baru. Dunia kece dimana aku awam berada di sana. Saat itu, aku memvisikan banyak hal padamu. Aku yakin kamu akan sangat baik. Benar saja. Bahkan melebihi ekspektasi. Kamu kenalkan aku pada banyak keajaiban. Kemudian aku digiring dalam dunia baru lagi. Di sana kamu mengajarkanku arti berjuang dan bertahan dalam satu waktu. Aku nyaris menyerah. Namun, terlalu banyak pemberian yang mewajibkanku lebih bersyukur. Aku tidak meminta tetapi kamu memberikan. Gratis beserta bonus. Aku bisa apa selain tersenyum dan berterima kasih. Saat itu, aku semakin yakin visi itu akan sukses bersamamu. Setelah itu, kamu menghadiahkan dunia lain yang tidak kalah istimewa. Aku memperbaiki diri. Tentu saja, sesuai rencana kita untuk semakin baik dari waktu ke waktu. Tidak salah. Kini kamu membuatku tercebur pada dunia penuh cahaya. Pada dunia ini aku menerima lebih banyak. Menyerap lebih dalam. Mengasah kepekaan lebih tajam. Ak