Membangunkan Mimpi
"Duh... Pagi gini udah berkhayal. Ayo sadar! Ada realita hidup yang minta ditawan Sang Penulis," sambar Nina membuyarkan lamunan.
"Iih... Buat kaget saja. Nyebelin!" Amukku.
"Kenapa? Berimajinasi lagi pergi ke negeri Sakura? Aah... Kamu ini. Mandi sana!"
"Lusa pengumuman kuis. Doakan lolos ya!" Kataku sambil berlalu.
Aku tidak bisa tidur. Mataku terpaku tidak mau beranjak dari layar komputer. Masih menanti dengan penuh harap.
Memori ingatanku beranjak pada ruang perkuliahan seminggu yang lalu. Ketika itu, salah satu Profesor tercerdas, menurutku, berdiri gagah di tengah ruangan. Menunjuk satu per satu wajah kami secara bergantian.
"Kalian! Mental tempe! Dipikir revolusi hanya kelakar ideologi? Atau demokrasi serupa topeng penguasa sejati. Dibandingkan berteori hanya duduk diam di sini. Kalian pasti juga jengah melihat kondisi negera saat ini. Sekarang saya bubarkan kuliah. Berhamburanlah kalian ke pelosok negeri bila kurang referensi pergi ke negeri lain. Pesan saya hanya satu bawa kembali makna Ibu Pertiwi di jiwa kalian. Tugas dari saya sebagai kewajiban kita terhadap mata kuliah ini adalah kumpulkan essai terkait ekonomi kerakyatan. Oke. Apa ada pertanyaan?" Seluruh kata yang diucapkan bagai sihir mengaitkan jiwa-jiwa kami seruangan. Profesor ini memang sudah terkenal memiliki kepiawaian memotivasi. Masuk dalam kelasnya berarti rela lahir dan batin untuk dicuci otak dengan banyak pemikiran yang anti-mainstream.
Sunyi. Aku dan belasan pasang mata masih terkesima. Belum kembali kepermukaan daratan dunia. Kemudian dipaksa tersadar oleh dentuman derit pintu terbuka.
"Baiklah, jika tidak ada, saya akhiri sekarang. Silahkan meninggalkan tempat Anda duduk dan keluar secara teratur setelah menjabat tangan saya!" Satu titah terakhir sebelum kami sempurna meninggalkan ruang bersejarah ini.
Tanpa aba kami berbaris rapih. Bergantian menjabat tangan lelaki beruban dengan kacamata tebalnya. Satu per satu mahasiswa memulai perjalanan hidup masing-masing. Tersisa sepuluh orang lagi. Hampir sampai giliranku diurutan ke empat.
"Apa yang akan kamu lakukan?" Tanya Profesor sambil menjabat tanganku.
Waktu terasa berhenti. Apa jawaban yang harus aku berikan?
Orang sebelumku juga mendapat pertanyaan, tentang manfaat dari berorganisasi. Aku pikir pertanyaan yang sama juga akan ditujukan padaku. Ternyata, di luar perkiraan.
Aku masih terdiam. Tatapan kami masih saling bertemu. Tatapan tajam menyelidik seperti ujung mata pisau yang siap menggorok leher para penghalang. Namun, tatapan itu diiringi senyum ramah seorang berintelektual tinggi.
"Kalau begitu, pergilah ke tempat dimana tanah air pada zamannya diajarkan Romusa," Sarannya lantang dan yakin, seperti sudah menebak bahwa aku tidak memiliki jawaban.
"Oke Prof," jawabku getir. Ada rasa takut untuk menjawab tetapi kontrak pertama mata kuliah ini adalah berjanji untuk selalu berkata mau dan akan mencoba. Iya. Kontrak pertamaku pada diri sendiri.
Aku sudah di luar dan tidak mendapati satupun diantara kami yang masih beredar di sekitar. Janggal. Mungkinkah mereka bergegas memenuhi kontrak diri seperti yang aku akan lakukan sekarang? Aah... Aku tidak peduli. Aku harus bergegas mencari informasi bagaimana cara memenuhi kontrakku sendiri.
Lalu di sinilah aku sekarang. Berkutat dengan bahasa aneh dan budaya baru. Semua serba cepat. Bahkan untuk bersua menyapa hanya membuang waktu. Setiap orang bertanggung jawab untuk tidak merugikan orang lain termasuk mengganggu aktifitasnya.
Kemudian aku pun berlari mengejar kereta tercepat di dunia. Ada narasumber yang harus aku temui. Berkatnya aku bisa memenangkan kuis sebagai penulis lepas dengan tema Perlawanan. Aku juga sudah mempersiapkan sebuah judul sebagai bahan diskusi. Jasad Kebangkitan Romusa.
"Iih... Buat kaget saja. Nyebelin!" Amukku.
"Kenapa? Berimajinasi lagi pergi ke negeri Sakura? Aah... Kamu ini. Mandi sana!"
"Lusa pengumuman kuis. Doakan lolos ya!" Kataku sambil berlalu.
Aku tidak bisa tidur. Mataku terpaku tidak mau beranjak dari layar komputer. Masih menanti dengan penuh harap.
Memori ingatanku beranjak pada ruang perkuliahan seminggu yang lalu. Ketika itu, salah satu Profesor tercerdas, menurutku, berdiri gagah di tengah ruangan. Menunjuk satu per satu wajah kami secara bergantian.
"Kalian! Mental tempe! Dipikir revolusi hanya kelakar ideologi? Atau demokrasi serupa topeng penguasa sejati. Dibandingkan berteori hanya duduk diam di sini. Kalian pasti juga jengah melihat kondisi negera saat ini. Sekarang saya bubarkan kuliah. Berhamburanlah kalian ke pelosok negeri bila kurang referensi pergi ke negeri lain. Pesan saya hanya satu bawa kembali makna Ibu Pertiwi di jiwa kalian. Tugas dari saya sebagai kewajiban kita terhadap mata kuliah ini adalah kumpulkan essai terkait ekonomi kerakyatan. Oke. Apa ada pertanyaan?" Seluruh kata yang diucapkan bagai sihir mengaitkan jiwa-jiwa kami seruangan. Profesor ini memang sudah terkenal memiliki kepiawaian memotivasi. Masuk dalam kelasnya berarti rela lahir dan batin untuk dicuci otak dengan banyak pemikiran yang anti-mainstream.
Sunyi. Aku dan belasan pasang mata masih terkesima. Belum kembali kepermukaan daratan dunia. Kemudian dipaksa tersadar oleh dentuman derit pintu terbuka.
"Baiklah, jika tidak ada, saya akhiri sekarang. Silahkan meninggalkan tempat Anda duduk dan keluar secara teratur setelah menjabat tangan saya!" Satu titah terakhir sebelum kami sempurna meninggalkan ruang bersejarah ini.
Tanpa aba kami berbaris rapih. Bergantian menjabat tangan lelaki beruban dengan kacamata tebalnya. Satu per satu mahasiswa memulai perjalanan hidup masing-masing. Tersisa sepuluh orang lagi. Hampir sampai giliranku diurutan ke empat.
"Apa yang akan kamu lakukan?" Tanya Profesor sambil menjabat tanganku.
Waktu terasa berhenti. Apa jawaban yang harus aku berikan?
Orang sebelumku juga mendapat pertanyaan, tentang manfaat dari berorganisasi. Aku pikir pertanyaan yang sama juga akan ditujukan padaku. Ternyata, di luar perkiraan.
Aku masih terdiam. Tatapan kami masih saling bertemu. Tatapan tajam menyelidik seperti ujung mata pisau yang siap menggorok leher para penghalang. Namun, tatapan itu diiringi senyum ramah seorang berintelektual tinggi.
"Kalau begitu, pergilah ke tempat dimana tanah air pada zamannya diajarkan Romusa," Sarannya lantang dan yakin, seperti sudah menebak bahwa aku tidak memiliki jawaban.
"Oke Prof," jawabku getir. Ada rasa takut untuk menjawab tetapi kontrak pertama mata kuliah ini adalah berjanji untuk selalu berkata mau dan akan mencoba. Iya. Kontrak pertamaku pada diri sendiri.
Aku sudah di luar dan tidak mendapati satupun diantara kami yang masih beredar di sekitar. Janggal. Mungkinkah mereka bergegas memenuhi kontrak diri seperti yang aku akan lakukan sekarang? Aah... Aku tidak peduli. Aku harus bergegas mencari informasi bagaimana cara memenuhi kontrakku sendiri.
Lalu di sinilah aku sekarang. Berkutat dengan bahasa aneh dan budaya baru. Semua serba cepat. Bahkan untuk bersua menyapa hanya membuang waktu. Setiap orang bertanggung jawab untuk tidak merugikan orang lain termasuk mengganggu aktifitasnya.
Kemudian aku pun berlari mengejar kereta tercepat di dunia. Ada narasumber yang harus aku temui. Berkatnya aku bisa memenangkan kuis sebagai penulis lepas dengan tema Perlawanan. Aku juga sudah mempersiapkan sebuah judul sebagai bahan diskusi. Jasad Kebangkitan Romusa.
Komentar
Posting Komentar