Wanita Hamil
Aku berdiri gusar di pintu antar gerbong. Kereta masih
tertahan di stasiun menunggu kereta langsung lewat. Aku tengok jam di tangan. Sudah
hampir tiga puluh menit. Aku lihat pesan di whatsapp.
Hanya centang satu. Aku coba telepon. Tetap berada di luar jangkauan.
Kenapa aku baru tersadar hal ini? Padahal sudah berulang
kali dia mengatakan lelah berpergian dengan bobot tubuh semakin berat. Sungguh aku
bersalah dan berdosa padamu. Aku akan meminta maaf sesegera mungkin.
Aku kembali mengetik sebuah pesan. Kali ini, aku coba kirim melalui
sms.
‘Aku malu. Aku seperti
tertampar. Baru saja aku melihat sebuah kejadian. Hanya kejadian kecil. Namun,
berhasil menohok batinku. Di sisi lain, kamu sampai memelas meminta izin. Aku justru
abai. Acuh tidak peduli. Membeku nuraniku karena himpitan ekonomi. Terusik banyak
harga naik. Bahkan cabai saja tidak terbendung. Akhirnya, membuatku lupa
percaya ada Penggerak dari setiap rezeki.’
Kirim.
Sedetik kemudian muncul pemberitahuan bahwa pesanku telah terkirim.
Alhamdulillah. Meskipun cemas mengharap balasan.
Benar saja, tidak beberapa lama ada pesan masuk. Aku tersenyum
lega. Dibalas. Sangat singkat isi pesan tersebut.
‘Apa kejadian yang
kamu lihat?’
Aku ketik sebuah balasan.
‘Wanita hamil. Masuk di
gerbong yang sama denganku. Seperti biasa kereta penuh sesak. Terlebih di jam
pergi dan pulang kantor. Wanita itu langsung menuju kursi prioritas di ujung
gerbong. Aku mengikutinya. Karena hanya bagian tersebut yang lowong. Kemudian aku
dengar wanita itu berkata “Apakah ada yang tidak hamil?” Wanita lain yang duduk
di bangku prioritas hanya membisu. Bahkan ada yang cuek saja mengobrol dengan
wanita lain di sebelah. Wanita berkata sekali lagi dengan nada lebih tinggi. Tetap
tidak ada jawaban. Wanita itu mengulang di kursi seberang. Berharap ada
kepedulian’
Aku kirim balasan. Pesanku terpotong karena batasan huruf sudah
maksimal. Aku membuat pesan baru. Melanjutkan cerita.
‘Sama saja. Wanita
hamil itu seperti tidak terlihat. Tidak menyerah wanita itu mencoba bertanya
lagi. Terus mengulang pertanyaan yang sama. Orang yang berdiri di sekitarnya
mulai resah. Berharap ada yang segera memberi tanggapan. Nihil. Bahkan wanita
itu memegang salah satu Ibu yang terlihat cukup kuat sedang mengobrol. Namun,
si Ibu malah menjawab ketus bahwa kakinya sakit. Akhirnya, ada seorang Ibu
bersama putranya menawarkan wanita itu duduk.’
Aku kirim kembali. Hanya pemberitahuan bahwa pesan telah
terkirim. Aku membuat pesan baru lagi. Melanjutkan.
‘Sayang, putra si Ibu,
merajuk melarang tempat duduk Ibunya digantikan. Dengan perdebatan kecil,
wanita di sebelah Ibu tersebut berdiri. Wajahnya kesal. Tidak rela. Mulutnya terus
menggerutu. Semoga bukan sumpah serapah yang terucap. Lalu aku teringat padamu.
Apakah ini pernah terjadi denganmu? Aku seharusnya melarangmu bekerja. Apalagi saat
ini kamu sedang mengandung. L
Maafkan aku tidak peka. Dimana kamu sekarang? Aku rindu sekali.’
Aku kirim dengan berjuta harapan. Semoga perasaanku sampai
kepadamu melalui pesan ini. Sedetik kemudian, pesan balasan dari istriku lebih
cepat dari pemberitahuan pesan telah dikirim. Aku buka pesan tersebut.
‘Aku di rumah sakit. Anak
kita lahir prematur. Cepatlah datang!’
Aku terbelalak. Mungkin jantungku sempat berhenti
sepersekian detik membaca pesan tersebut. Aku menerobos kerumunan. Mendekati pintu.
Berharap stasiun berikutnya segera datang. Aku akan turun dan naik kendaraan
tercepat yang ada. Segera menemui istriku dan mengadzani putra kami.
Mental...oh mental.
BalasHapus:)
Hapus