Aku Memaafkanmu Demi Ketenangan Diri

Tidak ada keraguan lagi bahwa Tuhan Maha Baik. Telah diperlihatkan padaku semua tentangmu yang selama ini tersembunyi. Padahal sudah aku pastikan untuk melabuhkan hati pada dermaga hatimu. Kemudian aku menyesal sudah mendahului kehendak semesta.

Sore itu aku temukan kamu bersama wanita lain. Bermanja di pangkuan gadis berseragam putih abu-abu. Dunia yang telah berporos padamu, runtuh seketika. Kamu berbohong, menipu, berkhianat, mendustakan banyak janji terucap.

Aku mematung di depan pintu rumahmu. Mengamati kalian bersenda gurau mesra. Bukankah seharusnya itu adalah kita? Bagaimana bisa ini terjadi? Bagaimana bisa kamu setega ini? Napasku mulai menderu. Aku lihat kalian semakin menjadi. Kemarahanku sudah semili lagi mencapai ubun-ubun. Aku tidak terima diperlakukan seperti ini.

Aku ringkus tanganmu yang mengusap lembut pipi dan bibir gadis itu. Kalian bahkan nyaris berciuman jika aku terlambat sepersekian detik saja. Aku tinju tubuhmu sekenaku seperti petinju pemula yang memukul samsak sembarangan. Semua perasaan kecewa, kesal, sedih, marah bercampur bersama deras air mata yang mengalir.

"AKU MEMBENCIMU! BENCI! TERAMAT BENCI SAMPAI INGIN MEMBUNUHMU SEKARANG!!!" Aku menjerit dan memukul. Entah sudah berapa ribu pukulanku mendarat di tubuhmu. Aku tidak peduli karena ini tidak sebanding dengan luka yang kamu berikan.

Semenjak kejadian itu, aku menutup semua hal tentangmu. Kamu tahu sakit ini masih tertancap tajam. Kamu begitu baik selama ini membuat terlena jiwa dan ragaku yang terlanjur bergantung padamu. Kini kamu lebih hina dari nyamuk Anopheles pembawa penyakit atau manusia jahat penular virus 

Berminggu-minggu aku kurung diri di kamar. Tidak bisa tidur dengan nyenyak apalagi bernafsu untuk makan. Aku masih ingin meratapi kebodohanku berlabuh pada dermaga yang salah. Aku juga tidak menerima siapapun menjenguk. Tentu saja, pesta pernikahan batal dilaksanakan.

Tepat di malam ke tiga bulan setelah kejadian tersebut, aku memutuskan untuk pergi mendaki. Sendiri. Jika semua berjalan sesuai rencana, esok hari akan menjadi salah satu hari terbahagia dalam hidupku. Namun, semesta sedang suka bermain-main denganku. Aku ikuti saja kehendak-Nya.

"Papa dan Mama yakin kamu kuat luar biasa. Kami tunggu kamu pulang tanpa kurang satupun," tidak terlalu banyak kata dalam percakapan ketika aku pamit mendaki seorang diri.

Aku duduk di baris belakang bangku bus menuju Garut. Melihat pantulan wajahku dari kaca. Kelopak mata bengkak sembab. Sorotan penglihatan kosong. Ekspresi wajah kuyu. Air mata sudah kering dan hati sudah kebas tidak berasa.

Seseorang dari samping memelukku erat. Aku tersadar dan menoleh.

"Ayo nanjak bareng!" Wajah penuh senyum itu memelukku hangat. Santi, sahabat yang sudah seperti kembaranku.

"Bagaimana bisa kamu ada di sini?"

"Bagaimana bisa kamu pergi tanpa aku?"

Aku merengut sambil melepas pelukan itu. Ponselku bergetar, ada satu pesan masuk dari nomor yang tidak tersimpan dalam daftar kontak. Aku buka pesan tersebut.

'Hai hujan! Aku semakin kering dan tandus.
 Hai matahari! Kini aku layu kekurangan klorofil.
 Hai angin! Aku sudah menjadi pengap dan gerah.
 Baru tiga bulan bagai seabad.
 Sejenak kamu pergi, aku malah seperti zombie.
 Aku sadar torehan luka butuh lebih dari operasi.
 Kepercayaanmu telah teremas tidak bisa kembali.
 Semiliar maaf belum pernah cukup sebagai penawar.
 Aku terima dan berharap kamu baik-baik saja.
 Meskipun hanya sepersekian pangkat, aku masih mau besok menjadi hari teristimewa.
 Akan aku tukar dengan apapun jika kamu mau.
 Karena aku tersiksa telah menenggelamkan diri pada kobaran api.

 Dari aku yang menanti kamu kembali.'

Aku tahu asal muasal pesan ini. Aku berikan pada Santi yang sudah tidak sabar ingin tahu. Aku tunggu Santi selesai membaca.

"Maukah kamu memaafkan dia untuk dirimu?"

"Apa maksudmu?"

"Kalian berdua sudah cukup tersiksa. Kamu sibuk terluka dan dia sibuk dipermainkan rasa bersalah. Lagi pula memaafkan tidak membuatmu rendah. Memaafkan akan membuatmu tenang dan lapang," ujarmu. Ini adalah ucapan terpanjang selama aku mengenalmu.

Aku rasa sumber air mataku tidak akan kering karena kini mereka sudah deras mengalir. Entah karena kalimat panjangmu, pesan itu atau luka yang masih menganga. Namun, aku sadari satu hal.

Aku memilih memaafkanmu demi ketenangan diri. Selama tiga bulan ini, aku tahu benar tiap orang yang tulus menyayangi dan tidak akan meninggalkanku. Dan semua itu berkat kamu.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

EOA GOLD, Investasi Emas Dunia Akhirat

Mengenal Sereal Umbi Garut, Manfaat, dan Cara Mengonsumsi

Unlogic Birth dalam Al Quran