Pesan
Lumajang,
26 September 2015
Mentari
masih di ujung fajar. Lamina belum sanggup melengserkan embun. Garis lurus
gelap dan terang abadi menjadi lukisan pemandangan yang selalu aku nanti.
Aku
sudah siap bersama toga di kepala. Begitu juga Ibu. Tersisa Bapak. Sibuk dengan bentuk dasi diantara
kerah kemeja biru yang dikenakannya. Tumben.
Ini
pertama kali, aku melihat Bapak bersetelan jas hitam. Rambut hitam dengan
sedikit uban berhasil disisir rapi berkat bantuan sedikit minyak orang aring. Sepatunya pun mengilap
akibat digosok semalaman. Bapak memang gagah. Pantas Ibu rela hatinya tertawan.
“Ayo
berangkat! Mobil jemputan Tuan Putri sudah menunggu di depan,” ujar Bapak seusai
menutup sebuah telepon.
Seketika
aku menoleh keluar jendela. Mobil sedan hitam baru saja berhenti tepat di pagar
rumah kami. Aku kembali menoleh pada Ibu dan Bapak secara bergantian. Bertanya-tanya.
“Kata
Bapakmu, sekali-kali arep buat koe seneng ndok! Yowes sewa mobil ae. Masa nganggo
mobil jeep kayak arep neng hutan,” jelas Ibu sambil mengelus pundakku. Aku pandang
Bapak. Seuntai senyum dan anggukan menentramkan. Persis seperti biasa.
Perjalanan
kami nyaris tanpa kata. Ibu duduk di sebelah Pak Supir sedangkan Bapak sibuk
dengan gawai di tangan. Beberapa kali telepon masuk. Perbincangan serius. Seperi
biasa. Tidak ada kata nanti apalagi istirahat jika menyangkut mafia-mafia
lingkungan. Aku dan Ibu sudah khatam betul tabiat Bapak ini.
“Maaf
ya! Seharusnya hari ini Bapak fokus pada hari istimewa Tuan Putri. Namun, situasi
sedang memanas. Truk penambang mulai berdatangan. Bapak sudah meminta mereka menghubungi
pihak berwajib untuk mengatakan kita punya buktinya, tapi belum juga dapat
bantuan. Padahal pagi belum terang benar,” kata Bapak merasa bersalah. Aku
hanya tersenyum memaklumi.
Duaarr...
Bunyi
ban meletus. Ban mobil kami. Mobil hampir hilang kendali untung Pak Supir
sangat sigap mengatasi. Bapak segera turun memeriksa. Kemudian segerombol orang
dengan penutup wajah menghampiri. Menyergap kami tanpa kecuali. Jumlahnya mungkin
sepuluh orang.
Entahlah! Terlalu sulit. Kejadiannya begitu cepat. Aku dipaksa
turun. Kepalaku ditutup oleh kantung kain hitam. Terakhir yang aku lihat adalah
Bapak ditodong oleh pisau dan pistol. Ibu. Oh... Hanya deritnya yang aku
dengar.
Jakarta,
1 November 2015
Tengah
malam aku terbangun. Isak tangis Ibuku kembali mengudara. Ibu... Hatiku pun
masih menjerit pilu. Belum bisa menerima kenyataan. Dalam sunyi air mataku ikut
meleleh. Ingin aku peluk dirimu. Namun, itu hanya akan meruntuhkan dinding
kekuatan yang susah payah kita bangun sebulan terakhir ini.
Bapak...
Aku sebut namamu banyak-banyak setiap waktu. Semoga Bapak baik-baik saja. Aku juga
memenuhi janjiku padamu untuk tidak membiarkan tanganku berhenti menulis meski
lelah meradang. Tulisanku adalah pesan untukmu. Aku yakin Bapak akan menemukan
kami dalam persembunyian ini. Aku pun yakin Bapak masih hidup! Tulisan di kolom opini WartaKota kemarin berjudul Mafia Lingkungan Lumajang adalah buktinya.
Jakarta, 31 Oktober 2015
Mafia Lingkungan Lumajang
Tahu apa mereka tentang lingkungan. Sementara nenek moyang kami mati-matian menjaga. Tahu apa mereka tentang lingkungan. Jika hanya harta dunia standar kemakmuran. Tidak. Itu salah. Lingkungan bukan alat pemuas semata. Para mafia itu tidak akan paham. Karena perihnya kekeringan dan kebanjiran hanya kami yang merasakan. Lalu mereka berpesta dengan tawaf berulang-ulang di pusat perbelanjaan. Apa itu yang dimanakan demi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat? Masyarakat di alam mana? Halo Pak! Bapak sehat? Membiarkan bom waktu berdetak hanya karta ratusan kertas merah atau cek dengan banyak angka nolnya? Aah... Basi Pak! Jangan sok suci! Kami tahu kerajaan yang Bapak buat tidak pernah ada kami di dalamnya. Jadi, jangan pernah buat kerjaan Bapak, di atas Tanah Kami!
Jakarta, 31 Oktober 2015
Mafia Lingkungan Lumajang
Tahu apa mereka tentang lingkungan. Sementara nenek moyang kami mati-matian menjaga. Tahu apa mereka tentang lingkungan. Jika hanya harta dunia standar kemakmuran. Tidak. Itu salah. Lingkungan bukan alat pemuas semata. Para mafia itu tidak akan paham. Karena perihnya kekeringan dan kebanjiran hanya kami yang merasakan. Lalu mereka berpesta dengan tawaf berulang-ulang di pusat perbelanjaan. Apa itu yang dimanakan demi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat? Masyarakat di alam mana? Halo Pak! Bapak sehat? Membiarkan bom waktu berdetak hanya karta ratusan kertas merah atau cek dengan banyak angka nolnya? Aah... Basi Pak! Jangan sok suci! Kami tahu kerajaan yang Bapak buat tidak pernah ada kami di dalamnya. Jadi, jangan pernah buat kerjaan Bapak, di atas Tanah Kami!
Kereeennn :)
BalasHapusHoree..kanov mampir..:D
Hapus