Panggung Sandiwara

Sudah tiga jam aku menanti di ruang tunggu 10 m x 15 m ini. Barisan bangku besi tetap penuh diduduki silih berganti. Akibat lama menunggu satu dua orang tertidur. Beberapa asik berlatih ekspresi atau melakukan peregangan demi mengusir ketegangan. Beberapa berkerumun terlibat pada percakapan seru. Sisanya berjalan sambil komat kamit dengan mata tertutup dan kertas bertuliskan naskah di tangan.

Aku duduk di pojok belakang barisan. Mengamati sembari tersenyum melihat kelakuan unik orang-orang. Tidak habis pikir pada mereka yang sibuk mengejar ketenaran. Mengagungkan kecantikan dan ketampanan dibandingkan bersedekah agar tidak ada lagi yang mati kelaparan. Bukankah dunia ini sementara saja? Bagaimana bisa mereka begitu mencintai dunia yang bahkan tidak pernah adil? Andai aku tidak pernah berhutang pada wanita tersebut, aku pasti sedang bebas berlari di bibir laut Selat Sunda.

"Sorry lama," kata wanita yang duduk di sampingku sambil melepaskan high heels 35 cm. Aku terlalu asik melamun hingga tidak sadar wanita tersebut datang.

"Tidak masalah," ujurku datar.

"Langsung pulang?" Lanjutku seraya berdiri.

"Bolehkah sesaat lagi kita berdiam di sini?" Tanyamu sambil mendongak mencari tatapanku.

Aku terhipnotis melihat mata indahmu. Biasanya mata itu selalu berbinar ceria dan angkuh pada hal yang tidak penting. Namun, detik ini aku lihat mata itu reduh, kelelahan. Meskipun mata itu berbeda tetapi keindahan sudah permanen milik mata bulatmu. Aku kembali duduk, tidak kuasa.

"I failed again. Seberapa banyak aku mencoba, sebesar usahaku berlatih, sekuat penjagaanku terhadap kekonsistenan, belum juga cukup membawaku menembus panggung sandiwara. Nyaris habis kolam kesabaranku. Semakin dekat pintu menyerah itu," ucapmu sambil memperbaiki hijab merah muda.

Aku alihkan pandanganku lurus ke depan. Akan runtuh pertahanan batin jika membiarkan mata ini bebas liar menyisir keadaanmu. Atau memberikan kesempatan tatapan ini bercabang lalu mengakar di hati. Aku memilih berperang melawan itu.

"Apakah tidak ada kelayakan pada diriku untuk menjadi bagian dari seni ini?"

Aku menoleh sebentar dan diam seribu bahasa.

"Maksudku, aku memintamu memberi nilai. Sewajarnya kamu bisa. Mengingat hampir setahun menemaniku. Kamu sudah tahu bagaimana aku berlatih dan mengikuti setiap tahap seleksi. Bukankah tidak masalah? Hanya sebuah penilaian. Setelah itu kamu bisa acuh dan mengabaikan keberadaanku kembali. Sungguh aku pun tidak menyukai kondisi ini tetapi apalah dayaku atas ketetapan Ayah," katamu berhati-hati.

"Siapkah kamu menerima penilaianku?"

"Tentu!"

"Dunia ini yang kamu sebut sebagai salah satu seni melalui panggung sandiwara hanyalah permainan. Kamu tidak layak masuk dan menjadi bagian dari padanya..." ucapku terhenti karena pergerakan tidak terima darimu.

"Kenapa?"

"Semua kepalsuan itu tidak pernah ada padamu. Jadi seberapa banyak kamu mencoba, sebesar usahamu berlatih, sekuat penjagaanmu terhadap kekonsistenan, belum juga cukup membawamu. Dan tidak akan pernah cukup..." aku terhenti sejenak. Aku biarkan kamu menata hati bersiap menerima ucapan berikutnya.

"Kamu terlalu putih, lurus dan culun memandang dunia ini. Karena kebenarannya, dunia ini penuh strategi, politik dan pengkhianatan. Jika kamu bersikukuh masuk maka lumuri dulu jiwamu dengan banyak pendosa atau pahami terlebih dahulu cara kancil melewati puluhan buaya untuk menyeberang sungai."

Kamu hanya terdiam. Aku pun ikut terdiam.

Komentar

  1. great, banyak pesan yang bisa diambil dari cerita ini, sayang banyak kalimat beranalogi yang membuyarkan konsentrasi pembaca, sehingga kurang fokus pada inti cerita, malah membayangkan analogi yang disuguhkan, but so far so good so what??!! keep writing!!!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

EOA GOLD, Investasi Emas Dunia Akhirat

Mengenal Sereal Umbi Garut, Manfaat, dan Cara Mengonsumsi

Unlogic Birth dalam Al Quran