Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2017

Binasa

Langit sudah hilang harapan Gunung bagai bulu berhamburan Rumah runtuh rata dengan tanah Tubuh rapuh terkulai tanpa nyawa Lihatlah ketika manusia dibangunkan Ketir raut wajahnya pilu Tak ada ikatan apapun Keculi pencarian pada Tuhan Bulan dan bintang telah lenyap Matahari sangat terik begitu dekat Tak ada keraguan dari padanya

Kemunculan

Digenggamanmu bukan senjata Digenggamanmu bukan juga uang atau kekuasaan Digenggamanmu hanya pena Yang dengannya kamu alirkan pikiran Otakmu tidak berisi cara menghasilkan banyak uang atau memakmurkan diri Tidak juga pandai menganalisis untung rugi Otakmu hanya berisi reinkarnasi keadilan Yang dengannya kamu dobrak kelaliman Mungkin suaramu belum terdengar Belum juga nyaring mengaung Bahkan jauh dari kelakar petir Meski gaungmu akan tiba pada saatnya Maka nikmati apa yang kamu genggam Pastikan tidak kamu buang reinkarnasi itu Sampai semua orang tahu Bahwa ada kamu si penegak

Tas Keranjang Bambu Di Pasar Mati

Seratus tiga puluh lima menit. Wanita dengan tas keranjang bambu termangu di bawah plang bertuliskan Pasar Mati. Berkali-kali diliriknya jam di tangan sembari menatap harap pada ujung jalan. Lututnya makin kelu berjongkok. "Tidak ada! Dia tidak mungkin datang," sungutnya pasrah. Seratus lima puluh menit. Wanita itu masih menunggu. Kini berganti duduk beralaskan tanah. Bros merah pada kerudungnya sudah lemah terpatri. Dandanan di wajahnya telah hilang tergerus minyak dan polusi. Ratusan kali melirik jam di tangan. Ribuan kali menatap harap pada ujung jalan. Semangat di matanya telah sirna berganti keputusasaan. ---------- "Sudah yakin, Ndok?" Pertanyaan yang sudah diulang kesekian kalinya ini hanya dibalas dengan satu kali anggukan. Semua sudah siap pada posisi. Kerudungnya kebas oleh keringat. Mukanya pucat pasi. Napasnya memburu. Mulutnya tersekap oleh kain. Hanya erangan sakit terdengar tersekat. Ember air jernih mulai berubah pekat merah dara

Jadi Itu Yang Namanya Patah Hati

Aku menengadah pada gelapnya langit malam. Tanpa bulan dan bintang. Hingar bingar perkotaan sepertinya tidak berbanding lurus dengan hatiku. Sepi. Aaah... sungguh aku kesepian. Ternyata hidup merantau lebih dari cukup mengajarkanku arti kata sepi. Adakah langit yang sama di negeri asalku? Setiap malam kamar sewaan 2 meter x 3 meter serupa dengan lapangan bola dan aku terperangkap di dalamnya. Aku yang terbilang cukup pandai bergaul serasa mati kutu di sini. Mereka tidak mengerti bahasaku begitu juga denganku yang tidak mengerti bahasa aneh mereka. Jadi, selama lebih dari sebulan, aku baru lancar berbahasa isyarat dengan tangan. Selain itu, bukan hanya masalah bahasa tetapi juga soal makanan. Negeri ini tidak terlalu banyak menyajikan makanan yang aman dikonsumsi muslimin. Sehingga aku terpaksa mencicil peralatan makan dan memasak sendiri untuk menjaga syahadatku. Aku juga seperti kehilangan arah, tanpa kumandang adzan dan arah kiblat. Beruntung saat awal tiba di sini, penganta

Fana

Belum juga sempat aku siap. Kamu datang menyergap. Mengusung dengan pasung. Menenggelamkan remah yang tak pernah sampai pada dasar. Aku bisa apa? Sementara gerakku telah terkotak. Terdikte 1 2 3 dan 3 2 1. Bagai poros bumi yang tak semikropun berubah rotasi. Atau takdir yang tak seperdetikpun meleset.  Jika boleh aku pinta. Sekali saja ingin aku teguk jelaga bebas. Berdiri tepat di nol derajat khatulistiwa. Tempat terendah dari gaya gravitasi. Atau bersemayam di lubang hitam. Agar sempurna sembunyiku darimu. Seilir dua ilir. Setangkai dua tangkai. Sehembus dua hembus. Sealun dua alun. Hingga jauh tampak rupamu dari pelupukku. Maka hilanglah bayangan gelap. Pergi memanjangkan jarak dari langkah kakiku. Meski harus menentang pancaran terbit sang surya atau cahaya senja. Asal selalu gagal kelam hinggap di hidupku. Dan kemunafikan terbakar bara putih kebaikan. Lalu hilanglah aku yang fana ini.

Penghuni Negara Ketiga

Bagi kami, penghuni negara dengan predikat ketiga, memang tidak mudah. Ada standar yang harus dikejar. Ada target yang harus dilampaui. Ada kerja yang tak pernah tuntas. Semuanya demi kesetaraan dan pandangan. Andai negara kami adalah negara pertama sebagai kiblat negara lain pastilah negara lain tersebut tidak akan seenaknya menjajaki kakinya atau membodohi negara kami. Selanjutnya hasrat-hasrat ketamakan dari penguasa negara kami tidak bersambut dan tersalurkan. Kalau begini rasanya terisolir lebih menyenangkan. Sementara peradaban giat berkembang. Terisolir tampak tidak menarik lagi justru berkesan ketinggalan jaman dan kurang up to date. Terutama menyangkut kebutuhan yang tidak bisa diperoleh secara mandiri karena keterbatasan potensi alam dan kemampuan. Maka membuka diri dengan penjaringan bisa jadi solusi. Meskipun tak semudah teori, praktek tanpa bekal kekuatan kepribadian seperti memanen air bersih dari air kotor tanpa lapisan pembersih. Air di dalamnya akan sama kotor de

Untuk Kartiniku Sayang

Hai Kartini! Sudah seberapa jauh jarak hidupmu dengan hidupku sekarang? Namun nama dan kisah hidupmu masih selalu diceritakan. Serasa baru kemarin saja. Tentang bagaimana keberanianmu. Tentang bagaimana perjuanganmu terhadap hak kaum wanita. Tentang pemikiranmu dalam sebuah kata nasionalisme. Terima kasih telah sangat berani di tengah masa dimana matahari seperti kehilangan kekuatan untuk bersinar atau ketika kita, kaum wanita, bahkan belum dipandang sebelah matapun. Terima kasih atas semangatmu yang tidak pernah padam. Maka tenanglah karena telah tumbuh banyak kartini lainnya sekarang. Kartiniku sayang! Ini bukan sekadar cerita masa lalu yang sarat keheroikan. Kartiniku hidup mendampingiku. Menunjukan keberanian, perjuangan dan pemikiran melawan kekejaman dari segi berbeda. Memang tidak bisa disandingkan dengan kehebatan namamu, tetapi bagiku dia adalah Kartiniku selamanya. Ibu. Bukan dengan gelar bangsawan dia menjadi berbeda dari yang lain. Bukan hanya bersegel seorang

Anomali

Gerbong besi tua panjang beroda baja sudah bertengger di jalur persiapan. Semua penumpang tanpa komando berhambur mendekat. Menebak posisi yang terdekat dengan pintu masuk. Sesekali melihat angka yang tertera pada tiket masuk. Pinggir peron seketika penuh sesak dengan lautan manusia beserta barang bawaannya. Beberapa rapih dengan koper atau tas cantik. Beberapa setia dengan kardus-kardus di punggung. Sisanya gerombolan anak muda penuh semangat yang lebih memilih menghabiskan waktu bersama kawanannya. Sesaat masinis memberitahukan bahwa kereta sudah siap untuk dimasuki. Tentu tidak ada antre. Padahal bangku di dalam tidak pernah pergi atau hilang. Semua berebut masuk menjadi yang pertama. Alasan terbaiknya mungkin takut kereta segera pergi. Diantara kesesakan di pintu gerbong kereta. Seorang lelaki baya dengan kardus besar di punggungnya tersungkur. Terdorong oleh seorang pemuda gagah. "Dahulukan wanita dong Pak!" Katanya sambil memberi ruang untuk wanitanya m

Kota Lama

Tergantung antara waktu dan peradaban Tercekat pada tuntutan dan keinginan Gemerlap dalam kejauhan Sesak kala dekap menyergap Kota lama kami hilang Diganti kota baru yang tak lagi sama Kata mereka ini sama dengan Bagi kami ini asing Kota lama kami bersahaja Kini jadi permainan para penguasaha Kota lama kami ramah Kini tersisa remah penindasan Habis kota lama kami tinggal cerita Segmentansinya tak lagi mengundang bahagia

Si Kacamata

"Aku siap!" Gumamku pada cermin setelah memastikan semua aman terkendali. Aku membuka pintu utama toilet. Detik itu waktu berhenti. Hatiku berdesir melihat sosok lelaki berkacamata yang juga sedang melihatku. Mungkin kami bertatapan atau entahlah, kacamatanya membuatku tidak bisa melihat dengan jelas arah matanya. Namun aku tahu bahwa kami saling terkejut pada pandangan yang tidak sengaja ini. Adakah dia terpesona? Atau hatiku yang telah tertawan dengan mudah? Hanya aku dan dia berjalan kembali menuju ruang Auditorium, tempat masa orientasi hari pertama diselenggarakan. Aku kikuk. Sebelumnya ada lima orang yang ikut rombongan ke toilet. Diantara mereka aku tidak menemukan lelaki ini. Sekarang justru mereka menghilang dan berganti hanya kami tanpa seorang kakak pendampingpun. Aku pikir dia juga kikuk. Beberapa kali kakinya tersandung oleh kakinya sendiri. Lucu sekali. Aku diam-diam tersenyum. Ini sungguh memalukan jika dia melihat mukaku yang memerah atau sebagain

Wong Cilik

"Sembako gratis! Sembako gratis!" Mobil pick up dilengkapi pengeras suara melintas di sepanjang jalan kawasan padat penduduk. "Gratis! Gratis! Graaaattttiiiiiiisssss!" Teriak lelaki dengan handuk melilit kepalanya di sisi pick up yang terbuka. Dalam sekejap warga tumpah ruah di jalan. Mobil tidak bisa lagi melaju, terhenti dikerumuni manusia segala usia. Tangan-tangan mulai menjamah, menerobos, mengambil barang apa saja yang mampu dicapai. Sekejap barang dalam mobil berpindah tangan dengan kecepatan luar biasa. Lelaki dengan lilitan handuk masih asik berteriak, membiarkan dengan sengaja satu per satu sembako raib dari mobil. Hanya sunggingan dan kekeh tawa sesekali tidak mampu ditahan. Menyela teriakannya. Suasana makin panas, ramai, riuh, buncah. Semakin banyak warga berdatangan. Semakin menipis persediaan. Semakin mudah godaan setan. Senggolan. Rebutan. Tarikan. Dorongan. Himpitan. Sesekali tangis menghias bunyi dari alat pengeras suara. Tentu juga teriaka

Catatan Di DM

Apa arti sebuah perjalanan jika bukan bersama partner yang tepat. Selebihnya tentang suasana, tempat dan kejadian seperti hanya laluan semata. Papasan yang tak kenal dan menyapa. Catatan ini dibuat dalam keresahan pada apa yang disebut dengan perjalanan. Melangkah jauh dari rumah. Pergi sementara dari orang-orang terkasih. Menghilang dari dunia sehari-hari. Aku pikir perjalanan memberi kesempatan menemukan hal lain. Tetapi seperti hal lain yang teramat asing. Perjalanan ini juga menyisakan keasingan pada orang-orang yang telah dekat sebelumnya. Tidakkah itu menyakitkan? Maka katakan perjalanan adalah waktu untuk menemukan. Jadi temukanlah tanpa menghilangkan temuan lama. Atau justru temukanlah untuk memperkuat temuan lama. Aku kembali dari perjalanan. Perjalanan mimpi untuk terbangun dan memberi energi tentang mimpi yang tidak akan sia-sia untuk tetap diperjuangkan. Aku akan kembali lagi bermimpi lalu nyata menatap hidup yang penuh peluh dan dera keringat. Hingga akhirnya akan

Sekeping Rindu

Perjalanan ini menyisakan sesak bernama rindu Perjalanan ini menghadirkan asa untuk pulang Perjalanan ini menyibak waktu agar bersama Perjalanan ini mengisahkan hati tentang kembali Sejauh apapun langkahku Keinginanku pada akhirnya adalah bersama Setinggi apapun harapku Diakhirnya aku hanya berasa Aku lelah dan ingin bersandar Meski tidak perjalanan selalu menawarkan candu Aku masih setia meminum perih Meski tidak pernah ada cahaya Selama tidak Engkau pisahkan aku darinya Selama tidak Engkau biarkan dunia menyakitinya Setelah perjalanan ini aku akan kembali Lebih baik dan dewasa Semoga kamu menerima sekeping rindu Dalam titipan doa selama kita tidak bertemu Mencoba memintal renda agar Tuhan memberikan izin lebih lama] Membuatmu berada di sisiku

Jumat, 13 April 2017

Entah saat ini aku sedang terdampar dimana. Mungkin benar kesukaan baruku adalah menyasarkan diriku sendiri. Mungkin benar aku tidak pernah suka pada kondisi yang hanya berulang sama terus menerus. Lalu aku pergi. Bukan untuk melarikan diri. Hanya mencari sebuah kejutan yang akan aku ceritakan suatu saat nanti. Hari ini entah suasana apa yang aku lihat. Mungkin berlawanan dengan harapanku di hari sebelumnya. Atau mungkin lebih dari yang aku harapkan. Aku hanya tau sampai detik ini aku pergi dari sebuah kenyamanan. Aku berharap sesuatu akan mengubahku. Membuatku lebih berani. Membuatku lebih tahu apa yang menjadi jalanku. Sesuatu ini semoga terjadi hari ini. Jika terjadi maka tiga hari lagi pasti aku menjadi sosok yang berbeda. Jika tidak terjadi maka aku akan meneruskan rencana yang sudah aku rencanakan. Rencana yang berarti Dia telah ridho terhadapnya. Dan berarti hanya prasangkaku bahwa rencana itu tidaklah baik dalam urusanku. Hari ini, aku ingin berlajar banyak hal ten

Karena Cinta

Tiga.... Dua.... Satu.... Jeprettt... kilat lampu blitz seketika membuat kami mematung. Memotret pose kami yang menggila. Maria selalu sukses menyempilkan tubuh diantara kami, agar terlihat langsing, dalihnya kepada kami. Tina selalu ingin terlihat memuakau di setiap kesempatan, jadilah dia berpose seperti para model papan atas. Sedangkan aku selalu suka melihat keanehan mereka. Aku juga tidak mau kalah berpose, karena tanpa aku, mereka tidak akan sempurna. Hehe.... Hari ini hari bahagia bagi kami. Aku dan Tina akhirnya berhasil menyusul Maria memakai toga itu. Toga yang untuk memakainya, kami perlu berjuang melawan banyak hal terutama melewati batas limit diri sendiri. Sungguh perjuangan berat tanpa kebersamaan dan cinta. Aku ingat bagaimana kami tenggelam dalam buku-buku yang harus menjadi referensi. Atau bagaimana kami harus mengumpulkan keberanian melawan argumen dosen pembimbing agar tidak melulu mengiyakan. Atau kenapa kami harus bertahan pada data-data sulit yang ba

Resensi Konspirasi Semesta

Gambar
Novel ke-5 milik Azhar Nurun Ala berjudul Konspirasi Semesta merupakan buku kedua Dwilogi Tuhan Maha Romantis. Diterbitkan oleh penerbit Lampu Djalan dengan tebal 207 halaman pada April 2016 sebagai cetakan pertama dan November 2016 sebagai cetakan kedua. Masih bertemakan keluhuran cinta seorang manusia. Jika buku pertama menceritakan perjuangan Rijal Rafsanjani menjalani keromantisan cinta Tuhan pada sosok bernama Annisa Larasaty. Di buku kedua ini berganti lika-liku perjuangan Annisa Larasaty yang dilema pada konspirasi semesta, pada cinta yang kembali menguak oleh sosok bernama Rijal Rafsanjani. Masih dikemas dalam aksara yang indah. Ditambah suguhan puisi dari pujangga Sapardi Djoko Damono dan sekilas mengenai sastra Tenggelamnya Kapal Van Der Wick masih menjadi keunggulan dari Azhar. Beberapa sentilan pada ketidakadilan dan ajaran agama ikut mewarnai novel bergenre fiksi ini. Konspirasi semesta menyuguhkan bahwa sebuah kejadian pertemuan, perpisahan dan kematian bukanla

Kenyataan 1

Gambar
Siang terik hari ini tidak menyurutkan langkah gagahmu. Demi tetap menjajakan barang-barang jualan. Bersama lindungan topi yang membuatmu sedikit nyaman diantara terpaan sengat panas tetap tiada lelah mampu hinggap. Peluh keringat juga tiada arti. Aku bertanya, jiwa macam apa yang bersemayam dalam tubuhmu? Perlahan aku mendekat, menanyakan sejauh apa rasa syukurku. Sementara sisi duniaku yang biasanya selalu hingar bingar berlomba meraup banyak keuntungan. Memperkaya diri sendiri yang katanya nanti akan digunakan untuk orang lain juga. Benarkah? Kemudian sosok wanita dihadapku. Perlahan menghitung sisa barang-barang yang dijualnya. Aah... Bu... tidakkah menghitung sisa barang jualanmu lebih sulit dibandingkan menghitung berapa yang sudah terjual? Aku mungkin belum mengerti bahwa menghitung sisa barang jualan adalah keoptimisan yang paling sederhana. Seperti membuat garis yang lebih pendek dibandingkan menghapus garis panjang? Jika begitu, maka aku layak disebut gagal m

Biar Aku Paham Artinya Bekerja Keras

Menjalani dua dunia ternyata tidak semudah yang aku pikirkan. Ingin rasanya menyerah tetapi itu adalah keputusan paling pengecut yang pernah ada. Namun, aku hampir kehilangan waktu berdialog dengan diriku sendiri. Awalnya aku pikir, kembali merupakan cara terbaik untuk menjadi diri sendiri. Bahkan kembali dengan lebih banyak mengerti bisa membuatku lebih ahli. Meskipun belum mampu disandingkan dengan mereka yang punya bakat lebih untuk menerima interaksi ini. Sementara aku tidak bisa. Sisi lainku tidak menerima. Kenyataan bahwa disekitarku hanya ada peredaran uang yang tidak baik. Atau kenyataan lainnya yaitu tidak ada contoh dan tauladan yang baik dalam memanusiakan manusia. Apakah ini pantas untuk dipertahankan? Walaupun aku tau ketidakmungkinan jika aku pergi begitu saja. Kemudian aku menemukan satu tempat baru yang memberikan kebaikan. Meskipun lebih banyak beban dan sungguh ini tidak mudah. Sisi lainku berharap pada kepastian dalam ini. Aku tau tidak mudah. Aku putuskan

Demam

Aku rindu Maka aku peluk kamu Aku cemburu Maka aku cabut sedikit sayapmu Aku kangen Maka aku timpuk kamu Agar kamu sedikit Menoleh padaku Biar pelukku membuatmu panas Biar hilang sayapmu membuatmu berhenti Biar timpukanku membuatmu ingat Bahwa kamu ada karena Aku

Lagu Pengamen

Andai matahari tak lagi bersinar Andai bumi nanti tak lagi berputar Andai langit tujuh jadi terbelah tujuh Andai bumi nanti ikut juga terbelah tujuh Ingatlah kiamat pasti datang Ingatlah waktunya hanya sebentar Wahai anak cucu Adam Apa yang sudah kamu lakukan Wahai anak cucu Adam Apa yang bisa kamu lakukan Kesombongan duniamu Adalah cermin siksa akhiratmu Kesombongan duniamu Adalah cermin siksa akhiratmu *** Bus Bekasi-Bogor

Aku Dan Malam

Renungku menerawang pada Pagi Siang Sore Petang Setengah malam Lampau Jika kata batin Menyelesaikan satu hari Pastilah didera aku Dengan sesal Jika kata batin Menikmati satu hari Maka aku Hidup

Di Bawah Trembesi

Rasa rindu ini menguap. Akhirnya kamu kembali datang dengan sekarung penuh nutrisi untukku. Setelah musim berkali-kali berganti, mengecap lingkaran di tubuhku. Lihatlah aku makin kokoh dan rindang! "Waah... sekarang sudah jauh lebih tinggi dari tinggiku!" Bahagiaku mendengar ucapanmu. Iya aku berusaha keras untuk tumbuh. Menarik sebanyak mungkin hara. Merengaskan banyak daun ketika musim mulai sulit. Mengakar lebih jauh. Semua kerja keras itu lunas terbayar karenamu. Kamu mulai menyebarkan nutrisi di sekitar ujung-ujung jemari akarku. Membersihkan sebagian tubuhku yang mampu dijangkau. Sungguh aku rindu usapan itu. Aku pastikan untuk terus tumbuh ketika perlahan langkahmu pergi menjauh. --------------- Rasa rindu ini menguap. Akhirnya kamu kembali datang dengan sekarung penuh nutrisi, beberapa balok kayu dan sekotak alat perkakas. Kamu memandangku lebih takjub. Apa aku berhasil menarik perhatianmu? Bahagianya aku! Setelah menyebarkan nutrisi di sekita

Untukmu Yang Dengan Tega Pergi Setelah Semua Perjuangan Ini

Maafkan aku jika sifat wanitaku selalu meminta kepastian darimu. Maafkan aku jika perasaan wanitaku selalu mengganggu dan berharap pada perhatianmu yang lebih untukku. Sekali lagi maafkan aku jika sisi wanitaku menuntut dan mengingatkan berkali-kali agar kamu bertanggung jawab pada tiap detik harapan yang kamu semaikan di hatiku. Meskipun tidak pernah kamu pelihara, melainkan aku membiarkannya tumbuh subur dengan nutrisi kesabaranku akan waktu kebahagiaan kita. Setelah aku menyelesaikan urusanku, begitu katamu, atau setelah aku mengantongi seratus persen restu kedua orang tuaku. Baiklah aku menghargai setiap keputusanmu karena aku menghargaimu sebagai calon imamku. Namun, lagi-lagi karena aku adalah wanita. Aku harus berulang kali mengais kembali ketegaranku. Menantimu dengan sabar hingga kamu selesai pada setiap aspek urusanmu dan kembali padaku. Aku mengamini setiap perkataanmu. Satu katamu merupakan seribu gerak tindakanku. Perlahan menunggumu menjadi bagian hari-hariku. Hi

Sosok Sandiaga Uno 'Bukan Kampanye!'

Siapa yang tidak kenal dengan lelaki kelahiran Rumbai, Pekanbaru, Riau pada tanggal 28 Juni 1969 bernama lengkap Sandiaga Salahudin Uno? Lelaki tajir, tampan dan makin tersohor berkat menjadi salah satu kandidat calon dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta ini tampaknya punya sisi manis yang patut menjadi panutan pemuda Indonesia. Disebut-sebut sebagai anak yang terlahir dari keluarga kaya dinasti Uno justru membuatnya banyak dituntut untuk disiplin dan bersih dalam berbagai hal. Tidak salah jika beliau memiliki slogan kerja 4As. Berdasarkan ulasan dari laman tribunnews.com kekayaan lelaki dengan 3 orang anak sebesar Rp 3,8 Triliun tidak pernah melihat kekayaan dalam sebuah simbolisasi misalnya kenapa beliau tidak memiliki mobil mewah seperti orang kaya pada umumnya, beliau mengaku bahwa mobil hanya sebuah alat transportasi. It's so functional how to get point A to point B. Tidak hanya cara berpikirnya yang begitu rasional, beliau juga selalu memegang teguh prinsip untuk sto

Dilema Untuk Hujan

Jika ada yang khawatir pada turunnya hujan maka salah satunya adalah aku. Terlahir di keluarga kurang berada memang bukan pilihan tetapi syukurku tak pernah hilang karena sosoknya. Kakak terbaik sepanjang masa. "Hujan datang!" Katamu riang. Hujan. Sering aku cemburu padamu. Bukan hanya karena kebisuan tanah, pohon dan atap rumah yang ikhlas terbasahi, melainkan kedatanganmu jauh membuatnya berbinar. Sedangkan aku, yang termunafik, berharap kamu tidak datang tapi selalu merindu kedatanganmu yang sama dengan keriangannya. "Sudah siap?" Aah... aku ingin waktu berhenti saat matamu, senyum dan semua bahasa tubuhmu seceria ini. Setelahnya aku tidak ingin terjadi. Mungkin hujan tak bisa aku hentikan. Namun, aku terus berdoa agar hujan sesegera mungkin reda. Hanya waktu menunggu hujan reda yang selalu aku harapkan berlangsung singkat. Kini payung berukuran besar, satu-satunya yang kami miliki, sudah meneduhkanmu di depan pintu reot tanpa kunci. Segera aku bergabun