Dilema Untuk Hujan
Jika ada yang khawatir pada turunnya hujan maka salah satunya adalah aku. Terlahir di keluarga kurang berada memang bukan pilihan tetapi syukurku tak pernah hilang karena sosoknya. Kakak terbaik sepanjang masa.
"Hujan datang!" Katamu riang.
Hujan. Sering aku cemburu padamu. Bukan hanya karena kebisuan tanah, pohon dan atap rumah yang ikhlas terbasahi, melainkan kedatanganmu jauh membuatnya berbinar. Sedangkan aku, yang termunafik, berharap kamu tidak datang tapi selalu merindu kedatanganmu yang sama dengan keriangannya.
"Sudah siap?"
Aah... aku ingin waktu berhenti saat matamu, senyum dan semua bahasa tubuhmu seceria ini. Setelahnya aku tidak ingin terjadi. Mungkin hujan tak bisa aku hentikan. Namun, aku terus berdoa agar hujan sesegera mungkin reda. Hanya waktu menunggu hujan reda yang selalu aku harapkan berlangsung singkat.
Kini payung berukuran besar, satu-satunya yang kami miliki, sudah meneduhkanmu di depan pintu reot tanpa kunci. Segera aku bergabung bersamamu di bawah payung. Langkahmu ringan seperti percik butiran hujan.
"Kali ini kita mungkin dapat uang banyak karena tiba-tiba hujan. Mereka pasti lupa membawa payung," sudah kesekian kali rangkaian kalimat ini terucap setiap kami menuju tempat biasa menjajakan payung.
Benar saja, setibanya di sana, sudah banyak bocah, sebaya kami, menawarkan payung pada orang-orang yang masuk dan keluar stasiun. Kakakku tentu secepat kilat berhambur diantara mereka setelah menggenggam erat tanganku.
Satu demi satu mereka menolak, tetapi kakak tidak habis akal. Kami menyambangi penitipan motor di sekitar stasiun.
"Mereka tidak mungkin mengenakan jas hujan menuju stasiun," senyummu mantap.
Benar. Salah seorang yang menitipkan motornya menghampiri kami. Jantungku mulai bergemuruh. Aku menjauh membiarkan kakak menegosiasikan harga. Aku tidak pernah suka bagian ini karena mereka selalu meminta harga rendah. Sementara kami, butuh uang, tidak mampu memberi penawaran tinggi.
Setelah sepakat tentang harga. Mereka akan memakai payungnya. Kemudian kami akan mengikuti dari belakang. Tentu tanpa perlindungan payung.
Tubuh kami basah. Ditambah dinginnya angin menusuk tulang. Belum lagi genangan tinggi membuat kulit hitam kami memutih dan kisut.
Satu dua jam pertama, kami masih mampu berlari mengimbangi langkah panjang mereka. Namun, jam berikutnya tubuh kurus kami mulai menggigil. Bibir membiru. Udara dari mulut juga sudah mendingin, tidak mampu menghangatkan jemari kami yang mulai hilang rasa.
Kakak tak pernah membiarkanku merasakan tahapan itu. Tubuhku lebih kurus dan kecil sehingga aku tidak diperbolehkan mengikuti mereka. Meskipun sesekali aku nekad menemani sambil merengek agar segera pulang. Baiklah itu tidak pernah berhasil.
Kakak hanya akan pulang saat hujan berhenti. Kemudian mengeringkan uang-uang basah, mandi, menyeduh teh hangat dan mengenakan tiga hingga lima lapis baju agar hangat.
Terkadang rutinitas itu tidak berjalan baik. Kakak akan terserang flu dan demam hingga beberapa hari. Alhasil uang-uang basah tersebut hanya akan berubah menjadi bungkusan obat dari apotek.
"Hujan datang!" Katamu riang.
Hujan. Sering aku cemburu padamu. Bukan hanya karena kebisuan tanah, pohon dan atap rumah yang ikhlas terbasahi, melainkan kedatanganmu jauh membuatnya berbinar. Sedangkan aku, yang termunafik, berharap kamu tidak datang tapi selalu merindu kedatanganmu yang sama dengan keriangannya.
"Sudah siap?"
Aah... aku ingin waktu berhenti saat matamu, senyum dan semua bahasa tubuhmu seceria ini. Setelahnya aku tidak ingin terjadi. Mungkin hujan tak bisa aku hentikan. Namun, aku terus berdoa agar hujan sesegera mungkin reda. Hanya waktu menunggu hujan reda yang selalu aku harapkan berlangsung singkat.
Kini payung berukuran besar, satu-satunya yang kami miliki, sudah meneduhkanmu di depan pintu reot tanpa kunci. Segera aku bergabung bersamamu di bawah payung. Langkahmu ringan seperti percik butiran hujan.
"Kali ini kita mungkin dapat uang banyak karena tiba-tiba hujan. Mereka pasti lupa membawa payung," sudah kesekian kali rangkaian kalimat ini terucap setiap kami menuju tempat biasa menjajakan payung.
Benar saja, setibanya di sana, sudah banyak bocah, sebaya kami, menawarkan payung pada orang-orang yang masuk dan keluar stasiun. Kakakku tentu secepat kilat berhambur diantara mereka setelah menggenggam erat tanganku.
Satu demi satu mereka menolak, tetapi kakak tidak habis akal. Kami menyambangi penitipan motor di sekitar stasiun.
"Mereka tidak mungkin mengenakan jas hujan menuju stasiun," senyummu mantap.
Benar. Salah seorang yang menitipkan motornya menghampiri kami. Jantungku mulai bergemuruh. Aku menjauh membiarkan kakak menegosiasikan harga. Aku tidak pernah suka bagian ini karena mereka selalu meminta harga rendah. Sementara kami, butuh uang, tidak mampu memberi penawaran tinggi.
Setelah sepakat tentang harga. Mereka akan memakai payungnya. Kemudian kami akan mengikuti dari belakang. Tentu tanpa perlindungan payung.
Tubuh kami basah. Ditambah dinginnya angin menusuk tulang. Belum lagi genangan tinggi membuat kulit hitam kami memutih dan kisut.
Satu dua jam pertama, kami masih mampu berlari mengimbangi langkah panjang mereka. Namun, jam berikutnya tubuh kurus kami mulai menggigil. Bibir membiru. Udara dari mulut juga sudah mendingin, tidak mampu menghangatkan jemari kami yang mulai hilang rasa.
Kakak tak pernah membiarkanku merasakan tahapan itu. Tubuhku lebih kurus dan kecil sehingga aku tidak diperbolehkan mengikuti mereka. Meskipun sesekali aku nekad menemani sambil merengek agar segera pulang. Baiklah itu tidak pernah berhasil.
Kakak hanya akan pulang saat hujan berhenti. Kemudian mengeringkan uang-uang basah, mandi, menyeduh teh hangat dan mengenakan tiga hingga lima lapis baju agar hangat.
Terkadang rutinitas itu tidak berjalan baik. Kakak akan terserang flu dan demam hingga beberapa hari. Alhasil uang-uang basah tersebut hanya akan berubah menjadi bungkusan obat dari apotek.
Ini bersambung Kak?
BalasHapusUdah selesai..huhuhu
HapusHikz 😢
BalasHapustissue mana tissue :P
Hapus:(((
BalasHapus-__-
Hapus