Tas Keranjang Bambu Di Pasar Mati
Seratus tiga puluh lima menit. Wanita dengan tas keranjang bambu termangu di bawah plang bertuliskan Pasar Mati. Berkali-kali diliriknya jam di tangan sembari menatap harap pada ujung jalan. Lututnya makin kelu berjongkok.
"Tidak ada! Dia tidak mungkin datang," sungutnya pasrah.
Seratus lima puluh menit. Wanita itu masih menunggu. Kini berganti duduk beralaskan tanah. Bros merah pada kerudungnya sudah lemah terpatri. Dandanan di wajahnya telah hilang tergerus minyak dan polusi. Ratusan kali melirik jam di tangan. Ribuan kali menatap harap pada ujung jalan. Semangat di matanya telah sirna berganti keputusasaan.
----------
"Sudah yakin, Ndok?" Pertanyaan yang sudah diulang kesekian kalinya ini hanya dibalas dengan satu kali anggukan.
Semua sudah siap pada posisi. Kerudungnya kebas oleh keringat. Mukanya pucat pasi. Napasnya memburu. Mulutnya tersekap oleh kain. Hanya erangan sakit terdengar tersekat. Ember air jernih mulai berubah pekat merah darah.
Kedua lengannya yang terikat pada tiang kayu penyangga tempat tidur menegang. Menarik kuat sebagai lampiasan sakit yang tidak tertahankan. Dukun beranak yang terkenal dengan nama simbah beraksi tanpa satupun alat bedah.
Beberapa waktu berkutat dalam tugas masing-masing. Simbah sibuk memeras darah dan pasien sibuk menjaga akalnya tetap sadar. Akhirnya yang ditunggu datang. Segumpal darah.
----------
"Kita belum cukup umur. Kejadian itu juga hanya kecelakaan. Kita harus cari Simbah," katamu kasar.
Sebelumnya kamu sangat lembut memperlakukanku bagai putri raja. Semua inginku kamu penuhi. Semua titahku kamu laksanakan. Hingga malam itu kamu pinta bayaran atas semuanya dengan paksa.
Sekarang aku cukup tahu diri. Dimana letak cintamu bermuara. Bukan pada janji diawal kita bersama. Bukan juga pada pribadimu sebagai calon pemuka agama. Habis sudah perkara hidupku.
----------
"Singkirkan tas keranjang bambu itu!!!" Hardik wanita berparas kuyu. Kerudungnya sudah hilang dari kepala. Matanya melolong tajam.
"Mati. Haha.... Sudah M-A-MA-T-I-TI MA-TI!"
Wanita itu tidak pernah berhenti berteriak. Berucap perkataan yang sama. Semua orang yang lalu lalang melewati satu-satunya gerbang berplang dengan tulisan Pasar Mati.
Tas keranjang bambu masih membisu tak jauh dari wanita itu berada. Tak ada satupun warga yang berani mengusik sejak hari itu. Hari ketika tas keranjang bambu terjatuh. Dari dalamnya menggelinding kepala lelaki dengan mulut menganga dan mata melotot.
Beberapa waktu berkutat dalam tugas masing-masing. Simbah sibuk memeras darah dan pasien sibuk menjaga akalnya tetap sadar. Akhirnya yang ditunggu datang. Segumpal darah.
----------
"Kita belum cukup umur. Kejadian itu juga hanya kecelakaan. Kita harus cari Simbah," katamu kasar.
Sebelumnya kamu sangat lembut memperlakukanku bagai putri raja. Semua inginku kamu penuhi. Semua titahku kamu laksanakan. Hingga malam itu kamu pinta bayaran atas semuanya dengan paksa.
Sekarang aku cukup tahu diri. Dimana letak cintamu bermuara. Bukan pada janji diawal kita bersama. Bukan juga pada pribadimu sebagai calon pemuka agama. Habis sudah perkara hidupku.
----------
"Singkirkan tas keranjang bambu itu!!!" Hardik wanita berparas kuyu. Kerudungnya sudah hilang dari kepala. Matanya melolong tajam.
"Mati. Haha.... Sudah M-A-MA-T-I-TI MA-TI!"
Wanita itu tidak pernah berhenti berteriak. Berucap perkataan yang sama. Semua orang yang lalu lalang melewati satu-satunya gerbang berplang dengan tulisan Pasar Mati.
Tas keranjang bambu masih membisu tak jauh dari wanita itu berada. Tak ada satupun warga yang berani mengusik sejak hari itu. Hari ketika tas keranjang bambu terjatuh. Dari dalamnya menggelinding kepala lelaki dengan mulut menganga dan mata melotot.
Ihhh ngeri mbak 😨😨
BalasHapushehe
HapusNgeriii mba Windaaa
BalasHapushehe
Hapusgilaaaaa,,, lanjutiiiinnn gimana caranya bisa mati,, hehehe
BalasHapusimajinasiin sendiri..hehe
Hapus