Jadi Itu Yang Namanya Patah Hati

Aku menengadah pada gelapnya langit malam. Tanpa bulan dan bintang. Hingar bingar perkotaan sepertinya tidak berbanding lurus dengan hatiku. Sepi. Aaah... sungguh aku kesepian. Ternyata hidup merantau lebih dari cukup mengajarkanku arti kata sepi. Adakah langit yang sama di negeri asalku?

Setiap malam kamar sewaan 2 meter x 3 meter serupa dengan lapangan bola dan aku terperangkap di dalamnya. Aku yang terbilang cukup pandai bergaul serasa mati kutu di sini. Mereka tidak mengerti bahasaku begitu juga denganku yang tidak mengerti bahasa aneh mereka. Jadi, selama lebih dari sebulan, aku baru lancar berbahasa isyarat dengan tangan.

Selain itu, bukan hanya masalah bahasa tetapi juga soal makanan. Negeri ini tidak terlalu banyak menyajikan makanan yang aman dikonsumsi muslimin. Sehingga aku terpaksa mencicil peralatan makan dan memasak sendiri untuk menjaga syahadatku. Aku juga seperti kehilangan arah, tanpa kumandang adzan dan arah kiblat. Beruntung saat awal tiba di sini, pengantarku memberi tahu arah  kiblat. Setidaknya itu cukup sebagai tiketku mengadu di sepertiga malam.

Jika bukan karena hasrat dan impian, aku tidak akan menjejakan kakiku sejauh ini. Bertempur melawan ketidaknyamanan agar perlahan menjadi nyaman tidak semudah pikirku. Andai ada seseorang sahabat yang menemani, mungkin kondisi ini jauh lebih manusiawi. Aku kembali setiap malam harus memutar otak dan mengingat rasa itu sehingga aku bisa sampai pada titik ini.

Aku dan negeri rantau ini sangat tidak cocok. Aku bukan nokturnal sedangkan negeri ini malam sama dengan siang dan pagi mungkin tengah malam untuk mereka. Beberapa hal tidak pernah berhasil berkawan denganku. Salah satunya yaitu pemujaan di kuil. Pada sejumlah kesempatan ibu pemilik kamar yang aku sewa memintaku ikut memuja ke kuil. Tentu mudah melakukan penolakan di awal tetapi makin lama aku terpaksa berbohong ini dan itu. Sama sekali tidak menyenangkan.

Aku menengadah pada gelapnya langit malam. Aku cari cahaya pada hati. Kemana terangku pergi? Jika menyerah jalan termudah dan mengarungi butuh tenaga lebih. Aku hanya ingin diam, membiarkan semua mengalir menanti takdir.

Namun diam bukan gayaku. Diam adalah mati bagiku. Sementara malam ini, bisa jadi akhir dari pemikiran panjangku. Aku berhenti merasakan. Dan hanya menemukan sebuah kata diam bersemayam. Aku bisa apa? Selain terpaksa menyerahkan atau rela pada kejadian. Meskipun patah hati ini.

Patah hati bukan hanya perkara cinta, bisa jadi karena apa yang diperjuangkan terlalu berat dan meronta untuk dihentikan. Bahkan sebelum sampai pada langkah kedua.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

EOA GOLD, Investasi Emas Dunia Akhirat

Mengenal Sereal Umbi Garut, Manfaat, dan Cara Mengonsumsi

Unlogic Birth dalam Al Quran