Untukmu, Orang Di Depan Mejaku, Mari Kita Buat Banyak Kenangan!

"Hidup ini berat," katamu layu pagi ini.

Sejak pertama kita ditakdirkan sekantor, kamu tidak pernah selesu ini di pagi hari. Ada apa gerangan denganmu? Aku sungguh keheranan. Namun, aku biarkan kamu duduk di bangku dan melepaskan sedikit keletihan sisa perjalanan dari rumah ke kantor.

Aku menatapmu lekat. Kamu tetap saja abai. Mulai bersiap menyalakan komputer lalu mengeluarkan sisa kerjaan kemarin dari laci. Bicara perihal kedekatan sudah tidak terdefinisikan, mengingat kami hanya berdua di ruangan ini. Meskipun baru saja 2 bulan bersama, berbagi cerita dari gosip tetangga hingga politisi yang terjerat kasus korupsi sudah kenyang jadi bahan obrolan sehari-hari di kantor.

Pagi ini, entah ada apa, kamu dirundung sendu. Awan gelap menggantung kokoh di atas kepala. Kamu masih diam seribu bahasa, sibuk membuka file ini dan itu. Aku di sini masih menatap menunggu waktu untuk mulai bertanya.

"Kenapa?" Aku beranikan untuk memulai pembicaraan.

Sedetik kemudian aku merasa bersalah telah bertanya. Kamu menunduk sambil merapatkan kedua telapak tangan di wajah. Aku melihat bahumu bergetar dan mulai terdengar isak tangis. Aku segera mengahampiri. Menanyakan perihal apa hingga kamu menangis hebat seperti ini. Pelukku langsung menghambur di tubuhmu yang masih bergetar.

Tangismu semakin menjadi. Aku usap lembut kepala yang kini ada dalam dekapan kedua tanganku. Air matamu mulai merembes basah di baju. Aku khawatir tetapi lebih memilih diam untuk memberimu waktu mengusir pedih itu.

"Aku sudah tidak tahan bekerja di sini. Bukan kepemimpinan seperti ini yang aku harapkan. He is a boss not a leader! Menggencet bukan menghidupkan! Menguras bukan menyuburkan!"

Aku terbelalak, tidak percaya. Mencoba mencari kebenaran dari ucapanmu. Aku tatap matamu yang masih kebas oleh air mata.

"Aku pikir kamu menyukai ini? Bukankah ini adalah bidangmu? Dan selama ini kamu terlihat menikmati tanpa banyak keluh sepertiku. Bagaimana bisa?"

Banyak tanya yang tidak bisa lagi aku ucapkan. Kamu tidak seperti ini. Kamu selalu senang mengerjakan semua hal ini. Kamu tampak bahagia dengan ini. Berbeda denganku yang selalu mengeluh ini dan itu. Kamu bilang aku harus bersyukur. Kamu katakan aku bisa banyak belajar di sini. Aku tetap percaya padamu karena setiap hari aku rasakan kamu memberiku banyak hal baru yang menakjubkan.

Kamu masih terisak. Aku tahu kamu berusaha keras menghentikan air mata yang masih deras mengalir. Untuk beberapa saat aku kembali memelukmu, membiarkan luka itu terbagi.

"Oke cukup!" Kamu melepaskan pelukan. Kemudian mengusap air mata dari wajah. Segera bangkit dan berlalu menuju toilet.

Kamu kembali lebih tegar. Nyaris seperti kamu yang aku kenal hanya sembab matamu tidak bisa tertutupi. Kamu duduk dan merekahkan senyum dari meja di depanku. Detik itu aku tahu kamu sudah kembali.

"Aku memutuskan berhenti di bulan Mei. Aku haus berproses dan berkembang. Aku merasa jiwa mudaku memberontak, meminta pembelajaran baru dari seorang pemimpin bukan bos yang hanya bisa menyuruh tanpa kemanusiaan," ucapmu tegas.

"Aku mengerti. Aku pun sudah ingin pergi sejak awal tetapi kamu selalu membuatku penasaran dan bertahan. Jika kamu sudah menyerah maka apalagi yang bisa aku lakukan. Jadi, mari mulai hari ini kita buat banyak kenangan! Mungkin setelah Mei, kita tidak bisa sesering ini bertatap dan berdiskusi," senyumku merekah.

Iya. Kamu di depan mejaku, mari kita buat banyak kenangan! Aku telah banyak diberi olehmu maka biarkan sisa waktu kebersamaan ini, membuatmu bisa mengingatku diantara teman-teman spesialmu yang lain.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

EOA GOLD, Investasi Emas Dunia Akhirat

Mengenal Sereal Umbi Garut, Manfaat, dan Cara Mengonsumsi

Unlogic Birth dalam Al Quran