Kota Seribu Kenangan
Aku selalu suka kota ini. Semua hal tentang kota ini adalah keromantisan paling syahdu. Aku suka jejalan angkutan umum berwarna hijau seliweran memadati badan jalan. Penuh. Macet. Bising suara klakson. Seperti mainan baru yang ingin terus aku mainkan.
Aroma udara. Sejuk. Lembab. Menentramkan. Aku rela berlari gopoh demi menghirup banyak oksigen. Bila perlu aku abadikan pada ribuan tabung untuk kemudian aku buka di kota tinggalku. Aah... aku suka sekali dengan hembusan angin yang membuat daun-daun kering, layu, rapuh, jatuh dari genggaman ranting. Terutama saat daun atau kelopak bunga bersama angin itu mengenai kepala, wajah atau lenganku. Bagiku itu seperti sentuhan Tuhan. Mengagumkan.
Setiap jengkal sudut juga kenangan yang kemudian kembali terasa nyata di sini. Meskipun sekarang sedikit berubah karena moderenisasi, tapi untukku wajah kota ini tidak pernah terganti. Di setiap ujung jalan masih bisa aku temukan pengemis jalanan. Mereka tertunduk. Masih saja tertunduk hingga kini. Mungkin tidak lama lagi sudut itu akan tidak berpenghuni.
Kini jalan setapak menjadi layak dijajaki. Kerikil yang berjajar saling menempel. Tanaman di pinggiran seperti pagar. Sampah rapih dalam tempatnya. Bangku berjajar dengan jarak teratur. Aku lihat bayanganku berjalan di sana. Bercengkrama dengan yang lain. Obrolan asik hingga tidak terasa sudah di ujung jalan.
Sempurna. Kota ini penggambaran pas untuk kenangan-kenangan indah itu. Aku berharap selalu bisa berkunjung lagi. Lagi. Lagi. Dan lagi. Kota hujan dengan seribu kenangan.
Aroma udara. Sejuk. Lembab. Menentramkan. Aku rela berlari gopoh demi menghirup banyak oksigen. Bila perlu aku abadikan pada ribuan tabung untuk kemudian aku buka di kota tinggalku. Aah... aku suka sekali dengan hembusan angin yang membuat daun-daun kering, layu, rapuh, jatuh dari genggaman ranting. Terutama saat daun atau kelopak bunga bersama angin itu mengenai kepala, wajah atau lenganku. Bagiku itu seperti sentuhan Tuhan. Mengagumkan.
Setiap jengkal sudut juga kenangan yang kemudian kembali terasa nyata di sini. Meskipun sekarang sedikit berubah karena moderenisasi, tapi untukku wajah kota ini tidak pernah terganti. Di setiap ujung jalan masih bisa aku temukan pengemis jalanan. Mereka tertunduk. Masih saja tertunduk hingga kini. Mungkin tidak lama lagi sudut itu akan tidak berpenghuni.
Kini jalan setapak menjadi layak dijajaki. Kerikil yang berjajar saling menempel. Tanaman di pinggiran seperti pagar. Sampah rapih dalam tempatnya. Bangku berjajar dengan jarak teratur. Aku lihat bayanganku berjalan di sana. Bercengkrama dengan yang lain. Obrolan asik hingga tidak terasa sudah di ujung jalan.
Sempurna. Kota ini penggambaran pas untuk kenangan-kenangan indah itu. Aku berharap selalu bisa berkunjung lagi. Lagi. Lagi. Dan lagi. Kota hujan dengan seribu kenangan.
Komentar
Posting Komentar