Tepian Mahakam
Aku masih suka tanganku digandeng berayun seperti ini. Mungkin terkesan kekanakan. Tapi, biarlah keromantisan ini bertahan lebih lama.
Di tepian sungai Mahakam, saksi bisu perjalanan cinta kita. Birunya tidak pernah setenang ini sampai aku menemukanmu. Oh... sampai Tuhan mempertemukan kita. Lalu kamu berani memintaku, menyatakan cinta.
Saat itu, aku tak pernah berpikir kamulah orangnya. Seiring waktu berlalu, yang datang lalu pergi, hanya kamu yang tetap di sisi. Bukankah itu bukti kita tak pernah ingin terganti.
Waktu berlalu dan kamu makin dewasa bagiku. Beberapa aku tahu kamu berusaha lebih dari yang pernah kamu tahu. Aku pun begitu menerima kamu berarti memporak-porandakan pertahan diriku.
Aku tak apa. Hanya saja memang butuh banyak waktu. Dan, kamu memberikan itu. Aku akan mengalah dan berusaha memahamimu, ucapmu kala itu di tepian Mahakam.
Kali berikutnya, aku menemukan diriku hilang ketika kamu sulit dikabari dan ditemui. Aku pergi, mengadu di tepian Mahakam ini. Lalu aku menyadari arti penting kehadiranmu. Dan, berharap kamu muncul di sisi seperti waktu lalu.
Benar saja, tepian Mahakam kembali menjadi saksi. Yang lain datang dan pergi tetapi kamu tetap bertahan di sisi. Entah dari mana kamu hadir. Aku hanya ingin tahu cara membuatmu tetap tinggal.
Kita saling mengenal. Perlahan. Lambat. Pelan. Aku tak terganggu dan kamu menikmati itu. Aku pun sedang tidak terburu-buru, begitu ejekmu padaku. Aku terkekeh malu. Aku memang tak ahli bersembunyi tetapi kamu bilang aku ahli mencuri hati.
Sampai akhir, tepian Mahakam ini menjadi saksi. Lagi. Genggaman tangan hangatmu terlepas pergi. Bukan atas kehendakmu ataupun aku. Bukan juga salahmu ataupun aku. Takdir memang mempertemukan kita. Lalu memisahkannya lagi. Aku dan kamu tidak pernah marah. Kita tak pernah marah.
Perpisahan genggamanmu dari genggaman tanganku memang keputusan-Nya. Yang terbaik dari-Nya. Kita menerima itu. Dan, memastikan tak bersisa penyesalan di dalamnya.
Di tepian Mahakam, kamu hilang untuk selamanya. Entah kapal mana yang kamu tumpangi dan itu tidak pernah kembali. Aku memahami kamu pergi dan tak akan kembali. Sampai akhir Mahakam tetap menjadi saksi, genggaman tangan lain yang membuatku kembali seperti putri kecil. Aku suka digenggam berayun seperti ini.
Di tepian sungai Mahakam, saksi bisu perjalanan cinta kita. Birunya tidak pernah setenang ini sampai aku menemukanmu. Oh... sampai Tuhan mempertemukan kita. Lalu kamu berani memintaku, menyatakan cinta.
Saat itu, aku tak pernah berpikir kamulah orangnya. Seiring waktu berlalu, yang datang lalu pergi, hanya kamu yang tetap di sisi. Bukankah itu bukti kita tak pernah ingin terganti.
Waktu berlalu dan kamu makin dewasa bagiku. Beberapa aku tahu kamu berusaha lebih dari yang pernah kamu tahu. Aku pun begitu menerima kamu berarti memporak-porandakan pertahan diriku.
Aku tak apa. Hanya saja memang butuh banyak waktu. Dan, kamu memberikan itu. Aku akan mengalah dan berusaha memahamimu, ucapmu kala itu di tepian Mahakam.
Kali berikutnya, aku menemukan diriku hilang ketika kamu sulit dikabari dan ditemui. Aku pergi, mengadu di tepian Mahakam ini. Lalu aku menyadari arti penting kehadiranmu. Dan, berharap kamu muncul di sisi seperti waktu lalu.
Benar saja, tepian Mahakam kembali menjadi saksi. Yang lain datang dan pergi tetapi kamu tetap bertahan di sisi. Entah dari mana kamu hadir. Aku hanya ingin tahu cara membuatmu tetap tinggal.
Kita saling mengenal. Perlahan. Lambat. Pelan. Aku tak terganggu dan kamu menikmati itu. Aku pun sedang tidak terburu-buru, begitu ejekmu padaku. Aku terkekeh malu. Aku memang tak ahli bersembunyi tetapi kamu bilang aku ahli mencuri hati.
Sampai akhir, tepian Mahakam ini menjadi saksi. Lagi. Genggaman tangan hangatmu terlepas pergi. Bukan atas kehendakmu ataupun aku. Bukan juga salahmu ataupun aku. Takdir memang mempertemukan kita. Lalu memisahkannya lagi. Aku dan kamu tidak pernah marah. Kita tak pernah marah.
Perpisahan genggamanmu dari genggaman tanganku memang keputusan-Nya. Yang terbaik dari-Nya. Kita menerima itu. Dan, memastikan tak bersisa penyesalan di dalamnya.
Di tepian Mahakam, kamu hilang untuk selamanya. Entah kapal mana yang kamu tumpangi dan itu tidak pernah kembali. Aku memahami kamu pergi dan tak akan kembali. Sampai akhir Mahakam tetap menjadi saksi, genggaman tangan lain yang membuatku kembali seperti putri kecil. Aku suka digenggam berayun seperti ini.
Ini yang seharusnya. Perpisahan jangan sampai membuat sesal dalam diri :)
BalasHapusIyaa..semangaaat \o/\o/\o/
HapusProsa liris
BalasHapusbetulll :D
Hapus