Kunci Hati
"Nih! Kunci hatiku buat kamu," kataku singkat sambil menyodorkan scrapbook harianku.
Lelaki dihadapanku hening. Raut wajahnya mengkerut. Bertanya-tanya pada apa yang baru saja didengarnya. Matanya menelisik tajam mataku, meminta penjelasan.
Aku tidak peduli dengan perubahannya setelah ucapanku barusan. Aku memilih diam dan abai pada isyarat-isyaratnya meminta penjelasan. Biarkan, karena aku tidak mau terlalu gamblang mengungkapkan perasaanku yang masih gamang.
Benar saja, lelaki dihadapanku memang pantang menyerah. Pantang putus dalam berusaha. Apalagi perihal penjarahan terhadap kepemilikan hatiku.
"Maksud kamu apa? Kunci hati? Lalu ini apa?" Berondongan pertanyaan itu sudah kuduga tetapi menjawabnya selalu membuatku tak siap. Andai dia tahu tanpa aku harus berkata.
"Jawab dong! Aku gak ngerti maksud kamu apa?"
"Iya... iya... aku akan jawab".
"Apa? Apa? Apa?" Katanya sambil menggoyang-goyang ujung lengan bajuku.
Aku kalah dengan tingkahnya. Iya. Meskipun sangat menyebalkan, aku akui tingkahnya menggemaskan. Caranya memperlakukanku seperti poros dunia membuatku tidak sanggup menolak keinginannya.
"Scrapbook ini kunci hatiku. Kamu bilang mau jadi bagian penting dari diriku maka kamu harus tahu siapa aku. Dan, di sini semua tentang diriku berada," kataku setenang mungkin.
Secepat kilat tangan dihadapanku bergerak, menyambar dan membuka satu per satu halaman scrapbook. Sesekali matanya terjerat pada foto atau tulisan besar di setiap halamannya. Aku gusar. Aku merasa lelaki ini sedang menelanjangiku dengan biadab. Selapis demi selapis dia buka semua pelindungku.
"Simpan ini!" Katamu tiba-tiba.
Kini berganti raut wajahku mengkerut. Bertanya-tanya pada apa yang baru saja aku denger. Mataku menelisik tajam tepat di sepasang pupilnya.
Lelaki dihadapanku hanya tersenyum, menampakan lesung di pipi kanannya. Aku takjub pada penciptaan Tuhan yang selalu sempurna. Aku selalu tidak berdaya pada senyum itu.
"Aku tahu kamu tidak nyaman dengan ini. Aku memang menginginkan hatimu untukku, tetapi tidak dengan merampas paksa segalanya. Kamu berhak menjadi pemilik penuh hatimu. Simpan kunci hatimu, karena aku hanya akan masuk bersamamu. Tidak sendirian. Jadi, buat apa aku memiliki kunci jika aku selalu bisa masuk bersamamu".
Seketika hatiku mencelos. Lelaki dihadapanku santai saja berucap. Tatapannya tidak pernah hilang. Mengunci penuh tatapanku. Aku hilang ditelan cengkraman tangannya pada tanganku yang ternyata begitu besar, nyaman dan hangat.
Iya. Kamu selalu bisa masuk kapan saja kamu mau. Lelakiku.
Lelaki dihadapanku hening. Raut wajahnya mengkerut. Bertanya-tanya pada apa yang baru saja didengarnya. Matanya menelisik tajam mataku, meminta penjelasan.
Aku tidak peduli dengan perubahannya setelah ucapanku barusan. Aku memilih diam dan abai pada isyarat-isyaratnya meminta penjelasan. Biarkan, karena aku tidak mau terlalu gamblang mengungkapkan perasaanku yang masih gamang.
Benar saja, lelaki dihadapanku memang pantang menyerah. Pantang putus dalam berusaha. Apalagi perihal penjarahan terhadap kepemilikan hatiku.
"Maksud kamu apa? Kunci hati? Lalu ini apa?" Berondongan pertanyaan itu sudah kuduga tetapi menjawabnya selalu membuatku tak siap. Andai dia tahu tanpa aku harus berkata.
"Jawab dong! Aku gak ngerti maksud kamu apa?"
"Iya... iya... aku akan jawab".
"Apa? Apa? Apa?" Katanya sambil menggoyang-goyang ujung lengan bajuku.
Aku kalah dengan tingkahnya. Iya. Meskipun sangat menyebalkan, aku akui tingkahnya menggemaskan. Caranya memperlakukanku seperti poros dunia membuatku tidak sanggup menolak keinginannya.
"Scrapbook ini kunci hatiku. Kamu bilang mau jadi bagian penting dari diriku maka kamu harus tahu siapa aku. Dan, di sini semua tentang diriku berada," kataku setenang mungkin.
Secepat kilat tangan dihadapanku bergerak, menyambar dan membuka satu per satu halaman scrapbook. Sesekali matanya terjerat pada foto atau tulisan besar di setiap halamannya. Aku gusar. Aku merasa lelaki ini sedang menelanjangiku dengan biadab. Selapis demi selapis dia buka semua pelindungku.
"Simpan ini!" Katamu tiba-tiba.
Kini berganti raut wajahku mengkerut. Bertanya-tanya pada apa yang baru saja aku denger. Mataku menelisik tajam tepat di sepasang pupilnya.
Lelaki dihadapanku hanya tersenyum, menampakan lesung di pipi kanannya. Aku takjub pada penciptaan Tuhan yang selalu sempurna. Aku selalu tidak berdaya pada senyum itu.
"Aku tahu kamu tidak nyaman dengan ini. Aku memang menginginkan hatimu untukku, tetapi tidak dengan merampas paksa segalanya. Kamu berhak menjadi pemilik penuh hatimu. Simpan kunci hatimu, karena aku hanya akan masuk bersamamu. Tidak sendirian. Jadi, buat apa aku memiliki kunci jika aku selalu bisa masuk bersamamu".
Seketika hatiku mencelos. Lelaki dihadapanku santai saja berucap. Tatapannya tidak pernah hilang. Mengunci penuh tatapanku. Aku hilang ditelan cengkraman tangannya pada tanganku yang ternyata begitu besar, nyaman dan hangat.
Iya. Kamu selalu bisa masuk kapan saja kamu mau. Lelakiku.
Komentar
Posting Komentar