Penyamun


Lentera malam belum mati. Fajar masih jauh tenggelam. Ruang di ujung gedung tertinggi sudah terisi manusia penuh semangat. Duduk pada bangku-bangku yang mengelilingi meja bundar.

"Lokasi ini potensial!" Kata lelaki berambut klimis sambil menunjuk bagian bawah pulau terpadat negeri ini.

"Terlalu banyak kepentingan di sana," sanggah lelaki berkumis tebal.

Lima belas pasang mata sisanya hanya saling memandang. Menikmati perdebatan adalah kesukaan mereka. Jauh dari itu menyulut perdebatan makin panas adalah kesenangan.

Tentu bukan musyawarah yang mereka lakukan, hanya menimbang kemudahan dan keuntungan paling tinggi. Menilik lebih jauh pada kesenangan melihat mata-mata bernanar si miskin yang bodoh dan bau tengik. Itu kenikmatan bagi mereka.

"Lancarkan segera!" Hardik lelaki tambun yang duduk di kursi paling depan.

Terang saja. Pagi itu di saat ayam belum sempat berkokok. Mentari masih malu menerkam malam. Perlahan tapi pasti, mobil-mobil baja menggulung perumahan yang atapnya saling bersentuhan.

Teriak tangis rakyat jelata pecah. Penggusuran dengan dalih proyek ratusan milyar dimulai. Kolam ikan bersimbah darah akibat perlawanan yang tak seimbang.

Begitulah negara kami akhirnya binasa oleh kebiadaban tak kasat mata. Permainan yang tak pernah bisa kami menangkan meskipun keadilan selalu kami suarakan. Tanah ini bukan lagi tanah air kami. Kami hanya mengontrak!

Modernisasi katanya. Namun, tidak bagi kami. Kami tersisih dan terbuang. Tergulung oleh penyamun cerdik nan bringas. Biarlah kami tetap di sini menunggu fajar. Agar terang wajah-wajah pengecut mereka.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

EOA GOLD, Investasi Emas Dunia Akhirat

Mengenal Sereal Umbi Garut, Manfaat, dan Cara Mengonsumsi

Unlogic Birth dalam Al Quran