Meninggikan Syukur

Adzan Subuh berkumandang merdu dari bilik surau di samping kantor Kepala Desa. Udara masih begitu dingin menghujam. Satu dua lelaki paruh baya sudah khusyuk berdzikir. Beberapa orang tergesa melangkahkan kaki agar tidak tertinggal shalat berjamaah.

"Pak Tua itu pasti telah larut dalam syukurnya. Apakah hidupnya begitu bahagia?" Ucap salah satu pemuda berkopiah putih yang baru saja masuk surau dan mensejajarkan duduknya.

"Apakah yang kamu maksud Pak Umar? Kakek yang selalu dibicarakan warga desa," kata pemuda di sisinya yang juga mengenakan kopiah putih.

"Iya yang itu," ucapnya sambil menunjuk lelaki tua di pojok barisan pertama.

"Apa kamu tidak lihat baju yang lusuh, rambut putih tak terawat, kopiah hitam yang kusam dan celana panjang hitamnya yang telah memudar? Apa yang kamu pikirkan?"

"Entahlah, tetapi Pak Tua itu selalu bersyukur, tidakkah kamu dengar suara Alhamdulillah dari mulutnya?"

"Iya tentu aku juga mendengarnya. Kalau begitu bagaimana jika kita tanyakan selepas shalat?"

"Oke!"

Perbincangan kedua pemuda tersebut terhenti karena ikamah telah menggema. Shalat Subuh berjamaah selalu khidmat dilakukan. Waktu ghalas yang gelap, indah, sunyi dan menentramkan.

Setelah selesai shalat dan doa yang masih dipimpin oleh Ust Muslim, ustad muda yang hafal dan syahdu ketika membaca ayat Al- Qur'an, satu per satu jamaah mulai meninggalkan surau. Hanya tersisa imam, Pak Tua dan dua pemuda berkopiah putih.

"Ayo!" Ujar salah seorang pemuda. Dengan anggukan pemuda lainnya mengikuti langkah menghampiri Pak Tua yang masih sibuk berdzikir.

"Assalamualaiku warahmatullahi wabarakatuh.... Maaf kami mengganggu sebentar Kek!"

Pak Tua menghentikan gerakan mulutnya. Lalu menoleh seraya tersenyum ramah.

"Kami, saya Abdul dan teman saya Adam, adalah mahasiswa tingkat akhir yang sedang praktek lapang di desa ini. Kami sudah sekitar seminggu lebih memperhatikan Kakek selalu hadir di surau lebih pagi dari semua warga. Dan yang lebih membuat kami penasaran yaitu Kakek selalu berucap syukur kepada Allah. Padahal, secara kondisi dan situasi Kakek terlihat begitu kekurangan. Maafkan kelancangan kami, Kek!" Kedua pemuda berkopiah putih merunduk merasa bersalah tetapi ekspresi kelegaan tidak bisa terabaikan dari kedua paras mereka.

Pak Tua hanya tersenyum dan tertawa kekeh menyebabkan kedua pemuda berganti ekspresi menjadi sangat terheran-heran. Keduanya saling melemparkan pandangan tidak mengerti dengan jawaban dari Pak Tua. Belum sempat mereka memberondong pertanyaan lain kepada Pak Tua, Ust Muslim telah hadir diantara mereka. Tersenyum sambil menepuk kedua pundak pemuda tersebut.

"Kalian tidak perlu heran. Pak Umar memang terlihat kekurangan di mata manusia seperti kita tetapi tidak di matanya."

Penjelasan Ust Muslim justru menambah bingung kedua pemuda tersebut. Pak Tua semakin terkekeh-kekeh.

"Biar aku yang jelaskan," ucap Pak Tua singkat.

Pak Tua membenarkan posisi duduknya. Kini mereka saling berhadapan. Dari jarak sedekat itu, Pak Tua terlihat lebih keriput dan renta. Sungguh jauh dari kata layak.

"Aku sudah tua. Keluarga tidak ada. Satu-satunya pakaian bagusku hanya yang aku kenakan sekarang. Meskipun begitu aku punya nikmat yang tiada tandingannya. Dan hal ini membuatku tidak peduli dengan hal lainnya termasuk apa-apa yang disebut manusia layak...."

"Apakah nikmat itu?" Sergah Adam.

"Nikmat hati yang selalu bersyukur dan mulut yang selalu basah dengan dzikir Alhamdulillah...."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

EOA GOLD, Investasi Emas Dunia Akhirat

Mengenal Sereal Umbi Garut, Manfaat, dan Cara Mengonsumsi

Unlogic Birth dalam Al Quran