Mata Nanar

Setiap pasang mata nanar kita mulai mengiba, terbiasa. Pada hal yang teramat sangat dirindukan. Sebuah pertemuan tanpa akhir. Suatu penghidupan tanpa mati.

Diantara kita semakin ahli, pada pertentangan batin yang tiada henti. Tentang mendengarkan pelik bisa mulut tetangga. Tentang diam pada keyakinan bahwa diri ini bisa. Atau tentang berlari pergi sambil menggenggam bisa lalu perlahan tapi pasti ikut binasa.

Ke arah mana seharusnya dayung ini dikayuh? Melawan ombak menerjang busuknya pengap keringat. Bukan tak sopan mendengkur sangar agar air beriak.

Sementara asik dalam buai pertentangan itu, kita lupa bahwa setiap pasang mata nanar kita mulai mengiba, terbiasa. Pada lubang tanah yang telah siap memeluk. Jika itu adalah pertanda maka alphalah kita.

Pendusta akut hingga tak dibiarkan tahu dalam dusta telah menjadi benar dan pembenaran. Kesakralan ingin terlampiaskan dendam. Kebutuhan lahir menipu batin. Sekelumit itu hidup kita.

Andai tak kita biarkan telinga ini mendengar bisa mulut tetangga. Seumpama kita memilih percaya pada diri dan bukan mengkerdilkannya. Semudah itu saja. Sehingga setiap pasang mata nanar kita bukan lagi belajar mengiba tetapi menaruh haru pada dua perihal yang tak pernah putus.

Kepasrahan dalam doa dan kerja keras dalam ikhtiar. Demi kecintaan kita terhadap Tuhan, Sang Pencipta, kaitkan hati dan telinga untuk tak letih menjadi baik di jalan-Nya. Hingga demi masa kesaksian tunggal waktu dihadapan Sang Pencipta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

EOA GOLD, Investasi Emas Dunia Akhirat

Mengenal Sereal Umbi Garut, Manfaat, dan Cara Mengonsumsi

Unlogic Birth dalam Al Quran