Hati Di Ujung Senja
Pandangannya melumat habis diriku. Sejak awal aku mulai bercerita tidak sedetikpun arah matanya beralih. Sungguh aku berperang hebat terhadap rasa malu ini. Dipandangi oleh lelaki yang selalu membuatku jatuh cinta berkali-kali seperti mempertahankan kaki agar tetap berpijak pada bumi.
Sore ini sangat indah. Meskipun awan mendung masih sigap bertengger di langit-langit. Namun, hatiku ceria seperti pagi. Bukan karena kesempurnaan yang aku miliki tetapi keikhlasan merapalkan setiap syukur kepada Ilahi yang tak pernah tertandingi.
"Aku tak pernah percaya bisa ada kamu di sisi," sungguh senyumku teramat tulus kali ini.
"Aku juga tidak percaya kamu duduk di sampingku saat ini," sungguh itu senyummu paling tenang.
Tidakkah kamu tahu jantungku nyaris mencuat sekarang. Entah dengan jurus apalagi aku tahan semua semu merah di wajah. Ataukah bisa jadi drum band di jantungku telah mendendangkan lagu cinta yang terdengar keras olehmu.
"Sebaiknya kita pulang. Mukamu sangat merah. Aku takut angin kencang ini membuatmu jatuh sakit".
"Tidak...tidak... Aku baik-baik saja. Aku tidak sakit. Hanya rasanya...."
"Sebaiknya kita pulang!"
Nyaris aku muntahkan semua perasaanku. Untunglah kamu selalu sigap menghentikannya. Kamu selalu bilang bahwa harga diri seorang wanita adalah kecakapannya menyembunyikan perasaan. Kemudian setiap waktu, kamu selalu memulai. Membuatku sepenuhnya istimewa.
Sudah sejak kecil aku dan kamu saling mengenal. Banyak hal yang kita lewati bersama karena kamu bukan hanya sekadar tetangga, teman sekolah, teman sebangku dan sahabat. Lebih dari itu. Entah sejak kapan. Perasaan ini bersemayam di hati.
Ketika akhirnya kamu memutuskan mengencani wanita lain saat di SMA. Aku mulai gusar. Kamu tidak utuh untukku lagi. Aku benci itu. Hingga kamu tegas melanjutkan pendidikan di luar negeri. Meskipun tak kurang dari sehari tiga kali kita selalu berkomunikasi.
Setelah keterpisahan itu. Perjuangan melawan rindu. Kemandirian hidup tanpamu. Merupakan pelajaran terpenting dalam hidupku. Ini seperti belajar jika kamu harus pergi jauh selamanya. Untuk waktu menunggu yang panjang itu kamu datang.
Tidak membawa cinta untukku. Atau oleh-oleh gunungan rindumu. Atau pelengkap kisah dari mimpi dan angan-anganku tentang kita. Aku tahu begitulah kamu. Kamu hanyalah tetangga, teman sekolah, teman sebangku dan sahabat. Tidak lebih dari itu.
Pada waktu kembalimu. Kamu justru membawa dia yang kamu gandeng mesra di telapak tangan besarmu. Kamu kenalkan dia padaku yang bergelayut manja di tubuh gagahmu. Kamu bilang dia adalah masa depanmu.
Aku tidak menyesal. Aku rela dan bahagia hati ini pernah menjadi milikmu. Dan selamanya akan tetap menjadi milikmu. Aku. Kamu. Dia. Bersama menjalani setiap harinya. Membangun masa depan dan rumah kita bersama. Bertiga. Dengan segala sakit dan bahagia yang selalu ditawarkan serempak, aku paham Tuhan tak penah jahat.
Di sore ini. Aku bersamamu menikmati indahnya ciptaan Tuhan. Mengenang setiap romantis yang membawa rasa sesak dan kelegaan. Dia baru saja pergi. Lalu hanya ada kita berdua. Pada akhirnya. Mungkin tidak akan lama. Karena manusia tidak pernah diberitahu kapan ajal menjemput.
Aku dan kamu. Bersama kita di sini. Menikmati sore dengan terpaan angin. Seandainya aku memilih menyerah kala itu. Seandainya tidak aku biarkan kamu menghentikan semua ungkapan perasaanku. Mungkin... mungkin kita jauh dari kata bersama.
"Terima kasih untuk selalu menerima segalanya. Terima kasih karena kamu selalu berada di sampingku. Terima kasih karena tidak pernah menuntut apapun, sayang! Terima kasih untuk segalanya," kecupanmu hangat di dahiku.
"Mari kita pulang ke rumah kita. Karena ada banyak kenangan yang harus kita urus".
Iya. Jika cinta sepaket dengan pengorbanan maka aku siap melakukannya untukmu.
"Aku tak pernah percaya bisa ada kamu di sisi," sungguh senyumku teramat tulus kali ini.
"Aku juga tidak percaya kamu duduk di sampingku saat ini," sungguh itu senyummu paling tenang.
Tidakkah kamu tahu jantungku nyaris mencuat sekarang. Entah dengan jurus apalagi aku tahan semua semu merah di wajah. Ataukah bisa jadi drum band di jantungku telah mendendangkan lagu cinta yang terdengar keras olehmu.
"Sebaiknya kita pulang. Mukamu sangat merah. Aku takut angin kencang ini membuatmu jatuh sakit".
"Tidak...tidak... Aku baik-baik saja. Aku tidak sakit. Hanya rasanya...."
"Sebaiknya kita pulang!"
Nyaris aku muntahkan semua perasaanku. Untunglah kamu selalu sigap menghentikannya. Kamu selalu bilang bahwa harga diri seorang wanita adalah kecakapannya menyembunyikan perasaan. Kemudian setiap waktu, kamu selalu memulai. Membuatku sepenuhnya istimewa.
Sudah sejak kecil aku dan kamu saling mengenal. Banyak hal yang kita lewati bersama karena kamu bukan hanya sekadar tetangga, teman sekolah, teman sebangku dan sahabat. Lebih dari itu. Entah sejak kapan. Perasaan ini bersemayam di hati.
Ketika akhirnya kamu memutuskan mengencani wanita lain saat di SMA. Aku mulai gusar. Kamu tidak utuh untukku lagi. Aku benci itu. Hingga kamu tegas melanjutkan pendidikan di luar negeri. Meskipun tak kurang dari sehari tiga kali kita selalu berkomunikasi.
Setelah keterpisahan itu. Perjuangan melawan rindu. Kemandirian hidup tanpamu. Merupakan pelajaran terpenting dalam hidupku. Ini seperti belajar jika kamu harus pergi jauh selamanya. Untuk waktu menunggu yang panjang itu kamu datang.
Tidak membawa cinta untukku. Atau oleh-oleh gunungan rindumu. Atau pelengkap kisah dari mimpi dan angan-anganku tentang kita. Aku tahu begitulah kamu. Kamu hanyalah tetangga, teman sekolah, teman sebangku dan sahabat. Tidak lebih dari itu.
Pada waktu kembalimu. Kamu justru membawa dia yang kamu gandeng mesra di telapak tangan besarmu. Kamu kenalkan dia padaku yang bergelayut manja di tubuh gagahmu. Kamu bilang dia adalah masa depanmu.
Aku tidak menyesal. Aku rela dan bahagia hati ini pernah menjadi milikmu. Dan selamanya akan tetap menjadi milikmu. Aku. Kamu. Dia. Bersama menjalani setiap harinya. Membangun masa depan dan rumah kita bersama. Bertiga. Dengan segala sakit dan bahagia yang selalu ditawarkan serempak, aku paham Tuhan tak penah jahat.
Di sore ini. Aku bersamamu menikmati indahnya ciptaan Tuhan. Mengenang setiap romantis yang membawa rasa sesak dan kelegaan. Dia baru saja pergi. Lalu hanya ada kita berdua. Pada akhirnya. Mungkin tidak akan lama. Karena manusia tidak pernah diberitahu kapan ajal menjemput.
Aku dan kamu. Bersama kita di sini. Menikmati sore dengan terpaan angin. Seandainya aku memilih menyerah kala itu. Seandainya tidak aku biarkan kamu menghentikan semua ungkapan perasaanku. Mungkin... mungkin kita jauh dari kata bersama.
"Terima kasih untuk selalu menerima segalanya. Terima kasih karena kamu selalu berada di sampingku. Terima kasih karena tidak pernah menuntut apapun, sayang! Terima kasih untuk segalanya," kecupanmu hangat di dahiku.
"Mari kita pulang ke rumah kita. Karena ada banyak kenangan yang harus kita urus".
Iya. Jika cinta sepaket dengan pengorbanan maka aku siap melakukannya untukmu.
Hmmm...spechless
BalasHapus:)
Hapus