Si Fakir Bukan Pengemis

Hari itu, siang hari yang sangat panas. Kami bertiga duduk di bawah rindangan pohon beringin kecil. Meski kecil, pohon beringin tetap paling teduh diantara pohon lainnya. Siang itu, kami melaksanakan tugas untuk memberi tiga buah kaleng cornet kepada orang yang belum pernah merasakan kenikmatan cincangan daging cornet.

Tentu saja pikiran kami tertuju pada fakir miskin atau orang yang kekurangan secara finansial. Beberapa pilihan tujuan kami, dimana banyak ditemukan mereka adalah terminal, stasiun, lampu merah di tengah kota, dan rumah penduduk di pinggiran aliran air besar, kali. Kami cepat berpikir ini akan sangat mudah. Namun, jauh kumbang dari bunga, sudah hampir lima jam berlalu, kaleng cornet kami masih bertengger gagah dalam box plastik.

Peluh membasahi kening kami. Khatam berkeliling terminal, kami lanjut ke stasiun, kemudian rumah penduduk di pinggir kali. Sebelum melanjutkan pencarian di lampu merah, kami mengistirahatkan kaki yang betisnya meronta telah mengencang. Kami saling berbagi bahu dan mengeluh kesulitan mencari si penerima tiga kaleng cornet.

"Ingat sama Bapak yang tadi mengasong barang bekas dan mengumpulkan kardus? Bajunya yang compang-camping, kulitnya yang keriput, tubuhnya yang kurus dan ban gerobaknya yang sudah hampir lepas itu. Kok bisa ya tidak mau menerima cornet ini? Padahal cuma nerima aja loh, gratis. Tidak rugi apapun. Kenapa sih tidak mau menerima? Malah berlalu begitu saja," keluh Fera meradang.

Memang kejadian ini begitu aneh. Tidak hanya Bapak itu, beberapa orang seperti nenek renta, lelaki penyandang disabilitas, wanita janda pengumpul botol plastik, anak jalanan pengamen dan tuna rungu penjual kemoceng tidak ada satupun mau menerima cornet milik kami. Benar-benar di luar dugaan kami.

Alasan mereka menolak pemberian ini juga beragam. Mulai dari ketidaksukaan terhadap kornet sampai ketidakinginan untuk menerimanya. Intinya mereka tidak suka jika diberikan secara gratis, karena menurut mereka harus ada usaha dan harga untuk memperoleh sesuatu.

"Ini tanda-tanda kiamat. Semakin sulit mencari orang yang mau menerima sedekah," celetuk Emi.

"Hush, jangan asal bicara! Mungkin mereka benar, kita terlalu meremehkan mereka. Beranggapan mereka tidak mampu karena fakir," Fera sontak menegur Emi.

Aku setuju sekali dengan ucapan Fera. Kami yang awam masuk dalam dunia penuh realitas tidak semestinya men-judment mereka. Mereka mungkin fakir tapi mereka bukan pengemis. Kami yang salah memberi penilaian tanpa dasar.

Sejujurnya kejadian itu membuatku kagum akan satu hal. Si fakir bukanlah pengemis. Ketika mereka menerima sedekah itu bukan karena mereka meminta tetapi karena kita memberi dan membutuhkan mereka untuk menerimanya. Maka ketika Tuhan menempatkanmu pada suatu posisi dalam hidup ini, bermainlah dengan peran yang cerdas dan tidak sembarangan memberi penilaian.

Komentar

  1. Se7...fakir brusaha mncari khidupan tnpa mminta...bhkan brusaha mnolak pmberian orang...fakir mulia tuh...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

EOA GOLD, Investasi Emas Dunia Akhirat

Mengenal Sereal Umbi Garut, Manfaat, dan Cara Mengonsumsi

Unlogic Birth dalam Al Quran