My Frozen Time

Di pojok kantin.
“Kita pasti kangen sama semua yang ada di sini,” gumam Riris sambil menyeruput es the yang baru saja diantarkan Mang Epin.
“Lihat deh! Kak Miko memang gantengnya pake banget. Keturunan bule sih, jadi mau panas-panasan juga susah diiteminnya. Beda banget sama kita. Haha…” Devi antusias menunjukan hasil jepretan dari kamera analog, tustel, warisan kakeknya.
Kak Miko, salah satu murid popular di sekolah, tampan sudah pasti, jago main basket apalagi, keisengannya justru menambah karisma di kalangan murid-murid perempuan, termasuk juga di mata para sahabatku. Namun, untuk persoalan pelajaran, bias dikatakan jauh dari perhitungan. Beberapa kali di hukum mengelilingi lapangan karena ketahuan menyontek.
Pernah suatu hari, Devi nekat pergi ke gereja yang sama dengan Kak Miko hanya untuk tahu seberapa religius sang pujaan hati. Tapi, bukan senang yang diperoleh malah omelan dari sang Bunda karena tidak dibenarkan untuk seenaknya ikut gereja orang lain. Keesokan hari, kami tertawa terpingkal-pingkal ketika Devi mereka ulang adegan kemarahan sang Bunda.
“Tersisa dua bulan lagi. Pokoknya gue akan SMA di sekolah yang sama!” Celetuk Devi semangat.
“Amiiin…” sahut kami bersamaan.
Berbeda dengan Devi yang selalu ekspresif tentang perasaannya kepada sang pujaan hati, Lia selalu ekspresif menjadi profokator. Segala bentuk pancingan terhadap keributan akan membuat hasratnya menggebu untuk berada di garda depan. Khususnya, ketika menyangkut kenyamanan persahabatan kami.
Ketika itu, Tini, si pemalu, dipermainkan oleh duo nakal, Doni dan Fajar. Buku menggambar Tini saling dioper sehingga Tini harus berlari mondar-mondir. Kemudian Lia membereskan kekacauan itu. Lia, bertubuh lumayan besar, berhasil menyergap Doni setelah menerima lemparan dari Fajar. Tidak hanya menyergap, Lia memutar telinga Doni untuk membuatnya jera dan meminta maaf kepada Tini. Sejak saat itu, duo nakal dan siapapun tidak pernah berani mengusik ketentraman kami dan sejak saat itu juga, banyak orang berbisik-bisik di belakang kami. Namun, kami tidak pernah peduli.

Berkat praktek pelajaran Fisika tentang cahaya dan alat-alat optik, kami memiliki kenangan nyata bersama, sebuah foto. Aku memiliki foto senyum manis mereka. Devi menyimpan foto sang pujaan hati. Riris memutuskan mengambil foto kami di ruang perpustakaan. Lia memilih pose kami yang sedang mengendarai sepeda seperti akan bertanding adu cepat. Terakhir Tini, selalu pasrah menarima foto apapun yang diberikan kepadanya.

Bersambung...

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

EOA GOLD, Investasi Emas Dunia Akhirat

Mengenal Sereal Umbi Garut, Manfaat, dan Cara Mengonsumsi

Unlogic Birth dalam Al Quran