My Frozen Time
Kilat petir membuyarkan kilas kenangan itu. Aku lihat lagi foto dalam
genggaman. Kita sudah berbeda sekarang. Senyumku merekah ketika mengingat
sesuatu. Aku keluarkan foto dari bingkai, membalik dan melihat tulisan bertinta
merah agak memudar. Tulisan berisi mimpi.
“Ini fotonya selesai dicetak,” ujarku sambil meletakan bungkus berisi foto-foto
di meja Riris.
Kami suka berkumpul di meja Riris karena berposisi di kiri pojok belakang ruang
kelas. Di tempat ini, kami aman bercerita banyak hal. Posisinya tidak menutupi
jalan dan cukup jauh dari pantulam bola nyasar yang bermain dalam ruang kelas.
“Mana lihat!” Devi semangat mengeluarkan foto-foto tersebut.
Kami larut dalam memandang setiap foto tersebut. Satu persatu kami saling
menukar foto, menertawai foto dengan mimik lucu. Beberapa foto menarik
diseleksi untuk disimpan.
“Eh, kita buat tulisan di belakang foto ini yuk! Tulisan tentang mimpi-mimpi
kita,” ucap Riris berbinar-binar.
Tidak membutuhkan waktu lama kami sepakat melakukannya. Masing-masing dari kami
menulis di balik foto pilihan mereka. Namun, aku masih termenung. Aku tidak
tahu harus menuliskan apa. Mimpi. Aku belum memilikinya.
Sepanjang perjalanan pulang dari sekolah, melewati
hamparan sawah yang luas, aku pikirkan kembali mimpi itu. Apa mimpiku? Selama
ini aku hanya bergerak mengikuti aliran hidup. Tidak berkeinginan dan tidak
berharap apapun. Selama tidur malampun, aku masih saja gelisah memikirkan mimpi
itu. Sahabatku telah dengan riang menyimpan foto kami bersama mimpi masing-masing,
lalu aku masih saja termenung memikirkannya.
Keesokan hari, aku bersiap lebih pagi, mengganggu Ibu
yang sedang sibuk menyiapkan sarapan dengan berondongan pertanyaan seputar
mimpi. Ibu tidak banyak tahu tentang hal itu. Maklum, Ibuku adalah wanita
sederhana, hanya tahu cara menyayangi dan menjaga kehangatan keluarga dengan
sempurna. Meskipun sering berbicara sepanjang tol Cikampek.
Saat itu aku merengek menyayangkan ketidaktahuan Ibu.
Kemudian memanyunkan mulut sambil menarik ujung bajunya. Bapak menghampiri dan
menarik tubuhku untuk duduk bersama di depan TV. Aku ingat berita pagi itu
tentang kegagalan panen cabai petani di Boyolali. Petani cabai menangis karena
hasil panen rusak akibat serangan patek.
Kemudian Bapak berkisah masa kecilnya sebagai seorang
anak petani. Hidup sangat sulit terutama ketika gagal panen. Di sisi lain,
banyak keseruan terutama jika harus bergilir menjaga malam di sawah atau
memburu tikus sebelum musim tanam. Aku tertegun mendengar kisah Bapak. Tidak
aku biarkan mataku berkedip sedetikpun. Bapak belum pernah berkisah sebanyak
ini. Ini ajaib.
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar