My Frozen Time
Bagian 5
Aah….Bapak. Aku masih ingat betul wajahmu kala itu. Berkisah tentang masa
kecilmu. Sungguh sumringah. Mungkin masa itu adalah pertama dan terakhir
kali aku melihat pribadi lain dari dirimu. Aku tidak akan pernah lupa.
Ada kejadian menarik lain setelah kisah pagi itu. Salah satu keajaiban kecil
dari Tuhan yang kini membuatku geli sendiri. Kejadian ini juga menjadi salah
satu my frozen time.
Selesai mendengar kisah Bapak, aku
pamit berangkat ke sekolah. Tentu saja dengan sepeda coklat berkeranjang. Aku
kayuh sepeda, seperti biasa. Melalui jalan biasa. Berdendang pelan mengikuti
irama kayuhan.
Keindahan apalagi yang aku
butuhkan. Pagi itu, udara sejuk berkat hujan semalam mengiringi
keberangkatanku. Syahdu sekali. Sembari bersepeda, aku pandangi hamparan sawah
luas hingga ujung pandang cakrawala.
Aku selalu terhipnotis setiap kali melewati bagian jalan ini. Aku pelankan
kayuhan kaki pada sepeda untuk memanjakan penglihatan mata. Beberapa petak
sawah berhias hijau berkat bibit padi yang mulai tumbuh besar. Beberapa petak
sawah lain masih dibanjiri air pekat coklat. Beberapa sisanya sibuk dijajaki
kerbau besar yang ditunggangi seorang atau dua orang petani. Bahkan ada banyak
anak kecil belum genap usia sekolah turut serta membantu.
Aku melamun membayangkan cerita Bapak tadi. Apakah dahulu Bapak juga menarik
kerbau atau mengikuti Nenek menarik bibit padi untuk ditanam? Pasti
menyenangkan sekali. Bapak kecil terendam tanah sawah dengan peluh keringat di
dahi. Tidak seperti ketika bercerita, sudah berdasi rapih sambil duduk di
ruangan ber-AC.
Lamunanku tanpa sadar menyebabkan konsentrasi kemudi menghilang. Ban depan
sepeda melindas kayu runcing sisa penebangan sehingga pecah seketika. Beruntung
tidak jauh ada bengkel. Namun, aku tidak punya cukup uang untuk membeli ban
baru. Alhasil, aku hanya bisa menuntun sepeda sampai ke sekolah. Aku mungkin
tidak akan terlambat jika berjalan setengah berlari.
Aku berdoa
berharap ada seseorang yang datang membantu atau seorang teman yang mengenalku.
Tapi… rasanya mustahil, jalanan sudah mulai sepi dan tidak banyak teman sekolah
yang melalui jalan ini karena kondisi jalan berbatu. Meskipun aku masih
berharap ada keajaiban.
Benar
saja. Aku tidak dikecewakan. Seorang petani wanita menghampiriku dari petak
sawah yang sedang ditanam. Petani tersebut berjalan sambil memberikan bibit
padi dari genggaman tangan kepada petani wanita lain di sebelah. Tangan petani
tersebut berlumuran tanah hingga sepertiga lengan sedangkan kondisi kaki juga
tidak jauh berbeda, berlumuran tanah nyaris selutut.
“Kenapa
Dek?” Tanya petani tersebut.
“Ban
sepeda pecah, Bu. Baru terkena kayu runcing sisa penebangan di sana,” jawabku
sembari menunjuk lokasi kejadian. “Aku tidak membawa cukup uang untuk membawa
ke bengkel,” sambungku.
“Oh…gitu
ya. Sekolah dimana?”
“SMP Slan.”
“Masih
cukup jauh, bisa terlambat kamu. Pakai saja sepeda Ibu, nanti pulang sekolah ditukar
lagi.”
Aku
langsung mengangguk setuju. Dalam pikirku adalah mencapai sekolah tepat waktu
karena pelajaran pertama Biologi akan dilakukan kuis. Jika tidak mengikuti kuis
tersebut maka akan berkurang tabungan nilaiku. Secepat kilat aku sambar sepeda petani tersebut dan mengayuh cepat
meninggalkan sepedaku dan petani baik hati itu.
Bersambung…
Komentar
Posting Komentar