Tidak Benar-Benar Terisi
Myra tidak pernah terlihat semuram ini. Bahkan ketika kedua orang tuanya direnggut selamanya oleh kecelakaan maut tunggal di salah satu jalan tol itu. Dialah Hendra, tempat Myra selalu berkeluh kesah. Myra selalu takzim dengan tutur dan kelakuan Hendra.
"Aku selalu tentram setelah bercerita denganmu. Maukah kamu menghabiskan sisa hidup bersamaku?"
"Hahaha.... Kamu selalu seperti itu, lugas dan tegas. Aku pun selalu belajar dari setiap kisahmu...."
Suasana mendadak sunyi ketika kedua pandangan mereka bertemu. Myra berusaha keras menutupi rasa canggung yang tiba-tiba menyerang. Sementara Hendra tak kuasa menyimpan smeu di rona pipinya yang tampak kemerahan.
"Hahaha...." Kekeh Myra memecah suasana yang makin tidak nyaman.
Myra beranjak dari tempat duduknya. Beberapa langkah maju membelakangi Hendra. Senyumnya melemah. Tarikan napasnya dalam. Kemudian Myra kembali berbalik menghadap Hendra.
"Tetaplah menjadi kamu, yang selalu membuatku tentram," senyum paling indah tersungging di sana.
Hendra membisu, beku, kaku.
"Aku pamit pulang duluan ya. Assalamualaikum...."
Bergegas Myra pergi, membawa serta tas dan jaket yang tertinggal di bangku.
"Myra... mungkin aku hanya bisa menjadi tentram untukmu. Bukan rumah yang bisa menjadi tempatmu pulang."
Angin berhembus hingga menusuk tulang. Hati mereka terisi tetapi tidak benar-benar terisi. Rindu itu hanya kosong yang tak pernah menemukan tujuan.
Komentar
Posting Komentar