Berhusnudzon
"Assalamualaikum penakluk mimpi!" Sapaku ceria di depan cermin.
Beginilah rutinitasku sebulan terakhir. Menyemangati diri sendiri di setiap pagi sebelum memulai segala aktifitas. Ini semacam terapi juga untuk hati dan pikiran.
Aku merasa ada hal yang membaik pada diriku. Meskipun awalnya sulit tapi kini senyum itu telah kembali. Senyum yang mudah namun cukup rumit menguntainya kembali.
Sejak kejadian sebulan lalu, aku bertekad menata masa depanku dengan lebih bersemangat. Aku buka catatan lama tentang mimpiku yang harus tertunda. Sekarang saat tepat untuk menaklukannya.
"Hari ini akan menjadi salah satu hari penting dalam hidupku," kataku lagi pada bayangan wajah di cermin.
Aku sampirkan tas dengan sebundel berkas yang sudah aku rapikan semalam. Aku lahap sarapanku yang lezat dengan penuh syukur. Aku cium punggung tangan kedua orang tuaku sambil meminta restu kelancaran hari ini. Aku hirup dalam-dalam udara segar pagi hari tepat di gerbang rumah.
"Aku siap!" Gumamku sambil mengepal kedua tangan.
----------
"Iya Pak, terima kasih banyak atas pembelajaran selama saya di sini. Ini surat pengunduran diri saya," kataku lantang.
Semua alasan telah aku utarakan. Pimpinanku tidak lagi bisa mengelak atau mencari-cari alasan agar aku tetap tinggal. Aku meyakinkannya dengan sempurna.
"Kami menerimamu kembali, jika kamu berpikir ulang untuk kembali," katanya tepat ketika aku memegang gagang pintu untuk keluar dari ruangan. Aku hanya menoleh dan menundukan kepala.
----------
"Oke terima kasih pemotretan hari ini. Terima kasih atas kerja keras kalian semua," kataku sambil membungkukan tubuh ke depan pada setiap arah.
"Haruskah kamu pergi?" Tanya Sandi dengan menarik ujung bawah bajuku.
Aku tahu kedekatan kita bukan sebatas artis dan penanggung jawab pemotretan saja. Lebih dari itu, bagiku Sandi adalah adik lucu nan menggemaskan. Dan, entah apa aku baginya. Aku merasakan dia merasa apa yang aku rasakan. Sebuah rasa yang dinamakan kehilangan.
Aku mengelus rambutnya perlahan. Kemudian aku dekap tubuh mungilnya. Bulir halus menetes dari mataku. Buru-buru aku hapus karena tidak ingin perpisahan ini bertema mengharu biru.
"Aku pamit ya Sandi, sayang.... Kakak usahan tengok Sandi semampu kakak," kataku seceria mungkin.
Aku ulurkan telapak tanganku untuk hi five di tangan kecilnya. Sandi perlahan membalas hi five ku. Aku senang meninggalkannya tanpa tangis. Aku keluarkan lembaran serial komik hasil karyaku selama sebulan terakhir. Aku bayangkan tawa riangnya membaca komik buatanku.
----------
"Baiklah Nona Hani, akad kontrak sudah diresmikan. Jam 22.00 WIB kami tunggu Nona di bandara," Bu Asri menjabat tanganku.
"Terima kasih bantuan segalanya," kataku lirih.
Air mataku tidak terbendung. Gerbang mimpiku selangkah lagi. Rasanya tidak sabar sekaligus was-was. Hatiku tidak aku biarkan kosong. Dalam sadar aku ingatkan untuk terus berdzikir. Aku berdoa, berharap dan berpasrah pada ketetapan yang baik dari Allah SWT.
----------
"Happy birthday my honey baby sweetie bala-bala!!!"
Satu demi satu berondongan ciuman mendarat di pipiku. Aku pasrah saja dikelilingi sepuluh wanita bringas yang malang-melintang di hidupku berhari-hari. Aku menikmati setiap momen bersama mereka. Tentu tidak selalu indah tetapi tidak cukup buruk juga untuk jadi bahan guyonan. Terutama kejadian yang menimpaku sebulan lalu.
"Jadi nih pergi? Tega banget sih kamu," rajut Mila, sahabatku paling manja. Aku hanya merapikan rambutnya yang selalu nakal keluar dari sisi hijabnya sambil tersenyum.
Iya, hari ini adalah hari ulang tahunku. Perasaanku tidak terdefinisikan. Terlalu abstrak untuk diungkapkan. Aku merasakan tubuh dan jiwaku secara bersamaan tetapi memang masih terasa hampa di salah satu sisinya.
Apakah aku belum sembuh sepenuhnya? Rasa sakitnya masih teramat lekat dan nyata. Namun pikiran itu aku buang jauh-jauh. Aku adalah penakluk mimpi yang mampu mengendalikan rasa. Aku adalah pemilik dan pemimpin utuh pada setiap detail tubuh dan jiwaku.
Aku tarik kembali senyumku. Aku tidak ingin sepuluh wanita hebat ini melihatku kembali terseok. Tidak di saat sepenting ini.
----------
Tepat pukul 22.00 WIB, aku tiba di bandara. Orang tuaku sudah tiba terlebih dahulu. Mereka membawakan sekoper besar barang-barang yang telah aku persiapkan. Aku tukar tasku hari ini dengan tas yang lebih kecil. Perjalanan panjang hari ini akan berakhir. Dan, inilah perpisahan sesungguhnya.
Orang tuaku adalah segalanya. Separuh hidupku. Bagian terpenting dalam hirupan napasku setiap hari. Kini, aku harus rela meninggalkan mereka sebentar saja, semoga. Karena aku adalah satu-satunya anak mereka. Dan, semoga ini bukan perpisahan yang sesungguhnya berpisah.
Adalah ibu yang membuatku tak kuasa menahan tangis. Air matanya deras mengalir ketika memelukku. Adalah ayah yang membuatku tak kuasa menahan keseimbangan tubuh. Gemetar kakiku ketika dalam dekapnya dia bisikan bahwa dia bangga memiliki aku.
"Aku akan cepat kembali. Janji!" Kataku sembari mengacungkan jari telunjuk dan tengah lengan kanan.
"Insya Allah..." sahut mereka nyaris bersama.
"Insya Allah..." kataku lagi sambil memasang cengir kuda.
Iya. Aku akan kembali dengan cepat untuk mereka, diriku dan kamu.
----------
Di dalam pesawat, hampir seluruh bangku telah terisi. Aku menatap setiap nomor mencari tempat dudukku. Aku menemukannya. Segera aku letakan tas ranselku di bagasi kabin. Ini merepotkan karena tas ranselku cukup besar dan bagasi kabin telah padat.
"Biarku bantu," kata seorang lelaki bersuara berat.
"Oh iya boleh. Terima... kasih..." kalimatku tercekat ketika aku menoleh ke arah suara itu datang.
Jantungku berdegup kencang. Otakku berhenti bekerja. Aku diam takjub. Bodohnya aku bahkan tak sadar mulutku menganga.
"Aku sudah bilangkan, kalau berjodoh kita pasti bersama," kata lelaki dengan senyum tertulus yang pernah aku kenal selain ayah.
Aku masih membisu. Terpana.
"Ayo duduk! Kursiku tepat setelah kursimu."
Lelaki itu membimbingku duduk. Tampaknya dia tahu aku butuh segala penjelasan bagaimana dia bisa berada di sini. Meskipun aku terus mematung.
----------
Dua belas jam lebih perjalanan tidak terasa. Lelaki di sampingku tidak berhenti bercerita. Setiap emosi dan tindakan yang dia lakukan begitu jelas diceritakan penuh ekspresi.
Ayah.... Ibu.... Benarkan aku tidak salah pilih? Aku berjuang menaklukan mimpiku, mempelajari kesuksesan manga di Jepang agar kelak menyajikan ilmu dengan lebih menyenang. Bahkan aku memutuskan membatalkan pernikahan sebulan lalu setelah menerima kabar penerimaanku.
Aku pun berusaha mengikhlaskannya. Lalu detik ini aku mendengarnya asik bercerita di sampingku. Lelaki ini selalu menaklukan hatiku berkali-kali. Dan, aku si penakluk mimpi telah takluk pada hati dan pemikiran hidup lelaki ini.
'Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?'
Beginilah rutinitasku sebulan terakhir. Menyemangati diri sendiri di setiap pagi sebelum memulai segala aktifitas. Ini semacam terapi juga untuk hati dan pikiran.
Aku merasa ada hal yang membaik pada diriku. Meskipun awalnya sulit tapi kini senyum itu telah kembali. Senyum yang mudah namun cukup rumit menguntainya kembali.
Sejak kejadian sebulan lalu, aku bertekad menata masa depanku dengan lebih bersemangat. Aku buka catatan lama tentang mimpiku yang harus tertunda. Sekarang saat tepat untuk menaklukannya.
"Hari ini akan menjadi salah satu hari penting dalam hidupku," kataku lagi pada bayangan wajah di cermin.
Aku sampirkan tas dengan sebundel berkas yang sudah aku rapikan semalam. Aku lahap sarapanku yang lezat dengan penuh syukur. Aku cium punggung tangan kedua orang tuaku sambil meminta restu kelancaran hari ini. Aku hirup dalam-dalam udara segar pagi hari tepat di gerbang rumah.
"Aku siap!" Gumamku sambil mengepal kedua tangan.
----------
"Iya Pak, terima kasih banyak atas pembelajaran selama saya di sini. Ini surat pengunduran diri saya," kataku lantang.
Semua alasan telah aku utarakan. Pimpinanku tidak lagi bisa mengelak atau mencari-cari alasan agar aku tetap tinggal. Aku meyakinkannya dengan sempurna.
"Kami menerimamu kembali, jika kamu berpikir ulang untuk kembali," katanya tepat ketika aku memegang gagang pintu untuk keluar dari ruangan. Aku hanya menoleh dan menundukan kepala.
----------
"Oke terima kasih pemotretan hari ini. Terima kasih atas kerja keras kalian semua," kataku sambil membungkukan tubuh ke depan pada setiap arah.
"Haruskah kamu pergi?" Tanya Sandi dengan menarik ujung bawah bajuku.
Aku tahu kedekatan kita bukan sebatas artis dan penanggung jawab pemotretan saja. Lebih dari itu, bagiku Sandi adalah adik lucu nan menggemaskan. Dan, entah apa aku baginya. Aku merasakan dia merasa apa yang aku rasakan. Sebuah rasa yang dinamakan kehilangan.
Aku mengelus rambutnya perlahan. Kemudian aku dekap tubuh mungilnya. Bulir halus menetes dari mataku. Buru-buru aku hapus karena tidak ingin perpisahan ini bertema mengharu biru.
"Aku pamit ya Sandi, sayang.... Kakak usahan tengok Sandi semampu kakak," kataku seceria mungkin.
Aku ulurkan telapak tanganku untuk hi five di tangan kecilnya. Sandi perlahan membalas hi five ku. Aku senang meninggalkannya tanpa tangis. Aku keluarkan lembaran serial komik hasil karyaku selama sebulan terakhir. Aku bayangkan tawa riangnya membaca komik buatanku.
----------
"Baiklah Nona Hani, akad kontrak sudah diresmikan. Jam 22.00 WIB kami tunggu Nona di bandara," Bu Asri menjabat tanganku.
"Terima kasih bantuan segalanya," kataku lirih.
Air mataku tidak terbendung. Gerbang mimpiku selangkah lagi. Rasanya tidak sabar sekaligus was-was. Hatiku tidak aku biarkan kosong. Dalam sadar aku ingatkan untuk terus berdzikir. Aku berdoa, berharap dan berpasrah pada ketetapan yang baik dari Allah SWT.
----------
"Happy birthday my honey baby sweetie bala-bala!!!"
Satu demi satu berondongan ciuman mendarat di pipiku. Aku pasrah saja dikelilingi sepuluh wanita bringas yang malang-melintang di hidupku berhari-hari. Aku menikmati setiap momen bersama mereka. Tentu tidak selalu indah tetapi tidak cukup buruk juga untuk jadi bahan guyonan. Terutama kejadian yang menimpaku sebulan lalu.
"Jadi nih pergi? Tega banget sih kamu," rajut Mila, sahabatku paling manja. Aku hanya merapikan rambutnya yang selalu nakal keluar dari sisi hijabnya sambil tersenyum.
Iya, hari ini adalah hari ulang tahunku. Perasaanku tidak terdefinisikan. Terlalu abstrak untuk diungkapkan. Aku merasakan tubuh dan jiwaku secara bersamaan tetapi memang masih terasa hampa di salah satu sisinya.
Apakah aku belum sembuh sepenuhnya? Rasa sakitnya masih teramat lekat dan nyata. Namun pikiran itu aku buang jauh-jauh. Aku adalah penakluk mimpi yang mampu mengendalikan rasa. Aku adalah pemilik dan pemimpin utuh pada setiap detail tubuh dan jiwaku.
Aku tarik kembali senyumku. Aku tidak ingin sepuluh wanita hebat ini melihatku kembali terseok. Tidak di saat sepenting ini.
----------
Tepat pukul 22.00 WIB, aku tiba di bandara. Orang tuaku sudah tiba terlebih dahulu. Mereka membawakan sekoper besar barang-barang yang telah aku persiapkan. Aku tukar tasku hari ini dengan tas yang lebih kecil. Perjalanan panjang hari ini akan berakhir. Dan, inilah perpisahan sesungguhnya.
Orang tuaku adalah segalanya. Separuh hidupku. Bagian terpenting dalam hirupan napasku setiap hari. Kini, aku harus rela meninggalkan mereka sebentar saja, semoga. Karena aku adalah satu-satunya anak mereka. Dan, semoga ini bukan perpisahan yang sesungguhnya berpisah.
Adalah ibu yang membuatku tak kuasa menahan tangis. Air matanya deras mengalir ketika memelukku. Adalah ayah yang membuatku tak kuasa menahan keseimbangan tubuh. Gemetar kakiku ketika dalam dekapnya dia bisikan bahwa dia bangga memiliki aku.
"Aku akan cepat kembali. Janji!" Kataku sembari mengacungkan jari telunjuk dan tengah lengan kanan.
"Insya Allah..." sahut mereka nyaris bersama.
"Insya Allah..." kataku lagi sambil memasang cengir kuda.
Iya. Aku akan kembali dengan cepat untuk mereka, diriku dan kamu.
----------
Di dalam pesawat, hampir seluruh bangku telah terisi. Aku menatap setiap nomor mencari tempat dudukku. Aku menemukannya. Segera aku letakan tas ranselku di bagasi kabin. Ini merepotkan karena tas ranselku cukup besar dan bagasi kabin telah padat.
"Biarku bantu," kata seorang lelaki bersuara berat.
"Oh iya boleh. Terima... kasih..." kalimatku tercekat ketika aku menoleh ke arah suara itu datang.
Jantungku berdegup kencang. Otakku berhenti bekerja. Aku diam takjub. Bodohnya aku bahkan tak sadar mulutku menganga.
"Aku sudah bilangkan, kalau berjodoh kita pasti bersama," kata lelaki dengan senyum tertulus yang pernah aku kenal selain ayah.
Aku masih membisu. Terpana.
"Ayo duduk! Kursiku tepat setelah kursimu."
Lelaki itu membimbingku duduk. Tampaknya dia tahu aku butuh segala penjelasan bagaimana dia bisa berada di sini. Meskipun aku terus mematung.
----------
Dua belas jam lebih perjalanan tidak terasa. Lelaki di sampingku tidak berhenti bercerita. Setiap emosi dan tindakan yang dia lakukan begitu jelas diceritakan penuh ekspresi.
Ayah.... Ibu.... Benarkan aku tidak salah pilih? Aku berjuang menaklukan mimpiku, mempelajari kesuksesan manga di Jepang agar kelak menyajikan ilmu dengan lebih menyenang. Bahkan aku memutuskan membatalkan pernikahan sebulan lalu setelah menerima kabar penerimaanku.
Aku pun berusaha mengikhlaskannya. Lalu detik ini aku mendengarnya asik bercerita di sampingku. Lelaki ini selalu menaklukan hatiku berkali-kali. Dan, aku si penakluk mimpi telah takluk pada hati dan pemikiran hidup lelaki ini.
'Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?'
Wow...so sweet
BalasHapushehe
HapusWah... Mbaaaa....sukaaa...
BalasHapusmakasih :D
HapusManis bangeeettt, barakallah kakaaaak .... #SebarSebarBenihJeruk
BalasHapusyeaay...#SebarSebarBenihJeruk
Hapus