Seminggu Ini
Bagaimana cinta ditemukan? Jawabannya tidak ada yang akan pernah menemukannya. Karena cinta tidak pernah ditemukan. Cinta dirasakan. Bahkan dibuang dan disia-siakan. Cinta tidak butuh kita untuk menemukannya. Cintalah yang datang dengan sendirinya. Karena hakikatnya kitapun dicipta berkat cinta.
Dan pada hakikatnya manusia adalah pemilik cinta. Bahkan tidak ada manusia keji lagi kejam. Teramat banyak bukti bahwa dari setiap manusia merupakan mereka yang baik hati lagi pemilik cinta sejati. Kitalah yang terlalu sering menempatkan manusia pada kotak-kotak hitam dan putih. Kitalah juga yang selalu mendramatisir tokoh dan kejadian hingga hitam menjadi lebih gelap dan putih yang teramat suci.
Bagai hidup ini penuh benturan. Apakah salah dengan itu? Bahkan kapanpun kita berjalan senggolan dengan pejalan lain pasti terjadi. Namun benturan ini mengapa harus disikapi negatif. Bisa jadi Tuhan sengaja membuatnya agar kita saling mengenal. Atau bisa jadi ketika senggolan terjadi Tuhan ingin kita bertegur sapa, berucap halo, menanyakan kabar, berterima kasih, atau mengajarkan perkataan maaf. Bisakah kita tidak seegois itu.
Bagimu yang tidak lagi memikirkan hal ini. Mungkinkah karena tak kamu temukan cinta? Mungkin saja tidak. Entahlah. Tapi menjadikan diri terlalu ekstrimistis membela hal yang tidak pasti dasarnya, bukankah sebuah kekeliruan yang diada-adakan kebenarannya?
Jadi biasa saja. Berlaku sewajarnya. Bahkan tidak satupun berhak berkata benar atau salah secara mutlak. Pun termasuk dia yang mengaku ahli atau dia yang disebut media. Karena tidak layak meletakan pemikiran manusia yang subjektif pada hal yang kita tidak tau bagaimana masa lalu, apa yang terjadi saat ini, atau apa yang dilakukan untuk masa depan. Karena lagi, kita memiliki banyak keterbatasan. Hanya dua mata, dua telinga dan satu otak.
Seperti itulah seminggu ini duniaku terjadi. Jika menulis adalah terapi hati. Maka aku telah keluarkan racun-racun ini agar kembali murni. Apalah daya jika menyakiti karena kata baknya sihir yang tak pernah bermantra. Sedikit yang mengerti layaknya sajak yang hanya dimengerti oleh pengarangnya sendiri.
Dan pada hakikatnya manusia adalah pemilik cinta. Bahkan tidak ada manusia keji lagi kejam. Teramat banyak bukti bahwa dari setiap manusia merupakan mereka yang baik hati lagi pemilik cinta sejati. Kitalah yang terlalu sering menempatkan manusia pada kotak-kotak hitam dan putih. Kitalah juga yang selalu mendramatisir tokoh dan kejadian hingga hitam menjadi lebih gelap dan putih yang teramat suci.
Bagai hidup ini penuh benturan. Apakah salah dengan itu? Bahkan kapanpun kita berjalan senggolan dengan pejalan lain pasti terjadi. Namun benturan ini mengapa harus disikapi negatif. Bisa jadi Tuhan sengaja membuatnya agar kita saling mengenal. Atau bisa jadi ketika senggolan terjadi Tuhan ingin kita bertegur sapa, berucap halo, menanyakan kabar, berterima kasih, atau mengajarkan perkataan maaf. Bisakah kita tidak seegois itu.
Bagimu yang tidak lagi memikirkan hal ini. Mungkinkah karena tak kamu temukan cinta? Mungkin saja tidak. Entahlah. Tapi menjadikan diri terlalu ekstrimistis membela hal yang tidak pasti dasarnya, bukankah sebuah kekeliruan yang diada-adakan kebenarannya?
Jadi biasa saja. Berlaku sewajarnya. Bahkan tidak satupun berhak berkata benar atau salah secara mutlak. Pun termasuk dia yang mengaku ahli atau dia yang disebut media. Karena tidak layak meletakan pemikiran manusia yang subjektif pada hal yang kita tidak tau bagaimana masa lalu, apa yang terjadi saat ini, atau apa yang dilakukan untuk masa depan. Karena lagi, kita memiliki banyak keterbatasan. Hanya dua mata, dua telinga dan satu otak.
Seperti itulah seminggu ini duniaku terjadi. Jika menulis adalah terapi hati. Maka aku telah keluarkan racun-racun ini agar kembali murni. Apalah daya jika menyakiti karena kata baknya sihir yang tak pernah bermantra. Sedikit yang mengerti layaknya sajak yang hanya dimengerti oleh pengarangnya sendiri.
Komentar
Posting Komentar