Karena Marah
Travelling memang selalu membawa cerita dan pengalaman baru.
Bukan hanya dari destinasi yang dituju tetapi juga dari partner travelling
kita.
Belum lama ini aku dan seorang temanku melalukan travelling ke
tempat yang bagi kami bagai hutan belantara. Perjalanan yang berlangsung selama
4 hari 3 malam. Bingung, lelah, takjub dan segala perasaan manusiawi pastilah
berlalu-lalang tanpa henti.
Puncaknya, pada malam terakhir, keegoisanku untuk bisa mengunjungi semua tempat tujuan kami, membuatku marah ketika temanku meminta untuk kembali ke homestay. Marahku memang tidak terucap dari kata-kata keras dan kasar.
Aku marah dengan memilih diam dan berjalan lebih cepat darinya. Aku tidak peduli dengannya. Bahkan tiba di homestay aku masih diam seribu bahasa dan memilih segera tidur sambil memasang earphone di telinga.
Beberapa saat kemudian amarahku mereda. Aku lihat temanku sudah tertidur pulas di tempat tidurnya. Melihat wajahnya, aku menyesal telah marah dan begitu egois.
Aku seharusnya tidak menyamakan diriku dengan dirinya. Bisa jadi aku masih sanggup melangkah jauh tetapi belum tentu dengan dirinya. Bisa jadi aku masih bisa bertahan menahan lelah dan lapar tetapi belum tentu dengan dirinya.
Aku seharusnya lebih memahami bahwa perjalanan ini bukan hanya tentangku dan segala destinasi yang sudah kami sepakati, melainkan tentang kami yang bisa saling mengerti dan mendengarkan serta menahan ego masimg-masing seperti kaki yang melangkah bersisian. Semoga di perjalanan berikutnya, cerita dan pengalaman baru kami tanpa ada lagi amarah.
Puncaknya, pada malam terakhir, keegoisanku untuk bisa mengunjungi semua tempat tujuan kami, membuatku marah ketika temanku meminta untuk kembali ke homestay. Marahku memang tidak terucap dari kata-kata keras dan kasar.
Aku marah dengan memilih diam dan berjalan lebih cepat darinya. Aku tidak peduli dengannya. Bahkan tiba di homestay aku masih diam seribu bahasa dan memilih segera tidur sambil memasang earphone di telinga.
Beberapa saat kemudian amarahku mereda. Aku lihat temanku sudah tertidur pulas di tempat tidurnya. Melihat wajahnya, aku menyesal telah marah dan begitu egois.
Aku seharusnya tidak menyamakan diriku dengan dirinya. Bisa jadi aku masih sanggup melangkah jauh tetapi belum tentu dengan dirinya. Bisa jadi aku masih bisa bertahan menahan lelah dan lapar tetapi belum tentu dengan dirinya.
Aku seharusnya lebih memahami bahwa perjalanan ini bukan hanya tentangku dan segala destinasi yang sudah kami sepakati, melainkan tentang kami yang bisa saling mengerti dan mendengarkan serta menahan ego masimg-masing seperti kaki yang melangkah bersisian. Semoga di perjalanan berikutnya, cerita dan pengalaman baru kami tanpa ada lagi amarah.
Komentar
Posting Komentar