Selisih Takdir
Sebanyak apapun aku berdoa. Seberat apapun aku berharap. Jika Tuhan berkata "Tidak!" Maka tidak.
Sungguh aku hanya manusia biasa yang tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Semisal takdir kita yang mungkin tidak pernah beririsan. Namun, aku, pada hal-hal yang sudah terjadi, tahu bahwa takdir kita pernah sekali beririsan. Kemudian berlanjut hanya bersinggungan. Seperti saat ini.
Takdir kita masih sering bersinggungan. Di beberapa kesempatan aku tahu kita berada pada ruang yang sama, tapi kita tak pernah sekalipun berjumpa lagi. Sejak hari itu. Sejak aku ucapkan terima kasih karena sudah menjadi satu-satunya lelaki yang memberi uluran tangan. Lalu kamu hanya tersenyum tanpa kata kembalian.
Hari ini, sekali lagi kita di ruang yang sama. Aku tahu dari terbitan status barumu. Foto yang kamu tampilkan sangat dekat dengan posisiku berdiri. Mestinya dalam sekejap kita bisa bertemu. Atau dalam perjalanan menuju kamar kecil.
Meskipun demikian, bukan takdir kita untuk bertemu. Rasanya aku ingin memulai mengusahakanmu. Namun, kehormatan mana lagi yang aku punya, jika apa-apa dalam perasaan diumbar bukan pada orang yang berhak. Tidak. Bukan itu yang aku harapkan. Dan tentu saja, jika itu kamu, kamu tidak akan setuju.
Tetapi bagaimana kita bisa sering kali berada pada ruang yang sama namun tidak pernah bisa dipertemukan? Mungkinkah ini selisih takdirku dan takdirmu? Haruskah ini menjadi pertanda, bukan kamu. Atau ini pertanda belum pada waktu tapi membiarkan kita dalam radius terjangkau?
Sudahlah, aku tidak ingin berandai. Bagaimanapun tanyaku tentang selisih takdir ini, aku yakin banyak selisih takdir lain yang terjadi. Hanya saja, yang lain tidak tampak karena kilaumu terlalu menyilaukan. Biarkan takdir kita yang mungkin tidak akan lagi beririsan terjawab oleh selisih takdir dengan jarak membesar.
Kemudian aku pasti sampai pada jalan bernama kepasrahan dalam selisih takdir kita.
Sungguh aku hanya manusia biasa yang tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Semisal takdir kita yang mungkin tidak pernah beririsan. Namun, aku, pada hal-hal yang sudah terjadi, tahu bahwa takdir kita pernah sekali beririsan. Kemudian berlanjut hanya bersinggungan. Seperti saat ini.
Takdir kita masih sering bersinggungan. Di beberapa kesempatan aku tahu kita berada pada ruang yang sama, tapi kita tak pernah sekalipun berjumpa lagi. Sejak hari itu. Sejak aku ucapkan terima kasih karena sudah menjadi satu-satunya lelaki yang memberi uluran tangan. Lalu kamu hanya tersenyum tanpa kata kembalian.
Hari ini, sekali lagi kita di ruang yang sama. Aku tahu dari terbitan status barumu. Foto yang kamu tampilkan sangat dekat dengan posisiku berdiri. Mestinya dalam sekejap kita bisa bertemu. Atau dalam perjalanan menuju kamar kecil.
Meskipun demikian, bukan takdir kita untuk bertemu. Rasanya aku ingin memulai mengusahakanmu. Namun, kehormatan mana lagi yang aku punya, jika apa-apa dalam perasaan diumbar bukan pada orang yang berhak. Tidak. Bukan itu yang aku harapkan. Dan tentu saja, jika itu kamu, kamu tidak akan setuju.
Tetapi bagaimana kita bisa sering kali berada pada ruang yang sama namun tidak pernah bisa dipertemukan? Mungkinkah ini selisih takdirku dan takdirmu? Haruskah ini menjadi pertanda, bukan kamu. Atau ini pertanda belum pada waktu tapi membiarkan kita dalam radius terjangkau?
Sudahlah, aku tidak ingin berandai. Bagaimanapun tanyaku tentang selisih takdir ini, aku yakin banyak selisih takdir lain yang terjadi. Hanya saja, yang lain tidak tampak karena kilaumu terlalu menyilaukan. Biarkan takdir kita yang mungkin tidak akan lagi beririsan terjawab oleh selisih takdir dengan jarak membesar.
Kemudian aku pasti sampai pada jalan bernama kepasrahan dalam selisih takdir kita.
Komentar
Posting Komentar