Resensi Tuhan Maha Romantis
Novel berjudul Tuhan Maha Romantis karya Azhar Nurun Ala dengan cetakan pertama di tahun 2014, menceritakan perjalanan cinta yang dimanja oleh takdir Tuhan. Bagaimana takdir Tuhan selalu bukan tentang kebetulan tetapi telah dirancang dalam kesempurnaan terindah. Kisah Rijal Rafsanjani, seorang mahasiswa baru di Universitas Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (UI-FIB), merasakan makna dipertemukan, jatuh cinta, menjaga kesucian cinta, dipisahkan, kemudian dipertemukan kembali dalam kondisi ketidakberdayaan.
Konflik dituturkan melalui banyak pertikaian batin dari tokoh. Penokohan kuat. Nilai-nilai agama juga menjadi bagian penting dalam memaknai kehidupan dan cinta. Selain itu, novel ini juga membawa pembaca lebih mengenal sastra seperti keindahan menginterpretasi sebuah puisi dimana penulis dan pembaca terkadang berada di dunia berbeda yang tidak selalu beririsan. Tidak hanya itu, penulis sangat pintar memilih diksi sehingga mampu menjamu pembaca ikut hanyut dalam setiap adegan lucu dan haru.
Meskipun demikian, sangat disayangkan penulis seperti terburu-buru mengakhiri kisah ini. Semestinya, penulis mampu sedikit lagi membuat pertikaian batin dari tokoh selama perjalanan menemukan sang pujaan hati. Kemudian penggambaran keromantisan takdir akhirnya membuat tokoh mampu melawan ketidakberdayaan menuju ikrar suci.
Novel ini bisa dibaca oleh segala segmen umur pembaca. Sesuai dengan judul novel ini yaitu Tuhan Maha Romantis, pembaca akan mampu merefleksikan takdir hidup dengan pasang surutnya dan pada akhirnya percaya dan meyakini segala hal telah ditakdirkan. Pesan dan kesan kehidupan begitu melekat pada nilai agama. Dan novel ini sangat mudah dipahami dan ringan untuk menjadi bacaan serta ada cinderamata yang berkaitan dengan buah kiwi.
Berikut adalah salah satu kutipan dalam novel Tuhan Maha Romantis:
Adalah merekam, satu hal yang paling menyenangkan dalam hidup ini. Adalah memutar ulang rekaman dan menertawakan segala kebodohan yang terekam di dalamnya, hal paling menyenangkan nomor dua.
Sebab itu kita suka menulis. Sebab itu kita suka memotret -- atau dipotret.
Barangkali karena sebagian kebahagiaan tak bisa diulang, kita menjadi pecinta rekaman-rekaman -- menjadi pengagum kenangan-kenangan. Barangkali karena kita tak punya kuasa untuk memaku waktu, kita mengenang keindahan yang kita jumpai dalam gambar-gambar, dalam kata-kata -- rentetan aksara yang bisa kapan saja kita baca.
Maka jangan salahkan siapa-siapa bila diam-diam aku menyimpan gambarmu. Jangan salahkan siapa-siapa bila terlalu banyak sirat namamu dalam piusi-puisiku.
Saat itulah bapak mengajariku shalat istikharah. 'Tak kan menyesal orang yang istikharah, tak kan rugi dia yang bermusyawarah,' katanya menyampaikan pesan Rasulullah.
Selamat membaca dan menikmati keromantisan Tuhan dalam perjalanan cinta Rijal Rafsanjani :)
Terima kasih Mba ...
BalasHapusAku suka membaca ini ...
Belum punya bukunya soalnya, penasaran bangettt😁
Kembali kasih ka :D
HapusTerima kasih Mba ...
BalasHapusAku suka membaca ini ...
Belum punya bukunya soalnya, penasaran bangettt😁