Lelaki Bodoh-1

Mungkin tidak lama aku bisa menatapmu lamat-lamat. Sudah saatnya aku untuk kembali. Kembali menata lagi hatiku. Kembali meneruskan impian yang pernah aku abaikan karenamu. Bisa jadi itu juga yang kamu rasakan sekarang.

"Aku harus pergi," gemetar suaraku tak sanggup menahan perih dan nyeri di hati.

"Tidak bisakah sedikit lagi kita berjuang bersama?" Air mata mulai meleleh, mengalir cepat di wajah halus, tetapi sedikit tersendat pada cembungan pipi gembilmu.

"Tersisa sepuluh hari untuk mengurus semuanya. Kabar tidak terduga ini sudah aku impikan jauh sebelum aku mengenalmu. Bahkan telah masuk menjadi zikir dalam aliran darahku. Aku pun ingin membawamu serta. Sangat ingin. Ingin sekali. Namun, jika ego ini aku utamakan, bukankah aku akan memenjarakanmu dalam impianku? Dan bukan impianmu?"

Setelah sepanjang itu, akhirnya tak kuasa aku melawan bongkahan kaca di sepasang mataku. Kamu hanya terdiam dan menunduk. Pecah tangismu semakin menjadi. Aku tahu kamu tidak sanggup menjawab tanyaku. Diammu justru menusuk anak panah lebih dalam.

"Bersinarlah! Kejar impianmu. Pasrahkan pada Yang Maha Pencipta. Kelak akan ada dia yang akan menemanimu berjuang". Aku bangkit hendak meninggalkanmu. Meninggalkan kenangan kita. Meninggalkan impian kita. Meninggalkan apa-apa tentang kamu dan aku tanpa sisa.

" Lantas, siapa yang akan menemanimu berjuang? Di negeri asing, tanpa seorangpun teman dan keluarga? Apa kamu mampu bertahan? Bahkan kamu selalu lupa membawa dan meletakan baju hangatmu. Atau makan tepat waktu karena terlalu sibuk membantu teman-temanmu. Atau memberi kabar bahwa kamu..." tidak sanggup lagi kamu menyelesaikan kalimat. Tangisanmu semakin pecah. Kini kamu putar tubuhmu membelakangiku.

Ooh... bidadariku. Wanita kedua setelah sosok wanita senja yang setiap saat selalu bertanya apakah aku sehat dan baik-baik saja. Sampai kamu datang dan membuatnya tenang tanpa khawatir setiap saat. Aku akan lebih senang jika perpisahan ini menyisakan aku sebagai pecundang egois tidak tahu diri. Marahlah padaku. Maki aku sepuasmu. Jangan biarkan air mata sucimu mengalir deras hanya karena lelaki bodoh sepertiku. Lelaki bodoh dengan umur terprediksi. Lelaki bodoh yang takut mengucapkan selamat tinggal untuk selamanya suatu hari yang tidak lama lagi.

Perlahan aku melangkah menjauhi tubuhmu yang berguncang semakin hebat. Ingin aku kembali dan memintamu menemaniku selamanya. Tapi itu berarti aku telah utuh menjadi manusia egois yang sempurna. Sempurna mematahkan sayap-sayap indahmu untuk bisa terbang lebih tinggi. Sempurna merebut paksa hidupmu yang penuh keriangan sebagai mahasiswi sekitar dua atau dua setengah tahun lagi. Dan sempurna memasung kakimu sehingga tidak bisa melangkah tanpaku.

Tidak. Aku tidak berhak. Aku tidak layak untuk semua hal manis yang berwujud kamu. Tekadku sudah bulat untuk pergi dan tak pernah kembali.



Bersambung...

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

EOA GOLD, Investasi Emas Dunia Akhirat

Mengenal Sereal Umbi Garut, Manfaat, dan Cara Mengonsumsi

Unlogic Birth dalam Al Quran