Mata Biru

Hujan belum reda mengguyur kota. Becek. Bahkan nyaris membanjiri beberapa ruas jalan. Meski demikian kota tidak mati. Jalan-jalan tetap ramai pengendara mengenakan jas hujan warna-warni.

Tidak terkecuali Neni, wanita paruh baya, sudah sibuk mengenakan jas hujan berwarna hijau stabilo. Motor dan helm sudah siap di halaman rumah.

"Hati-hati di perjalanan Nen!" Kata Ibu Neni. Ibu Neni sudah terbilang tua tapi ketangguhannya belum memudar.

Segera Neni mengendarai motor ditemani guyuran hujan. Mulut Neni banyak bergerak. Komat-kamit melantunkan banyak shalawat. Ternyata Neni tidak lupa menerapkan untuk banyak berdoa ketika hujan. Atau karena hal lain yang direncanakan hari ini?

"Saya berhenti Pak. Mohon maaf jika banyak kekurangan saya selama bekerja di sini. Dan terima kasih atas bimbingan dari Bapak," ujar Neni sambil menyodorkan amplop coklat seukuran kertas polio.

"Kenapa Neni? Kerja kamu sangat memuaskan. Janganlah pergi! Apa kurang gaji yang kau terima? Tak apa akan Bapak naikan jika begitu alasannya," kata lelaki bertubuh gempal di hadapannya.

"Bukan karena gaji Pak. Mohon maaf. Tapi saya sudah tidak bisa lagi bekerja di sistem riba seperti ini. Ditambah harus menakut-nakuti orang lain agar mau bergabung. Sudah cukup Pak. Dunia saya terlalu berharga untuk itu," lembut tutur kata Neni.

Walaupun tidak rela, lelaki gempal tersebut menghargai dan menyetujui keputusan Neni, salah satu karyawan terbaik dengan record pencapaian target tertinggi selama bekerja.

Hujan masih juga betah membasahi. Mungkin banyak jiwa-jiwa yang harus disucikan atau kotaran-kotaran yang harus dibersihkan. Namun, Neni tidak gentar. Kini dengan senyum kepuasan menuju parkiran motor.

Di sepanjang perjalanan, mulut Neni kembali banyak bergerak. Komat-kamit lagi melantunkan shalawat. Ternyata benar Neni tidak lupa menerapkan untuk banyak berdoa ketika hujan. Atau ada sesuatu yang lain lagi? Ada apa lagi Neni?

"Saya siap Dok! Insya Allah segala urusan sudah saya selesaikan," ujar Neni dengan kemantapan.

"Apa sudah dipikirkan matang-matang? Mungkin ada banyak cara lain," kata wanita berhijab di sampingnya.

Pandangan Neni lurus melihat gadis cilik dengan infus di tangan. Tertatih berusaha berjalan dengan bantuan dua orang perawat dan seorang dokter wanita muda. Meskipun tidak terdengar tetapi terlihat jelas rintihan kesakitan yang diteriakan gadis cilik tersebut. Namun, langkah usahanya tidak berhenti.

Sah ditandatangani. Tiga operasi akan terjadi nanti malam. Neni pulang ke rumah. Mempersiapkan segala keperluan ditemani Ibunda tercinta. Tidak ada kata. Tidak ada air mata. Hanya kebisuan dan detak jantung yang seirama waktu tetap bergerak dalam sunyi.

Segala perbincangan sudah selesai seminggu lalu. Sore ini, Ibu dan Neni sudah saling tahu. Keikhlasan dalam penerimaan takdir. Meski tidak bersua secara nyata tetapi kalbu dalam tatapan mereka saling bercengkrama.

"Ibu tidak akan kesepian, Neni janji! Matanya sebiru mataku Bu. Hehe..." senyum manis masih sempat dipersembahkan Neni untuk Ibunya sebelum akhirnya menjauh pergi dibawa taxi biru. Masih ditemani hujan.

"Kamu pasti suka hujan ini, Nen. Ibu kira hujan seperti apa yang akan membawamu pergi. Ternyata seromantis ini," senyum getir Ibu bersamaan dengan air mata yang akhirnya meleleh.

Rumah sakit disibukan malam ini. Tiga operasi sekaligus dilaksanakan. Ruang operasi sesak oleh manusia-manusia penuh harap. Sementara tidak seorangpun tampak menunggu di luar.

Waktu berlalu tanpa bekas. Tangan-tangan tetap bekerja tanpa suara. Hanya aba. Peluh keringat tidak sepadan dengan berkantung-kantung darah yang dihasilkan.

Hujan masih mengguyur kota. Ibu Neni masih merapalkan banyak doa. Iringan harapan di ruang operasi juga makin terasa. Menanti dan menunggu kiriman cinta dari Yang Maha Kuasa.

Lampu ruang operasi mati. Di sisi lain mentari tidak mau datang terlambat. Tuhan juga tidak mau kalah. Segaris pelangi cantik membentang. Satu ujungnya sampai di rumah sederhana dimana Ibu dan Neni tinggal sekian lama. Di ujung lainnya sampai di rumah sakit dimana operasi seharusnya selesai dilaksanakan.

Pagi itu, Neni telah tiada dengan diagnosis akhir kanker kolon stadium lanjut. Namun hidupnya digantikan oleh seorang gadis cilik dengan semangat hidup di dada. "Tulang sumsummu membuatku hidup Kak," katanya di sebuah pusara.

Satu lagi lelaki di akhir masa remajanya, berumur sekitar 20 tahun, menggenggam erat Ibu Neni. "Terima kasih membuatku kembali melihat dunia Kak! Jadi ini Ibu yang selalu kamu banggakan? Akhirnya aku yang akan merawat dengan seribu ketangguhan," katanya sambil tersenyum.

Ibu Neni melihat bayangan Neni menjauh dari kerumunan. Tersenyum bahagia. Mengacungkan kedua jempolnya seperti biasa. Katanya itu tanda semua baik-baik saja dan sesuai rencana.

Neni... Ibu tidak kesepian persis seperti katamu. Matanya juga sebiru matamu. Ceria dan semangatnya seribu persen seperti kamu. Ibu malah berpikir, sekarang kamu yang kesepian. Nanti Ibu datang temani Neni jika sudah selesai urusan Ibu di sini.

Hari itu Neni menjadi bukti bahwa tidak akan merugi orang yang memudahkan urusan orang lain. Dan tidak akan merugi orang yang berserah penuh pada takdir Ilahi. Tenanglah menunggu dipersemayamanmu sekarang.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

EOA GOLD, Investasi Emas Dunia Akhirat

Mengenal Sereal Umbi Garut, Manfaat, dan Cara Mengonsumsi

Unlogic Birth dalam Al Quran