Ketika Aku Memilih Ikhlas
Jatuh cinta. Mencintai. Dicintai. Suatu kewajaran dan hakikat seorang manusia. Ketika cinta datang hanya ada satu institusi sebagai jalannya. Pernikahan. Legalitas bukan hanya di dunia tetapi juga di akhirat. Keabsahan juga diperoleh di mata manusia dan Tuhan.
Lantas jika cinta datang pada situasi yang tidak bermuara pada institusi yang benar, maka hanya ada dua pilihan. Mengungkapkan atau mengikhlaskan. Ingat kembali bahwa 'Apa-apa yang menurut kita, manusia, baik belum tentu baik dihadapan Tuhan'. Lalu 'Hanyalah Tuhan yang maha mengetahui segalanya dan kitalah yang sering kali gagal paham'.
Tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar-benar tepat pada dua pilihan tersebut. Bahkan keduanya bisa juga dilakukan beriringan. Semua kembali pada niat yang berharap lugu pada keridhoan Tuhan.
Saat aku jatuh cinta padamu. Kemudian aku memilih untuk menyimpanmu. Diam-diam memperhatikan. Secara sadar dan tidak, telah merelakan hatiku untuk tertawan. Hampir juga tidak pernah luput namamu aku sebut dalam doa panjang di setiap malam.
Dalam hal apapun, aku tetap berusaha untuk mengusahakanmu. Namun, jika dihadapkan pada dua pilihan itu. Lantaran, aku merasa seperti hujan yang tidak diharapkan atau bunga yang madunya tidak menarik perhatian. Jadi aku memilih mengiklaskan.
Dengan segala rupa pesakitan. Aku menghisap habis semua harapan. Aku cabut hasrat keinginan hingga ke akar. Meskipun aku paham konsekuensi masalah hati bukan perkara logika dan pikiran bukan juga itungan sehari dua hari. Namun melibatkan emosi. Sedih dan perih. Lelehan air mata tanda luka.
Seharusnya tidak aku mulai. Sebaiknya tidak pernah saja ada perjumpaan diantara kita. Jika hanya mengundang perpisahan sehingga menimbulkan rentetan doa agar dipertemukan kembali. Walaupun seiring perjalanan godaan kelelahan ini muncul. Sembari membawa kenikmatan penyerahan.
Akhirnya, aku memilih mengikhlaskan. Semoga cara ini tepat untuk mendamaikan porak-porandanya hati. Sudah lama aku rindu hati ini hanya milikku seorang. Sampaikanlah pilihanku pada seluruh penjuru semesta. Bahwa semoga hal terbaik akan datang. Menjadi penawar dan obat sakit yang belum diketahui kesembuhannya.
Dalam hal apapun, aku tetap berusaha untuk mengusahakanmu. Namun, jika dihadapkan pada dua pilihan itu. Lantaran, aku merasa seperti hujan yang tidak diharapkan atau bunga yang madunya tidak menarik perhatian. Jadi aku memilih mengiklaskan.
Dengan segala rupa pesakitan. Aku menghisap habis semua harapan. Aku cabut hasrat keinginan hingga ke akar. Meskipun aku paham konsekuensi masalah hati bukan perkara logika dan pikiran bukan juga itungan sehari dua hari. Namun melibatkan emosi. Sedih dan perih. Lelehan air mata tanda luka.
Seharusnya tidak aku mulai. Sebaiknya tidak pernah saja ada perjumpaan diantara kita. Jika hanya mengundang perpisahan sehingga menimbulkan rentetan doa agar dipertemukan kembali. Walaupun seiring perjalanan godaan kelelahan ini muncul. Sembari membawa kenikmatan penyerahan.
Akhirnya, aku memilih mengikhlaskan. Semoga cara ini tepat untuk mendamaikan porak-porandanya hati. Sudah lama aku rindu hati ini hanya milikku seorang. Sampaikanlah pilihanku pada seluruh penjuru semesta. Bahwa semoga hal terbaik akan datang. Menjadi penawar dan obat sakit yang belum diketahui kesembuhannya.
Sedih...
BalasHapus🙏🙏
Hapus