Kabar Dalam Kereta

Hari itu aku memutuskan untuk pulang sebentar ke rumah diakhir pekan. Rasanya sudah lama tidak pulang ke rumah. Aku sibuk mengurus pernak-pernik urusan praktek kerja lapang dan tugas akhirku. Bahkan aku harus membawa serta tugas-tugasku pulang ke rumah. Semoga bisa dikerjakan saat di rumah. Maklum sudah tingkat akhir dan aku bertarget tidak akan melebihi batas waktu study-ku. Maka, jadilah aku Bang Toyib yang tidak pulang-pulang ke rumah. Padahal jarak kosan dan rumahku bisa ditempuh selama 3,5 jam perjalanan menggunakan kereta api commuterline. Aku juga sudah rindu dengan masakan Ibu.

Biasanya, waktu terlama aku pulang hanya sebulan, jika lebih dari itu aku akan terpaksa harus pulang karena sakit. Aneh memang, tapi itu sepertinya bukti bahwa aku tidak bisa jauh dari keluargaku terutama Ibu dalam waktu yang lama. Namun, kali ini adalah rekor pertamaku, nyaris dua bulan aku tidak pulang. Walaupun, harus berusaha menguatkan diri dengan bayak meminum vitamin dan sekali harus di-kerok teman se-kosanku.

Tidak hanya rindu masakan Ibu, misiku pulang juga karena aku mendapat berita bahwa Bapak sedang sakit. Ternyata sudah hampir sebulan terakhir Bapak sakit tapi dihiraukan dan selalu berkata baik-baik saja saat ditelepon. Justru kakakku yang mengabarkan bahwa Bapak tidak juga membaik dan sering menanyakan kapan aku akan pulang ke rumah. Aah...aku sudah merindukan mereka, gumamku dalam tarikan nafas yang panjang.

Ketika memasuki gerbong terakhir sebelum gerbong khusus wanita, aku memilih berdiri saja di dekat pintu dan langsung bersandar. Aku sedang tidak ingin berebut tempat duduk dengan orang lain. Lebih tepatnya aku tidak ingin diganggu. Makanya aku memilih untuk langsung berdiri dan bersandar. Aku mainkan ponselku. Membaca pesan yang belum sempat terbaca selama di angkutan umum. Maklum saja, semenjak banyak beredar perampasan dan hipnotis dalam angkutan umum, aku jadi lebih waspada untuk tidak sembarangan mengeluarkan ponselku. Meskipun ponselku tidak mahal tapi kehilangannya akan sangat merepotkan hidupku.

Kini aku sibuk membaca setiap pesan pribadi maupun grup. Beberapa stasiun sudah terlewati tanpa aku sadari. Rasanya ada lelaki di seberang aku berdiri, sedang duduk, namun terus memperhatikanku. Aah...abaikan saja, mungkin hanya perasaanku saja. Lagi pula tidak ada yang salah denganku, aku mandi dan menyeprotkan sedikit minyak wangi sebelum berangkat pulang, kataku dalam hati.

Gerbong kereta semakin sepi. Aku tetap tidak beranjak dari posisiku. Sudah nyaman berdiri sambil bersandar seperti ini. Hanya tinggal lima stasiun aku akan tiba ditujuan. Secara diam-diam aku melirik dari balik pucuk kerudungku, lelaki muda dengan pakaian kantoran yang umurnya masih di bawah 30 tahun. Aku bisa melihatnya terus memandangiku. Kemudian pindah duduk di bangku dekat dengan aku berdiri. Aneh. Aku sedikit tersipu karena pandangannya. Namun, entah apa maksud kepindahannya. Mungkin hanya kebetulan saja. Sejujurnya dia mulai menarik perhatianku.

Aku abaikan saja lelaki itu karena pesan masuk dari Bapak. Tumben, pikirku. Aku sudah mengiriminya pesan saat masih di kos sebelum berangkat. Biasanya Bapak hanya akan membalas hati-hati dan menungguku di rumah. Sekarang sudah pesan ke lima yang Bapak kirimkan padaku dan isinya sama menanyakan posisiku saat ini. Bapak sepertinya benar-benar merindukanku, senyumku mengembang.

Beberapa saat kemudian Bapak menelepon. Aku baru saja membalas pesannya. Mungkin belum terbaca, jadi aku putuskan untuk tidak mengangkat teleponnya. Tidak berselang lama, Bapak meneleponku kembali. Aku harus mengangkatnya, mungkin ada sesuatu yang penting, pikirku.

Bapak. Aku sungguh mengenal suara di seberang telepon itu. Meskipun kali ini terdengar agak parau, mungkin karena sakit. Tentu saja kalimat pertama yang ditanyakannya adalah sudah berada dimana aku saat ini. Aku menjawab segala berondongan pertanyaannya. Aku seperti tersangka yang sedang diinterogasi oleh tim penyidik.

Dalam hati aku bahagia diperlakukan seperti ini. Sejak kecil, Bapak merupakan sosok yang selalu tegas kepadaku. Selalu menganggapku mandiri dan cuek saja jika aku merengek meminta atau terjadi sesuatu. Namun, hari ini sangat berbeda. Apakah ini sifat Bapak yang sebenarnya? Ibuku selalu bilang bahwa Bapak itu sosok yang spesial. Aku tidak pernah percaya dengan perkataan Ibu tentang hal itu, tapi kini aku menyaksikannya sendiri. Bapakku memang spesial.

Bapak masih terus saja bertanya banyak hal di telepon. Ada sedikit kekesalan, mengingat aku sesaat lagi akan pulang ke rumah. Aku hanya menjawab iya untuk mengakhiri obrolan yang lebih panjang. Selain itu, aku sepertinya menarik perhatian penumpang di sekitarku, terutama lelaki di dekatku itu. Aku rendahkan suara dan posisiku berdiri yang kini menghadap ke kaca pintu gerbong kereta.

Mungkin Bapak menyadari perubahan intonasi suaraku. Kemudian Bapak mulai menghentikan serombongan pertanyaannya. Dengan tarikan nafas dalam yang terdengar di telepon, Bapak berhenti berbicara. Sekarang aku merasa bersalah kepadanya. Aku panggil Bapak dengan riang. Lalu, tanpa sadar air mataku mengembang dalam kedua kelopak mata ketika mendengar jawabannya.

Aku tidak pernah sekalipun mendengar kalimat ini terlontar darinya. Meskipun hanya dari telepon, tapi entah mengapa aku merasa Bapak sedang ada dihadapanku. Menatapku dengan penuh cinta sambil mengelus lembut kepalaku.

"Bapak menyayangimu. Bapak rindu sekali karena kamu tidak juga pulang. Bapak tahu kamu sibuk karena sudah di akhir tahun kuliahmu. Bapak hanya ingin kamu sering-sering menengok Bapak."

Tidak kuasa lagi air mata ini aku bendung. Aku tidak menjawab apapun karena takut Bapak mendengar suaraku yang berubah karena menangis. Aku hanya mengiyakan perkataannya dengan erangan dari tenggorakan. Aku hapus setiap air mata yang menetes dengan tangan dan mengelapnya sembarang di jeans yang aku kenakan.

Berkali-kali aku tahan air mata ini agar tidak menetes semakin kencang, tetapi tidak berhasil. Bahkan alirannya semakin kencang, ketika Bapak berpesan sebelum menutup teleponnya.

"Kamu hati-hati ya di perjalanan pulang. Bapak mau sering kamu kunjungi. Maaf ya Bapak belum bisa jadi Bapak yang baik buat kamu. Bapak bangga kamu kuliah dengan baik, bahkan mau kpraktek kerja lapang sampai keluar pulau. Bapak belum pernah naik pesawat tapi kamu sudah. Bapak bangga punya kamu. Hati-hati ya, Ndok! Wassalamualaikum," telepon di seberang dimatikan.

Kereta ini terasa berjalan lambat. Aku ingin segera sampai di rumah dan menemui Bapak. Bapak, maafkan anakmu ini yang tidak menjawab apapun tadi. Aku terlalu takut suara cengengku malah membuatmu khawatir. Maaf karena aku hanya diam. Aku tidak bisa lagi menahan tangisku. AKu tundukan kepalaku yang masih menghadap kaca pintu kereta.

Suara pemberitahuan stasiun berbunyi. Sudah sampai. Akhirnya sampai di stasiun tujuanku. Karena ini stasiun terakhir semua penumpang merapat di depan pintu. Aku sadar bahwa lelaki itu berada di sampingku. Dari bayangan kaca pintu aku lihat dia masih memperhatikanku dan aku pun melihat pundakku yang bergerak menahan isakan tangis.

Aku tahu lelaki itu sadar bahwa aku sedang menangis karena postur tubuhnya yang lebih tinggi dariku terlihat menunduk mengamatiku. Sesaat sebelum pintu terbuka ketika kereta berhenti, dari bayangan yang terpantul pada kaca pintu, aku tahu kami saling memandang. AKu tidak sanggup lagi menahan kerinduanku pada Bapak. Aku singkirkan lelaki itu dan aku dekap erat map tugas yang aku bawa.

Pintu kereta terbuka. Aku dengan segera keluar dan berjalan cepat hampir berlari sambil menundukan kepalaku. Di kepalaku hanya terbayang wajah Bapak. Bapak tunggu aku pulang ke rumah. Aku akan segera sampai. Sebentar lagi.

Untuk kamu, lelaki dalam gerbong yang aku tahu dengan pasti di saat terakhir pun kamu terus memandang tubuhku yang terus menjauh. Kita akan bertemu lagi, mungkin. Jika kita berjodoh, kita akan bertemu lagi... 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

EOA GOLD, Investasi Emas Dunia Akhirat

Mengenal Sereal Umbi Garut, Manfaat, dan Cara Mengonsumsi

Unlogic Birth dalam Al Quran