Pesan
Lumajang, 26 September 2015 Mentari masih di ujung fajar. Lamina belum sanggup melengserkan embun. Garis lurus gelap dan terang abadi menjadi lukisan pemandangan yang selalu aku nanti. Aku sudah siap bersama toga di kepala. Begitu juga Ibu. Tersisa Bapak. Sibuk dengan bentuk dasi diantara kerah kemeja biru yang dikenakannya. Tumben. Ini pertama kali, aku melihat Bapak bersetelan jas hitam. Rambut hitam dengan sedikit uban berhasil disisir rapi berkat bantuan sedikit minyak orang aring . Sepatunya pun mengilap akibat digosok semalaman. Bapak memang gagah. Pantas Ibu rela hatinya tertawan. “Ayo berangkat! Mobil jemputan Tuan Putri sudah menunggu di depan,” ujar Bapak seusai menutup sebuah telepon. Seketika aku menoleh keluar jendela. Mobil sedan hitam baru saja berhenti tepat di pagar rumah kami. Aku kembali menoleh pada Ibu dan Bapak secara bergantian. Bertanya-tanya. “Kata Bapakmu, sekali-kali arep bua