Tak Pernah Terlupakan Nikmat Dalam Kesulitan 2

Semenjak hari itu, semangatku bertambah untuk pergi bekerja. Meskipun jarak yang harus aku tempuh cukup jauh dengan waktu hampir dua jam, rasanya tidak terlalu berat lagi untuk dijalani. Ada sesuatu yang aku ingin capai di sana. Sosok Bosku yang seorang wanita sungguh menginspirasi sekali. Aku ingin belajar langsung dan menyerap semua hal baik yang beliau miliki. Semangatku tertancap semakin kuat.

Aku semakin larut dalam pekerjaanku. Sebagai Staff Event Marketing, tugasku tidak main-main. Aku harus memastikan banyak stand di event kami terisi penuh, bila perlu sejumlah perusahaan harus masuk dalam waiting listnya. Sebelumnya, aku tidak pernah berhubungan dengan pekerjaan marketing berakibat aku harus ekstra bekerja keras memahami rule-nya. Tidak masalah apapun yang terjadi, tekadku sudah bulat ingin belajar banyak hal dari bosku. Aku pikir jika aku bekerja dengan baik untuk ini, setidaknya beliau akan lebih terbuka mengajarkan ilmu baru padaku.

Waktu berlalu dengan cepat. Akhirnya hari ini adalah genap sebulan aku bekerja dan itu artinya gajian. Yes!! Gajian pertama, pekikku dalam hati. Langkah riang membimbing sampai ke kantor. Meski hari itu banyak sekali kerjaan yang menumpuk dan masih belum banyak kepastian keikutsertaan perusahaan dalam event kami, tetap saja kegembiraan ini tak bisa dibendung. Suasana kantor sibuk sekali, tidak seperti biasanya. Bosku juga hadir di kantor lebih awal.

Tidak membutuhkan waktu lama aku dan rekan setimku langsung tenggelam dalam kesibukan pekerjaan kami. Bosku juga tidak kalah sibuk, berulang kali masuk ke ruangan kami dan berulang kali pula memanggil senior tim kami untuk datang ke ruangannya. Beberapa hari belakangan, aku memang mendengar kesulitan keuangan yang terjadi di kantorku. Kejadiannya sama dengan yang sering ada di film atau sinetron dan semacamnya tentang gosip-gosip kantor yang fifty fifty kebenaran dan entah dari mana asal usul beritanya, menyebar begitu saja disela-sela jam makan siang.

Sungguh luar biasa sibuk. Bahkan kami harus lembur hingga magrib untuk menyelesaikan semuanya. Ketika aku hendak pulang, senior memanggilku untuk ikut sebentar dengannya. Aku menurut saja, aku minta temanku, yang biasanya pulang bersama, untuk menungguku sebentar. Aku dibawa ke ruang meeting bosku. Hanya aku, senior dan staff keuangan yang sudah aku kenal sebelumnya. Pembicaraannya tampak serius. Senior memberikan intro panjang lebar terkait keberadaanku dalam perbincangan ini.

Tidak sepatah katapun aku ucapkan. Namun, aku mulai mengendus akhir dari percakapan kami tidaklah menyenangkan. Terang saja, beberapa saat kemudian, senior menyatakan bahwa aku diberhentikan dengan alasan kinerjaku yang kurang memuaskan. Entah apa raut wajah yang aku tunjukan saat itu. Seketika mereka yang duduk dihadapanku duduk dengan gusar dan tidak nyaman. Senior mempersilahkanku untuk memberi tanggapan atau mengucapkan apapun yang aku pikirkan. Aaah seniorku ini...biasanya tak pernah bertingkah semanis ini di hadapanku.

Tentu aku tidak ingin hilang begitu saja, apalagi dianggap lemah karena diberhentikan seperti ini. Iya, sekali lagi aku adalah wanita di atas rata-rata. Bukan karyawan lemah yang begitu saja bisa mereka lempar keluar. Aku bermartabat dan akan aku buktikan itu.

Aku dermawankan segala tutur kataku kepada mereka. Jika tempat ini tidak menerima kinerjaku, maka tempat ini memang tidak layak untukku. Aku merelakan dengan ikhlas segalanya di sini. Aku hapus semua keinginanku untuk belajar banyak hal di sini. Aku harap aku benar bahwa tempat ini yang tidak layak untuk aku abdikan. Terakhir kalinya senior meminta permohonan maaf karena pemberhentian tidak langsung dikatakan oleh Bos kami. Cukup mengherankan sekali bagiku. Lucu. Bosku lucu. Sosok wanita moody yang akhirnya tidak cukup pantas aku posisikan sebagai inspirasi hidupku.

Bukannya aku sok tahu dalam dunia kerja yang baru bagiku. Namun, semua orang semestinya paham bahwa segala yang terjadi ini tidak layak diperbuat oleh manusia. Mungkin ini yang namanya tidak memanusiakan pekerja. Meskipun aku seperti ayam baru menetas, tapi aku tahu tangan yang lembut memelihara dan tangan yang hanya memberi kerusakan. Sesungguhnya ini soal rasa. Dan entah mengapa aku merasa mereka tidak berada di zona rasa seorang manusia.

Aku tegapkan langkahku bersalaman dan pergi dari ruangan itu. Mereka berkata agar aku kembali di hari senin untuk menyerahkan tugas dan mengambil gajiku. Sesak rasanya, gaji pertamaku ya. Tadi pagi aku baru saja berandai-andai betapa menyenangkannya menerima gaji pertama dari keringatku sendiri. Lantas, ternyata gaji pertama bukanlah rasa coklat seperti yang aku bayangkan. Hahaha...Lucu sekali hidup ini.

Berhenti semua pikiran dalam otakku, saat aku menemukan teman-temanku masih menunggu untuk pulang bersama. Berondongan pertanyaan dilontarkan atas apa yang terjadi di ruangan itu. Setelah semua detik berarti, telah aku pulihkan kesadaranku. Aku dengan santai berkata bahwa aku diberhentikan karena kinerjaku yang kurang memuaskan. Salah satu temanku langsung menyangkal, bahwa itu tidak mungkin, pasti bukan karena hal itu. Saat awal dia bekerja di sini, kinerjanya bahkan lebih buruk dari padaku, katanya. Entahlah itu kenyataan atau hiburan semata untukku. Aku tidak peduli dengan apa yang sudah terjadi. Halamanku untuk tempat kerja ini sudah selesai. Tamat.

Dalam perjalanan pulang, mereka terus mengiba padaku. Aku kurang suka jika orang mengasihaniku. Aku tidak akan tenggelam hanya karena ini guys, cekatku dalam hati. Aku hentikan semua racauan mereka, aku katakan bahwa ini adalah nikmat yang Tuhan berikan padaku. Ini adalah jawaban dari doaku. Mereka tercengang tak mengerti maksud perkataanku. Aku jelaskan kembali kepada mereka bahwa ketika aku ijin untuk datang di siang hari, saat itu tepat dimana pertemuan pertamaku dengan Bos bersama kalian.

Di pagi harinya aku datang untuk memenuhi interview di suatu lembaga penelitian non profit. Kemudian aku masuk dalam shortlist mereka dan ketika aku menerima tawaran ini maka senin besok aku sudah bisa masuk kerja, jelasku singkat kepada mereka. Seketika raut wajah mereka berubah senang. Mereka berkata bahwa ini adalah nikmat dalam kesulitan. Aku pun berpikir demikian. Aku hampir saja melepaskan tawaran ini, karena rasa hormatku pada tempat kerjaku. Aku tidak ingin pergi hanya karena mendapat penawaran kerja yang lebih sesuai minatku dan lebih baik pula secara finansial. Setidaknya aku harus berterimakasih dengan bekerja setahun di sini. Sungguh aku tidak enak hati jika harus resign dengan track record satu bulan, apalagi dengan Bos sealumnus. Tidak mungkin bagiku untuk pergi.

Namun, sekali lagi sungguh benar bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik untuk setiap hamba Nya yang bersabar dan shalat. Bagaimanapun caranya sesuatu yang sudah ditakdirkan bersama tetaplah akan bersama. Begitulah aku saksikan kebesaran Nya teramat indah. Tidak ada lagi beban bagiku untuk menerima tawaran tersebut. Syukur tiada henti sepanjang perjalananku pulang ke rumah. Saat berpisah dengan mereka, aku pamit dan berharap agar kita bisa terus diberi kelancaran dalam setiap urusan. Aku berdoa untuk diberi kesempatan bertemu dengan mereka kembali tanpa terkecuali, termasuk Bos dan senior itu.

Aku tahu malam ini sungguh panjang bagiku. Aku pandangi bintang di sepanjang jalan melalui kaca pintu commuter line. Entah doa mana yang semakin dekat dengan Arasy Mu, Tuhan... yang jelas, pantaskah aku memperoleh kenikmatan yang besar ini! Entah doa mana yang Engkau pilihkan lagi untukku selanjutnya, atau Engkau menyimpan dan membentukan bangunan untukku tinggali di akhirat nanti? Tiada lagi secuil perasaanku ingin menduakan Mu. Engkau yang terbaik. Tiada lagi nikmat Mu yang bisa aku dustakan.

Tiba di rumah, aku akan melihat wajah Ibuku yang seperti apa, ketika aku, anaknya, pulang dengan cerita entah sedih atau bahagia. Meski demikian, hari ini harus aku selesaikan. Buku itu harus aku tutup dengan rapih dan akan aku buka buku yang baru dengan indah. Perlahan aku ceritakan segalanya. Sesuai dugaanku, Ibu memang begitu sensitif terhadap kejadian yang menimpa anaknya, malam itu aku lihat bulir haru menetes dari matanya. Aku sudah besar tapi aku terus saja membuatmu menangis. Oh Ibu, aku akan berusaha lebih keras untuk menggantinya dengan senyuman.

Kisah ini tak pernah terlupakan untukku. Perasaan gaji pertamaku. Nikmat yang besar dalam kesulitanku. Kesakitan yang indah. Jawaban dari sabar dan shalat. Percaya bahwa bukan karena pantas atau tidak pantas, layak atau tidak layak, dan hebat atau tidak hebat, kita akan tetap bersama dengan sesuatu yang ditakdirkan untuk bersama dengan kita. Seperti sebuah kisah, hidup kita pun sudah dirancang dengan begitu unik. Berbeda antara satu dengan lainnya. Yakinlah jika tidak bisa mendapatkan maka bukan berarti ketidakmampuan diri untuk bisa mendapatkannya tetapi karena tidak ditakdirkan untuk bersamanya. Maka jauhkanlah perasaan bahwa kegalalan adalah karena ketidakmampuan kita dengan cara bersungguh-sungguh mendapatkannya.

Jangan pernah lupa bahwa nikmat selalu ada dalam setiap kesulitan.

Komentar

  1. Aku dermawankan segala tutur kataku kepada mereka.

    yang benar aku dermakan bukan aku dermawankan.

    derma kata kerja dermawan itu org yg suka menderma

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waah...terimakasih banyak koreksiannya :)
      Jadi nambah kosakata :D

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

EOA GOLD, Investasi Emas Dunia Akhirat

Mengenal Sereal Umbi Garut, Manfaat, dan Cara Mengonsumsi

Unlogic Birth dalam Al Quran