Dalam Balutan Cinta
Bukan karena bernyali besar lantas aku pergi. Aku hanya tidak ingin berada dekat denganmu jika hanya air mata yang selalu aku lihat. Aku hanya lelah menunggu kesempatan untuk membahagiakanmu. Sementara itu, aku lebih memilih menjauhimu sebentar saja.
Aku langkahkan kaki gontai menyusuri jalan gelap nan sunyi. Baru saja, aku lihat Aisyah, istriku, sedang mengusap matanya di dapur rumah kami. Memang, sudah tiga bulan ini aku menganggur. Hutang kami menumpuk dan makanan kami diperoleh istriku dari rumah orang tuanya. Jika istriku berbesar hati pergi ke rumah orang tuanya setiap hari, mungkin kami sudah kelaparan sejak lama. Mestinya aku tidak menikahinya di saat tak ada penghasilan tetap yang bisa aku berikan. Namun, ketika itu dia menyakinkanku dengan wajah lugunya, bahwa dia tidak keberatan selama hubungan kami telah halal di mata Nya.
Hatiku juga semakin mantap meminangnya, lantaran sahabatku berkata bahwa setelah menikah rizki akan datang lebih berlimpah. Entah logika apa yang aku gunakan saat itu, sehingga aku mempercayai setiap kalimatnya. Kini, setiap aku mengadukan kehidupanku setelah menikah, dia hanya punya satu kata jawaban, yaitu sabar.
Mungkin batas sabarku sudah habis malam ini. Aku frustasi, bingung, dan ingin menghilang dari dunia ini. Aku mulai mengencangkan langkahku. Berlari. Terus berlari menghunus kesunyian malam yang semakin pekat. Lariku lebih menggila bersamaan dengan bunyi petir dan guyuran hujan. Aku terus berlari, tidak ingin berhenti dan mengabaikan napasku yang tersengal.
Dalam hujan deras, aku muntahkan perasaanku. Semuanya. Marah, kecewa, kesal, galau, bodoh, egois, sedih dan terluka. Apakah Tuhan sedang bermain padaku saat ini? Apakah Tuhan sedang menunjukan ketidaksukaannya padaku? Apakah Tuhan sedang menghukumku? Atau aku bukan lagi termasuk dalam hamba Nya yang dilimpahi kasih sayang? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Pekikku dalam hati. Dosa apa yang sudah aku perbuat Tuhan!! Rasanya sungguh tidak adil. Ini bukan tentangku, tapi tentang Aisyah.
Dari kejauhan, samar aku lihat. Di sebuah Gazebo yang tidak asing bagiku. Sosok wanita sedang berjalan mondar mandir gelisah. Aku mengenalnya. Dia adalah Aisyah. Aisyah, istriku. Apa yang sedang dia lakukan di sana? Haruskah aku pergi? Sepertinya dia belum melihat keberadaanku. Akan sangat memalukan bertemu dengannya dalam kondisiku seperti ini. Aku harus bergegas pergi.
Aku balikkan badan untuk segera pergi. Aku langkahkan lagi kaki ini kembali menyusuri jejak kakiku sebelumnya. Namun, kepalaku tak kuasa untuk tidak berpaling melihat sosoknya. Akankah aku harus pergi? Dia pasti bahagia jika aku pergi saja. Aku buang seluruh alasan untuk kembali padanya. Ini adalah yang terbaik, bisikku dalam hati.
Tiba-tiba aku terjerembab, tergelincir ke dasar comberan. Kepalaku terbentur. Kemudian, aku lihat cahaya matahari terang. Di dalamnya ada diriku yang sedang berlarian mengejar Aisyah. Oh..Aisyah tampak cantik sekali dengan gaun putih itu. Aku juga tidak kalah tampan dengan setelan jas abu-abu. Aku merasakan kehangatan menghampiri tubuhku. Diriku berhasil menangkap Aisyah. Ahh...aku menyunggingkan senyum melihat kejadian itu.
Aisyah melepaskan rengkuhan kalajengking kedua tangan diriku. Loh kenapa? Senyumku berubah menjadi rasa penasaran. Selanjutnya, Aisyah mulai berjalan dan tersenyum ke arahku. Tidak lama, Aisyah sudah berada di depanku, masih dengan senyum manisnya. Aku mulai mengkerut bertanya, apakah dia melihatku? Bukankah aku sudah mati?
Aisyah terus saja memandangiku tanpa berhenti tersenyum. Wajahnya sungguh rupawan dalam jarak dekat. Kemudian tangannya mulai merapikan rambutku yang sepertinya berantakan. Pandangannya semakin lekat di mataku. Lalu, tangannya mengusap wajahku dengan lembut. Aku sangat kenal dengan harum tangannya, tidak berubah. Tubuhnya semakin mendekat dan perlahan memelukku dalam.
Suara merdunya berbisik di telingaku, "Mas, aku ingin kamu pulang bersamaku. Cintaku tidak lengkap jika kamu terlalu terburu-buru ingin di sini. Sekarang ini Tuhan sedang berbicara dengan kita, tapi di rumah kita bukan di sini. Akhir-akhir ini aku sering menangis karena ternyata Tuhan sangat menyayangi kita. Mungkin karena shalatmu tidak pernah tertinggal, tentu saja kamu memiliki banyak waktu untuk itu. Atau Tahajudmu yang membuat basah sajadah sehingga setiap hari aku bisa mencucikannya untukmu dan kamu gunakan lagi di malam harinya. Kita tidak pernah kekurangan apapun dalam balutan cinta ini. Maka, Mas, ikutlah pulang bersamaku."
Isak tangisku pecah seketika. Aku anggukan kepalaku sambil memohon ampunan pada Yang Maha Kuasa. Aku telah lalai tapi Aisyahku terus menanti dengan sabar. Aku telah khilaf tapi Aisyahku terus tegar berjuang. Aku ingin kembali hidup dalam balutan cinta itu. Balutan cinta Aisyah dan balutan cinta Mu.
Aku langkahkan kaki gontai menyusuri jalan gelap nan sunyi. Baru saja, aku lihat Aisyah, istriku, sedang mengusap matanya di dapur rumah kami. Memang, sudah tiga bulan ini aku menganggur. Hutang kami menumpuk dan makanan kami diperoleh istriku dari rumah orang tuanya. Jika istriku berbesar hati pergi ke rumah orang tuanya setiap hari, mungkin kami sudah kelaparan sejak lama. Mestinya aku tidak menikahinya di saat tak ada penghasilan tetap yang bisa aku berikan. Namun, ketika itu dia menyakinkanku dengan wajah lugunya, bahwa dia tidak keberatan selama hubungan kami telah halal di mata Nya.
Hatiku juga semakin mantap meminangnya, lantaran sahabatku berkata bahwa setelah menikah rizki akan datang lebih berlimpah. Entah logika apa yang aku gunakan saat itu, sehingga aku mempercayai setiap kalimatnya. Kini, setiap aku mengadukan kehidupanku setelah menikah, dia hanya punya satu kata jawaban, yaitu sabar.
Mungkin batas sabarku sudah habis malam ini. Aku frustasi, bingung, dan ingin menghilang dari dunia ini. Aku mulai mengencangkan langkahku. Berlari. Terus berlari menghunus kesunyian malam yang semakin pekat. Lariku lebih menggila bersamaan dengan bunyi petir dan guyuran hujan. Aku terus berlari, tidak ingin berhenti dan mengabaikan napasku yang tersengal.
Dalam hujan deras, aku muntahkan perasaanku. Semuanya. Marah, kecewa, kesal, galau, bodoh, egois, sedih dan terluka. Apakah Tuhan sedang bermain padaku saat ini? Apakah Tuhan sedang menunjukan ketidaksukaannya padaku? Apakah Tuhan sedang menghukumku? Atau aku bukan lagi termasuk dalam hamba Nya yang dilimpahi kasih sayang? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Pekikku dalam hati. Dosa apa yang sudah aku perbuat Tuhan!! Rasanya sungguh tidak adil. Ini bukan tentangku, tapi tentang Aisyah.
Dari kejauhan, samar aku lihat. Di sebuah Gazebo yang tidak asing bagiku. Sosok wanita sedang berjalan mondar mandir gelisah. Aku mengenalnya. Dia adalah Aisyah. Aisyah, istriku. Apa yang sedang dia lakukan di sana? Haruskah aku pergi? Sepertinya dia belum melihat keberadaanku. Akan sangat memalukan bertemu dengannya dalam kondisiku seperti ini. Aku harus bergegas pergi.
Aku balikkan badan untuk segera pergi. Aku langkahkan lagi kaki ini kembali menyusuri jejak kakiku sebelumnya. Namun, kepalaku tak kuasa untuk tidak berpaling melihat sosoknya. Akankah aku harus pergi? Dia pasti bahagia jika aku pergi saja. Aku buang seluruh alasan untuk kembali padanya. Ini adalah yang terbaik, bisikku dalam hati.
Tiba-tiba aku terjerembab, tergelincir ke dasar comberan. Kepalaku terbentur. Kemudian, aku lihat cahaya matahari terang. Di dalamnya ada diriku yang sedang berlarian mengejar Aisyah. Oh..Aisyah tampak cantik sekali dengan gaun putih itu. Aku juga tidak kalah tampan dengan setelan jas abu-abu. Aku merasakan kehangatan menghampiri tubuhku. Diriku berhasil menangkap Aisyah. Ahh...aku menyunggingkan senyum melihat kejadian itu.
Aisyah melepaskan rengkuhan kalajengking kedua tangan diriku. Loh kenapa? Senyumku berubah menjadi rasa penasaran. Selanjutnya, Aisyah mulai berjalan dan tersenyum ke arahku. Tidak lama, Aisyah sudah berada di depanku, masih dengan senyum manisnya. Aku mulai mengkerut bertanya, apakah dia melihatku? Bukankah aku sudah mati?
Aisyah terus saja memandangiku tanpa berhenti tersenyum. Wajahnya sungguh rupawan dalam jarak dekat. Kemudian tangannya mulai merapikan rambutku yang sepertinya berantakan. Pandangannya semakin lekat di mataku. Lalu, tangannya mengusap wajahku dengan lembut. Aku sangat kenal dengan harum tangannya, tidak berubah. Tubuhnya semakin mendekat dan perlahan memelukku dalam.
Suara merdunya berbisik di telingaku, "Mas, aku ingin kamu pulang bersamaku. Cintaku tidak lengkap jika kamu terlalu terburu-buru ingin di sini. Sekarang ini Tuhan sedang berbicara dengan kita, tapi di rumah kita bukan di sini. Akhir-akhir ini aku sering menangis karena ternyata Tuhan sangat menyayangi kita. Mungkin karena shalatmu tidak pernah tertinggal, tentu saja kamu memiliki banyak waktu untuk itu. Atau Tahajudmu yang membuat basah sajadah sehingga setiap hari aku bisa mencucikannya untukmu dan kamu gunakan lagi di malam harinya. Kita tidak pernah kekurangan apapun dalam balutan cinta ini. Maka, Mas, ikutlah pulang bersamaku."
Isak tangisku pecah seketika. Aku anggukan kepalaku sambil memohon ampunan pada Yang Maha Kuasa. Aku telah lalai tapi Aisyahku terus menanti dengan sabar. Aku telah khilaf tapi Aisyahku terus tegar berjuang. Aku ingin kembali hidup dalam balutan cinta itu. Balutan cinta Aisyah dan balutan cinta Mu.
Komentar
Posting Komentar