Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2017

Adegan

Gelap. Kemudian muncul kertas bertuliskan sesuatu. Aku melihat dan sepertinya membaca tulisan tersebut. Tulisan yang begitu indah. Hatiku merasakan ketenangan setelah membacanya. Aku sama sekali tidak ingat apa isi tulisan itu. Namun, aku yakin sesuatu yang berkaitan dengan tulisan akan menjadi bagian penting dalam hidupku mulai saat ini. ----------------- Suasana ruangan terang benderang terlihat. Banyak orang di sini. Beberapa sibuk mondar-mandir bersalaman. Beberapa mengobrol santai dan ada pula yang sibuk berfoto ria. Selanjutnya pandanganku tertuju pada wanita yang aku kenal setahun terakhir ini. Wanita berkacamata dengan kulit putih, usianya lebih dari tiga tahun di atasku. Wajahnya bersahaja dan berpikiran dewasa. Meskipun baru empat bulan terakhir ini kami dekat, aku tahu dia wanita hebat dan tangguh. Aku suka berbagi pemikiranku dengannya. Bahkan di ruangan ini aku ingat kami saling berpelukan, berdoa dan berucap terima kasih serta berjanji akan menjadi dua wanita suk

Resensi Tuhan Maha Romantis

Gambar
Novel berjudul Tuhan Maha Romantis karya Azhar Nurun Ala dengan cetakan pertama di tahun 2014, menceritakan perjalanan cinta yang dimanja oleh takdir Tuhan. Bagaimana takdir Tuhan selalu bukan tentang kebetulan tetapi telah dirancang dalam kesempurnaan terindah. Kisah Rijal Rafsanjani, seorang mahasiswa baru di Universitas Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (UI-FIB), merasakan makna dipertemukan, jatuh cinta, menjaga kesucian cinta, dipisahkan, kemudian dipertemukan kembali dalam kondisi ketidakberdayaan. Konflik dituturkan melalui banyak pertikaian batin dari tokoh. Penokohan kuat. Nilai-nilai agama juga menjadi bagian penting dalam memaknai kehidupan dan cinta. Selain itu, novel ini juga membawa pembaca lebih mengenal sastra seperti keindahan menginterpretasi sebuah puisi dimana penulis dan pembaca terkadang berada di dunia berbeda yang tidak selalu beririsan. Tidak hanya itu, penulis sangat pintar memilih diksi sehingga mampu menjamu pembaca ikut hanyut dalam setiap

Lelaki Bodoh-1

Mungkin tidak lama aku bisa menatapmu lamat-lamat. Sudah saatnya aku untuk kembali. Kembali menata lagi hatiku. Kembali meneruskan impian yang pernah aku abaikan karenamu. Bisa jadi itu juga yang kamu rasakan sekarang. "Aku harus pergi," gemetar suaraku tak sanggup menahan perih dan nyeri di hati. "Tidak bisakah sedikit lagi kita berjuang bersama?" Air mata mulai meleleh, mengalir cepat di wajah halus, tetapi sedikit tersendat pada cembungan pipi gembilmu. "Tersisa sepuluh hari untuk mengurus semuanya. Kabar tidak terduga ini sudah aku impikan jauh sebelum aku mengenalmu. Bahkan telah masuk menjadi zikir dalam aliran darahku. Aku pun ingin membawamu serta. Sangat ingin. Ingin sekali. Namun, jika ego ini aku utamakan, bukankah aku akan memenjarakanmu dalam impianku? Dan bukan impianmu?" Setelah sepanjang itu, akhirnya tak kuasa aku melawan bongkahan kaca di sepasang mataku. Kamu hanya terdiam dan menunduk. Pecah tangismu semakin menjadi. Aku tahu ka

Resetting

Jika Tuhan nanti bertanya untuk apa waktu duniamu dihabiskan? Jawaban apa yang akan kita berikan? Beribadah? Atau lalai dalam kesenangan semu. Nyaris tiap dari kita suka atau bahkan sering lupa menghargai waktu dan diri sendiri. Terkadang malah tanpa sadar telah terperangkap pada mimpi orang lain. Hal yang sama menyakitkannya dengan sebuah kata pengkhianatan. Banyak orang bilang waktu adalah uang. Andai ditelisik lebih dalam, uang justru terlalu rendah untuk menggantikan waktu. Semestinya waktu ditukar dengan hidup kita. Hidup dalam berkegiatan membangun mimpi diantara cinta. Cinta pada Tuhan dan apa-apa yang diperintahkan-Nya. Jauh dari sempurna. Itu sudah pasti. Walaupun demikian bukankah tugas kita untuk mengusahakannya? Meskipun hanya berupa niat sebagai awalan. Dan angan sebagai harapan. Perjuangan tentu harga mati. Apakah mungkin surga bebas terbuka tanpa pengawalan berarti? Atau apakah pencapaian adalah suatu keberuntungan atau kebetulan? Bahkan tidak ada sehelai daun pu

Ketika Aku Memilih Ikhlas

Jatuh cinta. Mencintai. Dicintai. Suatu kewajaran dan hakikat seorang manusia. Ketika cinta datang hanya ada satu institusi sebagai jalannya. Pernikahan. Legalitas bukan hanya di dunia tetapi juga di akhirat. Keabsahan juga diperoleh di mata manusia dan Tuhan. Lantas jika cinta datang pada situasi yang tidak bermuara pada institusi yang benar, maka hanya ada dua pilihan. Mengungkapkan atau mengikhlaskan. Ingat kembali bahwa 'Apa-apa yang menurut kita, manusia, baik belum tentu baik dihadapan Tuhan'. Lalu 'Hanyalah Tuhan yang maha mengetahui segalanya dan kitalah yang sering kali gagal paham'. Tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar-benar tepat pada dua pilihan tersebut. Bahkan keduanya bisa juga dilakukan beriringan. Semua kembali pada niat yang berharap lugu pada keridhoan Tuhan. Saat aku jatuh cinta padamu. Kemudian aku memilih untuk menyimpanmu. Diam-diam memperhatikan. Secara sadar dan tidak, telah merelakan hatiku untuk tertawan. Hampir juga tida

Fokus!

Untuk kesekian kali, aku harus mengingatkan diri sendiri. Hidup ini adalah perjuangan dengan banyak cobaan. Triliunan petualang menagih untuk dicicipi. Lantas memabukan hingga hilang kemudi dari jalan utama. Kini aku sedang berada dibanyak keasikan itu. Rasa penasaran memuncak. Keinginan meneguk tiap kesempatan tak terelakan. Aku tidak tahan meliuk dan menepi sebentar dari perjalanan. Sementara mimpi masa depanku merengek untuk disegerakan. Masa depan ini mungkin bukan hanya aku pemiliknya. Di luar sana hal yang sama diimpikan oleh berjuta pejuang lain. Bahkan mereka sudah berkaca mata kuda agar terbebas dari sihir godaan yang menyejukan. Berkali-kali aku tegur diriku. Berulang kali aku pacu langkahku. Berat. Sangat berat. Aku nyaris putus asa dalam mengobarkan semangat ini. Apalagi ditambah dengan kesendirian dan ketidakmapanan. Padahal banyak orang berupaya sekuat tenaga membangun serpihan mimpi di ujung jalan utama. Aku justru asik mencoba kiri kanan lalu mengabaikan proses

Gelitik Sayap Kupu-Kupu

Sejak uluran sapu tangan itu aku terbungkam. Duniaku berwarna terutama ketika berada di sekitarmu. Ada sinyal yang selalu memerintah bibirku untuk terus tersenyum. Terkadang lintasan adegan itu terulang kembali dibenakku. Saat kamu menertawaiku yang terjatuh karena lubang yang tertutup dedaunan layu. Aku malu. Sementara kamu terpingkal-pingkal bahagia. Kakiku lebam dan nyeri. Sementara kamu justru berkata aku tidak pernah sekekanakan ini. Kamu. Kenapa kamu begitu menyebalkan? Aku pasti terlihat bodoh di matamu kala itu. Namun, kamu bilang aku sukses mencuri perhatianmu. Ah... aku sungguh amatir dalam urusan ini. Aku resah dan gelisah jika tidak melihatmu. Aku mulai sering membuka lamanmu di akun media sosial. Sekarang semua yang kamu lakukan menarik perhatianku. Kamu berbeda. Apakah sudah pernah aku katakan itu padamu? Aku tersipu setiap tatapan mata kita tak sengaja bertemu. Aku rindu pada kondisi dimana hanya ada aku dan kamu. Andai kejadian itu bisa terulang lagi atau m

Surat Dari Kami Yang Diremehkan

Apalah kami diantara mereka yang memiliki segudang pengalaman. Kami, dua perempuan, pertama kali terjun dalam hingar bingar kekotaan. Belum paham cara menarik perhatian. Apalagi dibebani tanggung jawab pelaksanaan. Satu kata. Diremehkan. Pasang mata mereka menatap remeh ke arah kami. Sikap mereka memperlakukan remeh kepada kami. Tutur mereka berkata remeh terhadap kami. Lantas kami. Paham dengan segala bentuk remeh yang ditujukan. Namun, kami tegar tidak peduli. Meski hunusan pedang tepat menghujani jantung. Kami berusaha tuli dan buta. Hanya terus bersugesti semua akan baik-baik saja dan cahaya mentari semakin dekat direngkuh. Sehingga senyum kami tetap indah merekah. Saksikan dengan tawa itu kami menjadi banyak belajar. Lihat bahwa kami semakin kuat dan tegar. Tidak ada lagi keminderan atau rasa mereka lebih baik. Mereka hanya lebih dahulu menyelam dalam hiruk pikuk kekotaan. Sementara kami bersama semangat muda akan potong kontur lebih baik dari mereka. Pasti. Jantung kami m

Riak

Masih membekas dalam ingatan. Air jernih ini berubah menjadi merah segar. Berbau anyir. Terkadang menyembul pekat gumpalan yang tak berhasil terlarutkan. Bukan hanya sekali ini terjadi. Waktu itu juga pernah. Waktu aku masih belum bisa membedakan wajah malaikat yang berhati iblis. Begitu juga wajah iblis yang berhati malaikat. Sampai sosok itu muncul. Wajahnya sungguh bersahaja. Ramah dan tatapannya tidak mengintimidasi. Dilihat dari berbagai sudut hanya ada kelembutan serta kesederhanaan. Sementara sosok satunya berbeda jauh. Garang, menakutkan, suaranya lantang saat berbicara, pendapatnya keras tanpa tapi dan jauh dari kata friendly.  Hingga kami tiba di persimpangan aliran. Aliran dengan air jernih lagi tenang. Setelah cukup lelah berjalan. Bahan makanan mulai tidak tersisa. Pakaian yang basah akibat keringat, berkali-kali kering alami. Akhirnya jubah kepalsuan kami luntur tanpa kecuali. Menyisakan nafsu hewani tak terkendali. Kami memakan apa saja. Merobek daging siapa saja

Jadikan Big Break Sebagai Bounce Back

Seperti iman, menulis pun sering kali naik turun. Ada waktu dimana jemari tak sanggup menelurkan aksara karena tak ada ide atau semacamnya. Pasti itu hanya alasan. Kondisi sebenarnya karena tidak ada motivasi dalam jiwa. Motivasi dalam jiwa. Tentu setiap apa-apa yang kita kerjakan selalu berlandaskan motivasi. Entah itu dari luar atau dalam diri sendiri. Entah itu paksaan (buatan) atau lahir secara alami. Seperti Abraham Maslow (1943-1970) mengemukakan teori motivasi seseorang dalam piramida kebutuhan. Jadi tidak akan ada reaksi jika tidak ada motivasi atau pendorong. Hal tersebut tidak terkecuali pada kegiatan menulis. Ketika hilang motivasi maka tidak akan ada menulis. Mungkin ini yang dikenal dengan Big Break (istirahat besar). Sepanjang apa big break yang dialami bergantung pada seberapa lama motivasi itu hilang. Sehari, dua hari, seminggu, sebulan atau setahun atau bertahun-tahun. Bagaimana menghentikan big break? Jawabannya sederhana. Temukan motivasi. Diawali dengan pertan

Kembali Menyala

Jika prajurit punya senjata untuk mempertahankan dan menyerang. Maka penulis punya kata-kata untuk melakukan hal yang sama. Rangkaian kata membentuk argumen. Bukan untuk menggurui atau menghakimi. Namun mencoba untuk mengurai dan memintal. Argumen juga tidak harus selalu benar tetapi mutlak harus bisa dipertanggungjawabkan. Adil, netral dan jujur mesti menjadi pegangan. Jangan pernah ada keberpihakan apalagi diperalat untuk menyukseskan satu golongan dan menjatuhkan golongan lain. Penulis tidak akan sebercanda itu terhadap kearifannya. Digawangi atau didikte oleh pihak tertentu harusnya hanya ada satu kata. LAWAN! Penulis semacam orang yang membuka jendela. Akan seperti apa dan bagaimana pemandangan di luar jendela, andil campur tangannya sungguh besar. Ini tanggung jawab berat tapi masih ada saja yang bermain dan lupa ingatan seakan tidak ada efek domino bisa tercipta. Tentu segalanya butuh pegangan dan pondasi yang kuat. Tidak terkecuali penulis. Kalimat ini mungkin

Selisih Takdir

Sebanyak apapun aku berdoa. Seberat apapun aku berharap. Jika Tuhan berkata "Tidak!" Maka tidak. Sungguh aku hanya manusia biasa yang tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Semisal takdir kita yang mungkin tidak pernah beririsan. Namun, aku, pada hal-hal yang sudah terjadi, tahu bahwa takdir kita pernah sekali beririsan. Kemudian berlanjut hanya bersinggungan. Seperti saat ini. Takdir kita masih sering bersinggungan. Di beberapa kesempatan aku tahu kita berada pada ruang yang sama, tapi kita tak pernah sekalipun berjumpa lagi. Sejak hari itu. Sejak aku ucapkan terima kasih karena sudah menjadi satu-satunya lelaki yang memberi uluran tangan. Lalu kamu hanya tersenyum tanpa kata kembalian. Hari ini, sekali lagi kita di ruang yang sama. Aku tahu dari terbitan status barumu. Foto yang kamu tampilkan sangat dekat dengan posisiku berdiri. Mestinya dalam sekejap kita bisa bertemu. Atau dalam perjalanan menuju kamar kecil. Meskipun demikian, bukan takdir kita untuk bertemu.

Idealisme Ini Milik Siapa?

Kami tidak akan gentar. Bahkan mundur semilipun kami menolak. Meski banyak belenggu yang kalian ciptakan untuk menawan kami, tak rela kami hanya diam. Kami tahu dimana keberpihakan kami harus disimpan. Bukan hanya tak berperikemanusiaan. Kekuasaan rela kalian Tuhan kan. Apa begini cara kalian mengajari kami arti kehidupan sesungguhnya? Keringat kami kalian peras. Pikiran kami kalian manipulasi. Hidup kami kalian atur. Katanya atas nama mendidik. Memberi pendidikan yang benar. Pendidikan seperti apa? Kami yang berusaha menemukan jati diri dibilang nakal dan tak tahu aturan. Kami yang berusaha memahami arti kerja keras kalian tertawai dengan uang yang tidak seberapa. Diumbar hingga pelosok negeri. Ini lebih menyakitkan dari pada hidup di pinggir sungai yang tanahnya mungkin longsor tersedimentasi. Ini mendidik seperti apa? Dengan kata kalian buat syaraf otak kami mati. Dengan membuat kami rendah sekali maka kami akan patuh seperti peliharaan. Atau dengan tipuan licik, diam-diam m

Tak Mengerti

Jika pada akhirnya aku boleh punya satu cinta lagi. Maka sejatinya cinta itu tetap bukan untukmu. Karena sakit yang kamu tumbuhkan terlampau meradang, mengeras, menghantam di ulu hatiku. Tidak. Jangan berpikir ini adalah serangan politik dan kawanannya. Ini lebih kepada kamu tidak lagi melihat secara hakiki. Kamu pikir jiwa yang lapar hanya butuh nasi? Atau jiwa yang haus hanya butuh air? Jika benar begitu. Tepatlah aku tak peduli lagi padamu. Jika benar begitu. Aku tulus, rela, membiarkanmu tak menerima satupun cinta. Aku kejam, katamu lantang. Kamu merengek tidak aku indahkan. Biar kamu sadar dan membawa kembali ingatan tentang peduli dan kasih mengasihi. Namun sayang, batu hatimu sepertinya telah kronis. Nalar akalmu sudah jauh terkubur. Padahal telah terang benderang roh kesakitan bergentayangan di pelupuk mata. Lalu aku harus apa? Hanya bisa berucap kasihan. Meskipun dengan jumawa dadamu dibusungkan. Berkata tanpa ragu bahwa aku mendidikmu agar kamu bisa hidup mandiri. S

Mahakam

Tenang. Kamu masih tenang seperti dahulu. Ketika itu, dua tahun lalu, aku duduk di tepianmu. Memandang jauh kapal dengan muatan drum-drum besar. Di sana aku perjanji akan meninggalkan kenangan pahit itu. Memulai menjelajah lagi selangkah demi selangkah. Aku sudah lupa, apakah aku berharap kembali untuk sekadar bernostalgia? Ah... tampaknya tidak. Seharusnya tidak. Mana mungkin seseorang ingin kembali pada hidupnya yang kelam. Aku pun begitu. Gelombang halus tergelar akibat hembusan angin pelan. Damai. Kamu masih sebiru itu. Ketika itu, aku ingat, caramu menenangkan tangis buncahku. Dalam diam dan semilir. Perlahan kamu hapus. Mengering dalam peredaran waktu. Aku tidak pernah paham, bagaimana kamu mengobati luka tanpa pergerakan? Ah... aku tidak pernah sadar asupan energimu seperti masuk begitu saja. Tepian ini masih seramai dulu. Ditambah dengan banyak ruang hijau semakin meneduhkan. Aku lantas berpikir. Kamu akan ditemani oleh banyak canda dan tawa. Mungkin tidak ada lagi yang

Mata Biru

Hujan belum reda mengguyur kota. Becek. Bahkan nyaris membanjiri beberapa ruas jalan. Meski demikian kota tidak mati. Jalan-jalan tetap ramai pengendara mengenakan jas hujan warna-warni. Tidak terkecuali Neni, wanita paruh baya, sudah sibuk mengenakan jas hujan berwarna hijau stabilo. Motor dan helm sudah siap di halaman rumah. "Hati-hati di perjalanan Nen!" Kata Ibu Neni. Ibu Neni sudah terbilang tua tapi ketangguhannya belum memudar. Segera Neni mengendarai motor ditemani guyuran hujan. Mulut Neni banyak bergerak. Komat-kamit melantunkan banyak shalawat. Ternyata Neni tidak lupa menerapkan untuk banyak berdoa ketika hujan. Atau karena hal lain yang direncanakan hari ini? "Saya berhenti Pak. Mohon maaf jika banyak kekurangan saya selama bekerja di sini. Dan terima kasih atas bimbingan dari Bapak," ujar Neni sambil menyodorkan amplop coklat seukuran kertas polio. "Kenapa Neni? Kerja kamu sangat memuaskan. Janganlah pergi! Apa kurang gaji yang kau teri

Pesawat Kertas Biru

Apakah dunia ini sudah terlalu kejam? Hingga kalian bunuh dan lenyapkan sesuatu yang sepakat disebut dengan hati. Apakah hati itu melemahkan? Hingga kalian buang jauh-jauh rasa yang sepakat disebut dengan perikemanusian. Dengan begitu dikira segalanya bisa dikuasai. Pemikiran salah diputar balik menjadi lumrah dan biasa saja. Sok paling mengerti. Padahal tidak semilipun kalian pahami. Lalu mudah saja berucap langit dan bumi. Lalim. Lupakah kalian pada pemilik sejati? Bahwa ada zat yang tidak tertandingi. Sumpah serapah sudah menjadi obrolan kalian sekarang. Arogansi menjadi kebiasaan. Gaya perlente dipasarkan. Apalagi yang tersisa dari kalian kecuali kemunafikan. Tinggal tunggulah kekacauan lain. Seperti sinetron kekinian saja yang episodenya bertambah ketika meningkat peminat. Tinggal nikmatilah kepicikan buah otak haus kekuasaan. Seperti bertameng dalam kata-kata 'mendingan mana'. Selamat menikmati, Dari Manusia Setengah Dewa Aku lipat kembali surat biru itu mem