Pengecut Malam
Malam itu sunyi sekali, aku bahkan hampir tidak mendengar satu pun suara nyamuk. Biasanya setiap malam suara dari segala penjuru saling bersahutan. Namun, malam itu tampak berbeda. Rasanya asing dan aneh. Aku terbangun dari tidur nyenyakku. Melihat jam dinding dan merasa gelisah pada sesuatu. Sesuatu yang membuatku terjaga malam itu.
Ini tentang mimpi. Mimpi yang aku tidak ingin hanya menjadi sebuah mimpi. Makanya aku terjaga dan bergegas menuliskan kembali untaian mimpi itu sebagai doa dan rencana. Tentu saja harus dilaksanakan. Aku menulisnya. Meskipun tidak semua terekam jelas dalam kesadaranku. Sejauh yang aku ingat itu adalah mimpi yang indah. Sangat indah.
Saat itu, semangat sekali aku menulisnya. Sampai pada satu periode tertentu aku terhenti. Ini adalah bagian memilih untuk pergi dan tidak. Bingung. Sekejap aku tidak ingin meneruskannya. Jika tiba pada waktu itu apa yang harus aku pilih? Aku takut. Pilihan yang sulit. Akankah aku berani mengorbankannya? Aku tidak yakin. Aku terlalu takut untuk menukarnya dengan keinginan egoisku. Benarkah ini?
Pikiranku melayang jauh....
Inilah alasannya aku tidak terlalu suka mendaki dan mencapai puncak. Aku sadar saat mendaki, aku tidak bisa mengajak mereka, karena untuk membawa diri sendiri saja aku sudah kelelahan. Tidakkah aku sangat pengecut? Selain itu, saat aku mencapai puncak, aku harus melihat banyak orang terkasihku berada di bawah sana. Sangat jauh. Siapkah aku untuk itu semua? Aku lemah sekali bukan?
Namun ini kenyataan. Mentalku mungkin bukan untuk ini atau mungkin motivasiku yang kurang kuat.
Apakah harus menghapus mimpiku itu? Aku pun tidak mau jika mimpi itu benar hanyalah sebuah mimpi. Aku tidak mau. Aku ingin mimpi itu jadi nyata. Mimpi yang akan aku usahakan dengan serius. Aku berusaha di dalamnya meskipun harus terus lebih keras dan lebih keras lagi berusaha.
Iya. Aku sadar bahwa aku tidak akan mampu untuk meninggalkan, mengkhianati, atau menyakiti. Biarlah aku yang merasakan akibat dari perbuatan itu semua. Tapi, kali ini dan untuk mimpiku ini, bolehkah aku bersikap egois?
Tuhan..bimbinglah aku. Hanya Engkau yang tau perkara yang terbaik untukku.
Ikhlaskan hatiku untuk segala takdir yang telah Engkau tetapkan untukku.
Besarkan dan kuatkan hatiku sebelum ketetapan Mu terjadi, agar aku tidak hilang kendali.
Lalu malam itu, dengan cepat berlalu. Malam aneh itu juga akhirnya berlalu dan mulai terlupakan.
Lalu tulisan itu... Tulisan mimpiku itu, akan terus terabadikan meski tak selesai aku tuliskan.
Rencana Mu yang sempurna. Kita tidak perlu takut terhadap apapun. Bermimpilah setinggi mungkin. Berdoalah sebanyak mungkin. Memohon ampunlah semaksimal mungkin. Karena kita tidak akan pernah tau bagaimana cara Tuhan memeluk mimpi kita, memilih doa kita atau mengusap lembut hati kita dengan cinta Nya.
Ini tentang mimpi. Mimpi yang aku tidak ingin hanya menjadi sebuah mimpi. Makanya aku terjaga dan bergegas menuliskan kembali untaian mimpi itu sebagai doa dan rencana. Tentu saja harus dilaksanakan. Aku menulisnya. Meskipun tidak semua terekam jelas dalam kesadaranku. Sejauh yang aku ingat itu adalah mimpi yang indah. Sangat indah.
Saat itu, semangat sekali aku menulisnya. Sampai pada satu periode tertentu aku terhenti. Ini adalah bagian memilih untuk pergi dan tidak. Bingung. Sekejap aku tidak ingin meneruskannya. Jika tiba pada waktu itu apa yang harus aku pilih? Aku takut. Pilihan yang sulit. Akankah aku berani mengorbankannya? Aku tidak yakin. Aku terlalu takut untuk menukarnya dengan keinginan egoisku. Benarkah ini?
Pikiranku melayang jauh....
Inilah alasannya aku tidak terlalu suka mendaki dan mencapai puncak. Aku sadar saat mendaki, aku tidak bisa mengajak mereka, karena untuk membawa diri sendiri saja aku sudah kelelahan. Tidakkah aku sangat pengecut? Selain itu, saat aku mencapai puncak, aku harus melihat banyak orang terkasihku berada di bawah sana. Sangat jauh. Siapkah aku untuk itu semua? Aku lemah sekali bukan?
Namun ini kenyataan. Mentalku mungkin bukan untuk ini atau mungkin motivasiku yang kurang kuat.
Apakah harus menghapus mimpiku itu? Aku pun tidak mau jika mimpi itu benar hanyalah sebuah mimpi. Aku tidak mau. Aku ingin mimpi itu jadi nyata. Mimpi yang akan aku usahakan dengan serius. Aku berusaha di dalamnya meskipun harus terus lebih keras dan lebih keras lagi berusaha.
Iya. Aku sadar bahwa aku tidak akan mampu untuk meninggalkan, mengkhianati, atau menyakiti. Biarlah aku yang merasakan akibat dari perbuatan itu semua. Tapi, kali ini dan untuk mimpiku ini, bolehkah aku bersikap egois?
Tuhan..bimbinglah aku. Hanya Engkau yang tau perkara yang terbaik untukku.
Ikhlaskan hatiku untuk segala takdir yang telah Engkau tetapkan untukku.
Besarkan dan kuatkan hatiku sebelum ketetapan Mu terjadi, agar aku tidak hilang kendali.
Lalu malam itu, dengan cepat berlalu. Malam aneh itu juga akhirnya berlalu dan mulai terlupakan.
Lalu tulisan itu... Tulisan mimpiku itu, akan terus terabadikan meski tak selesai aku tuliskan.
Rencana Mu yang sempurna. Kita tidak perlu takut terhadap apapun. Bermimpilah setinggi mungkin. Berdoalah sebanyak mungkin. Memohon ampunlah semaksimal mungkin. Karena kita tidak akan pernah tau bagaimana cara Tuhan memeluk mimpi kita, memilih doa kita atau mengusap lembut hati kita dengan cinta Nya.
Komentar
Posting Komentar