Fiksi-1

    Malam ini, kembali dia memandangi langit gelap tanpa cahaya bulan dan bintang. Gadis itu tampak muram dan kesepian. Matanya perlahan meneteskan air mata. "Aku pasti sanggup melewati semua ini," gumamnya. Beberapa menit kemudian dia menyeka air mata dan ingus yang mulai mengalir masuk ke mulutnya. Perlahan dia sunggingkan senyum tipis yang masih agak berat dan kaku. Namun senyum itu semakin menguat menjadi senyum yang cantik.
    "Lian!" terdengar suara wanita paruh baya dari bawah tangga rumahnya. Sontak gadis itu tergesa-gesa merapikan  dandanannya dan langsung turun menemui wanita tersebut. "Sudah Ibu katakan bahwa kamu tidak perlu lagi menangisi kepergiannya. Lelaki seperti dia banyak akan kamu temui nanti. Jangan lagi mengharapkannya. Dia juga tidak pernah memikirkanmu dan malah pergi bersama wanita lain," suara wanita paruh baya tersebut terdengar bijak dan lembut.
    Tanpa berkata Lian kembali naik ke kamarnya dan menghamburkan dirinya di kasur biru empuk yang dibelikan sang ayah. Lian memandang kosong kamarnya. Semua pikirannya menjadi nostalgia ketika dia mengingat lagi kejadian tepat setahun yang lalu.
    "Kenapa aku jadi penasaran sekali sama kamu, Li? Kamu itu beda dari cewek-cewek yang pernah aku kenal. Kamu itu kaku seperti baju baru. Apakah kamu belum pernah pacaran? Atau kamu punya masa lalu yang sedih yang bikin kamu trauma sama cowok? Atau.....Atau...." lelaki berkacamata itu terus saja melayangkan kalimat-kalimat tanpa henti sambil mengimbangi langkah Lian yang mulai berlari kecil di lapangan sekolahnya. Saat itu mereka kelas XII semester genap. Lian dan lelaki berkacamata itu sudah saling mengenal sejak kelas X. Meskipun tidak pernah berkenalan secara langsung karena mereka tidak pernah berada di kelas atau ekstrakulikuler yang sama.
    "Bawel banget sih! Kamu tidak ada kerjaan menanyakan pertanyaan yang sama beberapa hari terakhir ini? Kita bahkan bukan teman," hardik Lian.
    "Tapikan kita satu sekolah, satu angkatan. Walaupun tidak kenal juga teman geng kamu itu si Endut adalah teman baikku di kelas dan satu ekstrakuikuler. Wajar kalau kita juga berteman. Lagi pula kamu tahu nama aku, Dimas, di kelas XII A-1, kelas kita juga sebelahan. Apa maksudnya kenal itu kamu mau lebih kenal aku secara personal? Aku setuju sekali dengan itu," tersenyum bahagia.
    Lian masuk ke kelasnya dengan kesal dan lapar karena waktu istirahatnya sudah dikacaukan oleh Dimas. Teman sebangku Lian hanya melihatnya dengan prihatin. Dua jam pelajaran terasa sangat singkat bagi Lian. Lian memang menyukai belajar, selain membaca dan menulis, Lian juga menggemari kegiatan berkebun. Sepulang sekolah Lian tidak pernah nongkrong di sekolah seperti teman-temannya. Bahkan lima teman satu geng Lian tidak pernah berhasil membuatnya tinggal di sekolah lebih lama kecuali saat ada kegiatan ekstrakulikuler.
    Namun, hari itu berbeda. Hujan lebat turun tanpa diundang. Lingkungan sekolah Lian adalah lokasi penyerapan air sebelum akhirnya beralih fungsi menjadi pemukiman dan sekolah. Wajar saja hujan lebat itu dalam sekejap mampu menutupi tanah dengan genangan air yang cukup tinggi, banjir. Seluruh siswa terjebak oleh hujan dan banjir. Setelah hujan berhenti banyak dari mereka harus mendorong sepeda motornya karena mogok dan beberapa pulang dengan santai karena tidak membawa sepeda motor. Bagaimana dengan Lian?
    Nasib sepeda motor Lian juga sama seperti siswa lainnya. Lian dengan sigap mendorong sepeda motornya perlahan. Lian sangat mandiri. Selama dia bisa melakukannya sendiri, Lian tidak pernah meminta bantuan kepada orang lain. Bahkan kepada sahabat-sahabatnya. Tetapi hari itu nasib agaknya membuat Lian harus merendahkan diri meminta bantuan orang lain.
    Saat itu Lian bersama Endut sedang mendorong sepeda motor masing-masing sambil beriringan. Karena mereka hampir menghabiskan setengah dari jalan raya, tanpa sengaja Endut terserempet mobil yang lewat dan harus dilarikan ke rumah sakit. Beberapa teman yang ada di sekitar mereka membantu melarikannya ke rumah sakit terdekat. Setelah ditelepon sahabat-sahabat Lian dan Dimas datang segera ke rumah sakit. Kondisi Endut tidak parah hanya beberapa luka disekitar tangannya dan sesaat kemudian Endut langsung diantarkan pulang oleh Dimas.
    Lian masih saja tidak ingin meminta bantuan sahabat-sahabatnya, sehingga Lian tinggal sendiri mendorong sepeda motornya menuju bengkel terdekat. Tiba-tiba terdengar suara motor dari arah belakang.
    "Masih kuat dorong? Sampai kapan? Kenapa kamu tidak minta tolong? Sombong! Ini sudah malam loh, kalau kamu tidak meminta bantuan dari aku, aku langsung pulang ya. Hati-hati di jalan! Kalau ada suara-suara, itu berarti preman atau haaannnttt......."
    "Dim, tolong bantuin bawain motor ini ke bengkel dong. Capek nih! Sudah malam juga," jawab Lian cepat sebelum Dimas menyelesaikan kalimatnya.
    "Siaap bos! Kamu naikin saja motornya. Biar aku dorong pakai kakiku. Bisakan?" sahut Dimas gembira.
    Akhirnya mereka sampai di bengkel terdekat. Menunggu. Tanpa saling berbicara dan melihat. Duduk berjauhan. Kemudian Dimas menggelengkan kepalanya dan duduk di sebelah Lian.
   "Laper gak? Makan yuk! Busi motornya basah, masih sejam lagi baru bener. Belum lagi antreannya masih dua motor lagi. Sudah jam tujuh saatnya makan malam. Yuk ah!" mengambil tangan Lian dan membawanya ke warung nasi depan bengkel.
   "Makan di tempat kayak gini bisakan Li?" setelah melihat orang-orang di warung nasi tersebut, Dimas langsung membawa Lian pergi. "Pindah tempat aja ya Li, banyak yang ngerokok, bikin pusing," tanpa memandang Lian, Dimas terus menarik tangan Lian pergi ke gerobak nasi goreng. Aneh. Pikir Lian dalam hati. Ketika duduk di gerobak nasi goreng, dengan tiba-tiba Lian merasakan perutnya kram dan mengaduh kesakitan sambil memegangi perutnya.
   "Aduuh....sa...kit..." tanpa sadar Lian terjatuh dan pingsan.
    Saat bangun Lian sudah berada di kamar rumah sakit tempat Endut tadi dirawat. Lian hanya melihat Dimas tertidur disebelah tempat tidurnya. Kemudian Ibu Lian menghampiri Lian sambil mendekatkan jari telunjuknya di dekat bibir agar Lian tidak membangunkan Dimas. Ibu Lian mengambilkan air mineral untuk Lian dan mengatakan bahwa Lian terkena maag karena terlambat makan dan akan bermalam di rumah sakit. Setelah memakan beberapa potong roti dan meminum obat, Lian kembali tertidur sambil memandangi wajah Dimas yang tampak lelah.
    Pagi harinya, Lian sayup-sayup terjaga dan mendengar suara Dimas.
   "......jangan bikin aku khawatir lagi ya. Kamu itu wanita kuat, jangan pingsan cuma karena lupa makan. Kamu itu wanita kuat, jangan kalah sama cowok kayak aku. Kamu itu wanita kuat, jangan pernah lemah di depan siapapun kecuali aku dan orang tua kamu. Lian, entah sejak kapan aku mulai merhatiin kamu. Mulai sayang sama kamu. Tapi kamu selalu bisa baik-baik saja tanpa kehadiran aku karena itu aku selalu merasa bukan laki-laki dihadapan kamu," menghela nafas panjang dan mengusap kening Lian yang masih terpejam. Kemudian kecupan lembut di kening Lian membuatnya spontan bergerak dan membuka matanya.
    Dimas tersentak duduk kembali dengan tegang. Mencoba membuat ekspresi wajahnya seakan tidak terjadi apa-apa. Lian merasakan banyak aliran darah naik ke wajahnya, malu. Lian juga mencoba membuat ekspresi wajahnya seakan tidak terjadi apa-apa. Namun, Lian adalah gadis yang polos. Tidak mampu menyembunyikan semu merah di wajahnya, Lian dengan spontan berkata "Iih....kamu ngapain sih disini? Sana-sana! Ibu mana?"
    Dimas menutup wajah dengan kedua telapak tangannya dan berkata dengan malu, "Sejak kapan kamu denger omongan aku? Aku pikir kamu masih tidur. Aku malu sama kamu. Aku mau pulang saja". Bergegas berdiri dan berjalan mengambil tas sambil terus menutupi wajahnya. Setelah Dimas melewati tempat tidur Lian, Lian berkata "Kayak baru pertama kali saja malu segala. Aku bukan yang pertamakan buat kamu? Huff..."
    "Kamu yang pertama buat aku, Li!" sontak berbalik dan mendekati Lian. Wajah Dimas saat itu seperti anak kecil yang membela diri karena dituduh menangisi temannya.
    "Hahaha..." Lian hanya tertawa. Pagi itu adalah tawa bahagia pertama Lian bersama Dimas. Tawa pagi itu juga adalah tawa paling menyakitkan bagi Lian di tahun berikutnya.

Bersambung...
   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

EOA GOLD, Investasi Emas Dunia Akhirat

Mengenal Sereal Umbi Garut, Manfaat, dan Cara Mengonsumsi

Unlogic Birth dalam Al Quran