Light Upon Light
https://noorculturalcentre.ca/ |
Hatiku remuk redam saat itu. Aku hanya ingin pergi jauh. Ke tempat yang tinggi. Tempat aku bisa dipeluk Tuhan lebih dekat.
"Aku ingin berdoa lebih dekat. Biar Tuhan dengar semua doaku," pikirku saat itu.
Aku kemasi barang-barang. Beberapa hari menghilang dari kantor sepertinya bukan masalah. Lagi pula aku sudah bekerja cukup keras beberapa minggu terakhir. Beberapa hari meminta izin berlibur dari rumah juga harusnya tidak jadi masalah. Aku sudah lama tidak berlibur.
Beruntung aku tidak benar-benar sendiri. Ada teman terbaikku saat itu. Aku yakin bahwa keberadaannya juga atas kiriman dari Tuhan yang tidak ingin aku sendiri.
Saat itu, untuk pertama kalinya aku mendaki gunung dengan tas carrier besar. Hah, bodoh! Sudah lama tidak mendaki aku jadi bodoh dengan membawa banyak baju ganti. Untuk apa? Hanya membuat berat bawaanku.
Namun, aku tetap berkeras untuk membawa tasku sendiri. "Aku bisa!" pekikku.
Sekali lagi, beruntungnya aku memiliki teman sepertinya. Dia mengerti bahwa aku adalah seorang wanita mandiri dan tidak suka dimanja. Aku pasti akan meminta bantuan ketika aku sudah tidak bisa melakukannya sendiri. Untuk perihal satu ini, dia memang paling mengerti.
Pendakian kami cukup sulit tapi menyenangkan. Ditemani oleh hujan aku menangis dalam diam. Aku berharap dengan hujan ini juga meluruhkan semua pedih hatiku. Aku kecewa karena terlalu berharap pada manusia. Aku terluka karena membiarkan diriku bermain dengan api. Dan, aku lelah dengan pendakian dan beban berat tasku.
"Tuhan... aku tidak ingin berhenti di sini. Tidak. Aku ingin sampai puncak. Aku ingin lebih dekat denganMu. Aku ingin memandang kebesaranMu lalu mengemis ringkih di hadapanMu."
"Butuh bantuan?" tanya temanku.
"Aku bisa," kataku sambil berlalu.
Entahlah, apa dia mempunyai kekuatan untuk membedakan air mataku dengan tetesan air hujan dan membedakan rintihanku dengan gemuruh angin yang membawa air hujan. Aku tidak peduli.
Percayalah aku tidak peduli. Aku hanya ingin segera sampai di puncak. Melepas semua hal yang menyiksa hati.
Perlahan tapi pasti. Aku tertatih mendaki. Aku melihatnya menungguku di batu besar di atasku. Aku melihat isyaratnya apakah aku membutuhkan bantuan. Aku lagi-lagi menggeleng. Aku ingin tahu kekuatanku sendiri. Aku yakin mampu melewati semua ini.
Ya, benar saja. Akhirnya puncak adalah hadiah terindah dari pendakian. Bukan hanya suguhan panoramanya yang indah tapi juga rasa dari sebuah pencapaian. Aku peluk diriku sendiri. Aku bisikan bahwa aku bangga pada diriku, kita bisa melewati ini.
Dengan seluruh tenaga yang tersisa, kami mendirikan tenda untuk bermalam. Suhu udara semakin dingin. Aku menggigil tapi tidak akan berhenti. Aku lihat senyumnya menyemangati.
Malam datang. Aku sengaja keluar dari tenda dengan alasan ingin buang air kecil. Padahal aku hanya ingin sendiri. Menatap langit penuh bintang.
Hujan tadi sepertinya sukses membuat malam sangat cerah. Tidak ada selimut awan karena sudah dimuntahkan semua isi airnya. Seperti planetarium. Tidak ada penghalang antara aku dan langit malam.
"Inikah keindahan yang Engkau maksudkan, Tuhan? Aku terpesona. Sungguh."
"Aku juga."
Sejak kapan dia datang dan sudah duduk manis di sampingku.
"Bintang jatuh!" serunya sambil menunjuk langit.
"Waaah... pertama kalinya aku melihat ini. Cantik! Aku mau ke sini lagi suatu saat nanti."
"Light upon light. Kamu akan mendapatkan banyak cahaya lagi dan lagi ketika kamu berani mengambil cahaya pertamamu."
"Maksudnya?"
"Light upon light. Kejar cahaya pertamamu dan lihat cahaya lain akan datang lagi dan lagi."
"Aku nggak ngerti."
Hanya suara tawanya yang renyah terdengar. Aku tidak mengerti maksud dari perkataanya saat itu. Light upon light. Apa artinya?
***
Untuk teman terbaikku saat itu. Terima kasih menemaniku yang sedang rapuh. Tentu terima kasih Tuhan membawanya untuk menemaniku. Kini, aku sepertinya mendapatkan cahaya itu. Entahlah aku tidak mau terlalu banyak mengambil kesimpulan. CahayaMu-kah ini? Semoga saja. Light upon light. Aku rindu bintang jatuh malam itu di Gunung Prau.
Komentar
Posting Komentar