Pahlawan Keluargaku
Jika Ibu memberikan kecerdasan untukku maka Ayah pastilah yang menurunkan akhlak ini. Teladan baik darinya. Tentang bagaimana menjadi wanita yang sederhana, bersahaja dan ramah tetapi tidak murahan. Tentang bagaimana menjaga kehormatan keluarga ketika berada di luar rumah dan di lingkungan masyarakat. Dan, tentang bagaimana meletakan dunia dalam genggaman tangan bukan di dalam hati.
Iya. Ayahku adalah pahlawanku. Pahlawan keluargaku. Mungkin hanya kata-kata itu yang terpatri dalam dadaku kini. Aah... aku bisa apa jika ternyata sosok yang aku kagumi ini ternyata seorang pengkhianat besar.
"Ayah akan segera kembali. Janji!" Pesannya malam itu.
Tepat ketika genap delapan tahun sosoknya kembali dengan tubuh yang kaku.
"Ayaah.. sosokmu memang kembali tetapi Ayah tidak berjanji untuk kembali dalam keadaan mati," rengekku di samping tubuhnya.
Setelah delapan tahun aku menanti. Setiap waktu tidak henti banyak doa kupanjatkan untuk keselamatannya. Aku sungguh berharap Ayah kembali dengan selamat. Bahkan aku tidak peduli jika negara ini kiamat asalkan rumah besar ini dinaungi cahaya dan gelak tawanya.
Setelah delapan tahun rumah besar ini sepi hanya ada aku dan Ibu. Baiklah dengan hampir sepuluh ajudan yang berjaga mengelilingi rumah setiap saat. Tapi untuk apa semua ini? Aku hanya ingin Ayahku! Persetan dengan inflasi. Persetan dengan seluruh koruptor. Persetan juga dengan rakyat miskin yang tidak mau bekerja keras dan hanya senang meminta belas kasihan.
Bagaimana denganku? Apa kalian tidak memikirkan keberadaanku yang membutuhkan sosok ayah? Jika aku boleh meminta pada Tuhan maka aku ingin ayahku hanya menjadi pahlawan keluargaku. Bukan pahlawan bagi semua orang.
"Ingat pesan Ayahmu. Jangan menangis. Jangan merengek. Jangan membuat sulit keadaan," suara Ibu yang lembut berbisik di telingaku.
"Tapi Bu..."
"Ssstttt...." sergah Ibu ketika segerombolan laki-laki berseragam militer datang.
Ibu mengusap kepalaku dan segera pergi menemui mereka. Aku tahu keluarga kami spesial. Setidaknya Ayah selalu berkata seperti itu. Untuk itulah aku harus selalu bersyukur dan memberikan manfaat bagi orang banyak.
Andai Ayah ada dihadapanku sekarang. Rasanya aku ingin protes dan meminta agar keluarga kami biasa saja. Aku hanya ingin Ayahku. Apalagi aku baru berusia 16 tahun sekarang. Apa ini adil bagiku?
Obrolan Ibu dengan segerombolan laki-laki itu terlihat sangat serius. Beberapa kali mereka tampak berbicara bergantian lalu disambut dengan anggukan yang lain. Firasatku berkata ada yang aneh.
[Bersambung...]
Iya. Ayahku adalah pahlawanku. Pahlawan keluargaku. Mungkin hanya kata-kata itu yang terpatri dalam dadaku kini. Aah... aku bisa apa jika ternyata sosok yang aku kagumi ini ternyata seorang pengkhianat besar.
"Ayah akan segera kembali. Janji!" Pesannya malam itu.
Tepat ketika genap delapan tahun sosoknya kembali dengan tubuh yang kaku.
"Ayaah.. sosokmu memang kembali tetapi Ayah tidak berjanji untuk kembali dalam keadaan mati," rengekku di samping tubuhnya.
Setelah delapan tahun aku menanti. Setiap waktu tidak henti banyak doa kupanjatkan untuk keselamatannya. Aku sungguh berharap Ayah kembali dengan selamat. Bahkan aku tidak peduli jika negara ini kiamat asalkan rumah besar ini dinaungi cahaya dan gelak tawanya.
Setelah delapan tahun rumah besar ini sepi hanya ada aku dan Ibu. Baiklah dengan hampir sepuluh ajudan yang berjaga mengelilingi rumah setiap saat. Tapi untuk apa semua ini? Aku hanya ingin Ayahku! Persetan dengan inflasi. Persetan dengan seluruh koruptor. Persetan juga dengan rakyat miskin yang tidak mau bekerja keras dan hanya senang meminta belas kasihan.
Bagaimana denganku? Apa kalian tidak memikirkan keberadaanku yang membutuhkan sosok ayah? Jika aku boleh meminta pada Tuhan maka aku ingin ayahku hanya menjadi pahlawan keluargaku. Bukan pahlawan bagi semua orang.
"Ingat pesan Ayahmu. Jangan menangis. Jangan merengek. Jangan membuat sulit keadaan," suara Ibu yang lembut berbisik di telingaku.
"Tapi Bu..."
"Ssstttt...." sergah Ibu ketika segerombolan laki-laki berseragam militer datang.
Ibu mengusap kepalaku dan segera pergi menemui mereka. Aku tahu keluarga kami spesial. Setidaknya Ayah selalu berkata seperti itu. Untuk itulah aku harus selalu bersyukur dan memberikan manfaat bagi orang banyak.
Andai Ayah ada dihadapanku sekarang. Rasanya aku ingin protes dan meminta agar keluarga kami biasa saja. Aku hanya ingin Ayahku. Apalagi aku baru berusia 16 tahun sekarang. Apa ini adil bagiku?
Obrolan Ibu dengan segerombolan laki-laki itu terlihat sangat serius. Beberapa kali mereka tampak berbicara bergantian lalu disambut dengan anggukan yang lain. Firasatku berkata ada yang aneh.
[Bersambung...]
Komentar
Posting Komentar