Aku Kembali
Sebuah bola melayang mengenai kepalaku. Aku terjaga. Mengusap bagian kepala yang terbentur. Seorang wanita muda bermata coklat besar menghampiriku.
"Maafkan keponakan saya ya, Mas!" katanya sambil menarik bocah lelaki berusia lima tahun yang sedang memungut bola.
"Ah... iya bukan masalah besar," jawabku sungkan.
Sebenarnya aku ingin marah tapi mata coklat besarnya seperti menghipnotisku. Membuatku teringat pada kekasihku di kampung. Siti Aminah.
Gadis polos itu selalu menungguku dengan setia. Padahal di kota aku sering main dengan wanita. Begitulah lelaki, bermain dengan wanita nakal untuk memuaskan nafsu dan hanya ingin kembali pulang pada wanita polos baik yang membuatnya tentram.
Jangan merasa ini kejam dan tidak adil. Salah siapa kalian, para wanita, tidak bisa nakal dan polos dalam waktu bersamaan. Minimal kalian tahu kapan adrenalin kami, para pria, sedang terpacu. Seperti saat ini.
"Hmm, hai boleh kenalan?" Aku sudah bangkit dan mendahului langkahnya di lorong gerbong kereta yang sempit.
"Maaf, permisi!" Katamu sambil mendekap kedua tangan dan mengabaikan uluran jabatan tanganku.
Gadis muda itu berlalu. Tangannya menggandeng bocah lelaki kecil yang menoleh ejek ke arahku. Aku tidak bisa berhenti. Aku ikuti kemana arah duduknya. Rupanya masih di gerbong yang sama denganku. Selisih beberapa bangku di sisi lain barisan depan bangkuku.
Tepat ketika mereka beranjak duduk, aku sampai di tempat duduknya. Dan, melihat perihal yang membuat perutku mual seketika. Sosok yang sangat aku kenal. Wanita polos bermata coklat besar. Kekasih setia yang sudah hampir sepuluh tahun aku kunjungi setiap pulang ke kampung halaman.
Dia yang selalu menjadi tempatku kembali. Menukar segala janji dunia dengan kata cukup. Ternyata duduk dalam dekapan seorang lelaki. Bocah lelaki tadi juga sangat mesra duduk di pangkuannya.
"Mah...lapaar...," kata si bocah setengah merengek.
Sadar akan keberadaanku, mata coklat besarnya membelalak. Dia terlihat gugup dan salah tingkah. Perutku semakin mual ketika melihat lelaki yang mendekapnya adalah lelaki tua beruban penuh nafsu.
"Wanita polos Siti Aminah telah mati. Aku tidak akan pernah kembali," gumamku sambil berlalu pergi kembali duduk di bangkuku. Kereta masih terus berjalan. Menempuh puluhan kilometer untuk sampai di tujuan.
Aah... aku hanya ingin kembali ke kota lagi.
"Maafkan keponakan saya ya, Mas!" katanya sambil menarik bocah lelaki berusia lima tahun yang sedang memungut bola.
"Ah... iya bukan masalah besar," jawabku sungkan.
Sebenarnya aku ingin marah tapi mata coklat besarnya seperti menghipnotisku. Membuatku teringat pada kekasihku di kampung. Siti Aminah.
Gadis polos itu selalu menungguku dengan setia. Padahal di kota aku sering main dengan wanita. Begitulah lelaki, bermain dengan wanita nakal untuk memuaskan nafsu dan hanya ingin kembali pulang pada wanita polos baik yang membuatnya tentram.
Jangan merasa ini kejam dan tidak adil. Salah siapa kalian, para wanita, tidak bisa nakal dan polos dalam waktu bersamaan. Minimal kalian tahu kapan adrenalin kami, para pria, sedang terpacu. Seperti saat ini.
"Hmm, hai boleh kenalan?" Aku sudah bangkit dan mendahului langkahnya di lorong gerbong kereta yang sempit.
"Maaf, permisi!" Katamu sambil mendekap kedua tangan dan mengabaikan uluran jabatan tanganku.
Gadis muda itu berlalu. Tangannya menggandeng bocah lelaki kecil yang menoleh ejek ke arahku. Aku tidak bisa berhenti. Aku ikuti kemana arah duduknya. Rupanya masih di gerbong yang sama denganku. Selisih beberapa bangku di sisi lain barisan depan bangkuku.
Tepat ketika mereka beranjak duduk, aku sampai di tempat duduknya. Dan, melihat perihal yang membuat perutku mual seketika. Sosok yang sangat aku kenal. Wanita polos bermata coklat besar. Kekasih setia yang sudah hampir sepuluh tahun aku kunjungi setiap pulang ke kampung halaman.
Dia yang selalu menjadi tempatku kembali. Menukar segala janji dunia dengan kata cukup. Ternyata duduk dalam dekapan seorang lelaki. Bocah lelaki tadi juga sangat mesra duduk di pangkuannya.
"Mah...lapaar...," kata si bocah setengah merengek.
Sadar akan keberadaanku, mata coklat besarnya membelalak. Dia terlihat gugup dan salah tingkah. Perutku semakin mual ketika melihat lelaki yang mendekapnya adalah lelaki tua beruban penuh nafsu.
"Wanita polos Siti Aminah telah mati. Aku tidak akan pernah kembali," gumamku sambil berlalu pergi kembali duduk di bangkuku. Kereta masih terus berjalan. Menempuh puluhan kilometer untuk sampai di tujuan.
Aah... aku hanya ingin kembali ke kota lagi.
Komentar
Posting Komentar