Lentera Hitam

Malam ini tidak akan gelap. Setiap rumah telah memasang banyak lentera merah di pintu pagarnya. Rumahku juga sudah memasang tiga buah lentera merah cantik.

"Nay, makanannya sudah siap. Ayo makan!" Suara Ibu memanggilku dengan nyaring.

"Iyaaa..." jawabku sambil berlari menuju dapur.

Rumahku yang sederhana telah dipenuhi aroma masakan ibu. Ibuku memang jagoan memasak. Masakannya selalu membuatku tak ingin berhenti sebelum benar-benar kenyang.

"Ini. Ayo makan!"

Aku duduk tepat di posisi makananku diletakan. Ibu duduk tepat dihadapanku. Iya, hanya ada kami berdua namun kami bahagia. Meskipun tetap saja rasanya tak lengkap. Sementara Ayah hanya sesekali makan bersama kami lantaran kesibukannya di kantor.

"Ayah, gak pulang lagi Bu?"

Aku tahu pertanyaan ini merusak suasana. Bodoh. Riak wajah Ibu seketika lusuh. Lalu aku hanya bisa mengutuk diri ketika hening menjadi raja di makan malam kami.

Ayah memang jarang pulang. Sesekali pulangpun tak lama. Seperti pulang yang tak mengobati rindu tapi aku tetap bersyukur setidaknya Ayah masih mengingat kami.

Duuaaaarrr!!!

Suara pintu didobrak. Aku dan Ibu terkejut hingga memuncratkan makanan dari mulut kami. Sejurus Ibu berlari melihat apa yang terjadi. Akupun menyusulnya segera.

"Ayaah!" Jerit Ibu berikutnya

Aku membeku ketika melihat Ayah tersungkur di lantai. Wajahnya lebam penuh darah. Di belakangnya berdiri tiga laki-laki bertubuh kekar dan berjaket kulit hitam.

Mafia. Pencuri. Tukang palak. Apapun sebutan untuk lelaki jahat itu berkeliaran di otakku. Aku seharusnya berlari meminta pertolongan atau membantu Ayah berdiri. Namun, tubuhku mematung. Otakku penuh tak tentu arah.

Seorang lelaki bertubuh biasa saja masuk ke rumahku kemudian. Dia berjalan sengak menuju Ayahku yang tak berdaya. Lalu menjambak keras rambutnya hingga terdengar rintih suara Ayah.

"Dimana uangnya? Cepat kembalikan atau aku bawa semua barang-barangmu!" Kata lelaki itu sambil meludahi Ayahku di ujung kalimatnya.

Sebuah dekapan menghujaniku. Sejak kapan Ibu menghampiriku. Tapi aku tenang setidaknya aku bisa menjagamu, Bu.

Lelaki yang menjambak Ayahku tampaknya adalah pemimpin mereka. Dengan aba-aba tangan, tiga laki-laki kekar itu berhamburan mengintervensi seluruh sudut rumah. Setiap kamar juga tak luput dari jamahan tangan mereka.

Beberapa barang berharga diangkut keluar termasuk celengan besar buah nanasku. Aah...nyeri hatiku. Apa yang terjadi ini, aku tak bisa berbuat apapun. Nyeri hatiku. Ayah.. Ibu.. istana kita dirusak.... Dan aku hanya bisa diam.

----------

Rumahku lengang. Ini benar-benar lengang bukan hanya karena sepi. Tidak banyak barang tersisa di rumah sejak kejadian seminggu yang lalu. Kami juga tak berani melaporkan kejadian ini karena ternyata Ayah yang sering jarang pulang sudah menjadi buronan mereka.

Ayahku bukan penjahat hanya saja Ayah terjebak dengan orang-orang jahat. Salahku dan Ibu tak bisa menjadi sandaran untuknya. Salahku dan Ibu yang selalu meminta ini dan itu. Salahku dan Ibu tak pernah mendengar kisah hari-harinya.

Namun penyesalan memang tak pernah adil bukan? Datang bukan karena ketidaksengajaan tetapi karena undangan kami, aku dan Ibu. Tapi biarlah kami menanggung deranya selama Ayah bisa kembali ke sisi. Aku berharap sangat atas ini.

Iya. Ayahku masih dirawat di rumah sakit. Beberapa tulangnya patah. Kini aku dan Ibu bergantian menunggunya. Berdoa setiap saat untuk kesembuhannya. Kini aku dan Ibu juga berusaha bekerja untuk membangun kembali keluarga kami.

Aku harus segera pergi. Sudah saatnya berganti waktu dengan Ibu menjaga Ayah. Aku kunci pintu rumah dan bergegas keluar pagar. Di pagar itu masih ada lentera. Lenteranya rusak. Lentera merah yang sangat aku suka telah rusak. Dalam lentera merah itu ada kenangan pahit. Lentera merah itu tidak lagi merah tapi hitam, bagiku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

EOA GOLD, Investasi Emas Dunia Akhirat

Mengenal Sereal Umbi Garut, Manfaat, dan Cara Mengonsumsi

Unlogic Birth dalam Al Quran