Cabut gigi
Pagi ini aku cabut gigi. Rasanya sakit. Bukan di daerah gigi yang dicabutnya. Tapi ada hal lain yang membuatnya lebih sakit dan nyeri, dan rasanya ada di dalam hati. Jauh di lubuk hatiku yang setiap waktu selalu berusaha aku hapus dan kutumpuk dengan kebahagiaan serta obat penghilang rasa sakitnya. Itu semua percuma karena hari ini semuanya terasa kembali hidup nyata.
Kejadian itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Mungkin saat itu aku berusia 7 atau 8 tahun sekitar kelas 2 SD. Aku memang sering bermasalah dengan gigiku. Dulu gigiku tumbuh gingsul, karena aku takut mencabut gigiku yang sudah goyang, jadi aku biarkan saja gigiku tumbuh agar aku tidak terlihat ompong. Akhirnya, Bapak sering mengajakku ke puskesmas untuk mencabut gigiku yang gingsul itu. Saat itu, Bapak sepertinya belum mengenal dokter gigi yang praktek, jadi aku selalu dibawanya ke puskesmas. Atau karena biayanya yang lebih murah ya? Entahlah1 Saat itu aku tidak mengerti apapun dan tidak ingin berkeingintahuan lebih untuk menanyakan hal itu. Yang aku ingat saat itu, aku gembira dan takut karena gigiku akan dicabut.
Seingatku, setelah gigiku dicabut oleh seorang dokter laki-laki, aku menangis, karena ketika itu tidak menggunakan bius lokal untuk menghilangkan rasa sakitnya. Dan rasanya benar-benar sakit, jadilah aku menangis merasakan gigiku yang dicopot paksa oleh dokter. Tapi, saat itu ada Bapak yang mendiamkan aku, dan berjanji akan membelikan aku ice cream untuk menghilangkan rasa ngilunya. Aku sangat senang saat itu, karena saat itu ice cream bukanlah makanan biasa. Ice cream hanya diberikan Bapak pada saat-saat tertentu saja. Jadilah, aku diam setelah diberikannya ice cream. Kenangan itu indah sekali, tapi kenapa malam ini membuat aku menangis? Rasanya sesak...
Pagi ini, aku cabut gigi. Tanpa siapapun. Hanya aku sendiri. Aku sudah dewasakan? Umurku sudah 22 tahun. Pagi ini gigiku dicabut bukan karena aku nakal tidak berani mencabut gigiku yang sudah goyang, tapi karena aku nakal membuat gigiku bolong hingga menimbulkan polip (daging tumbuh) di dalamnya. Aku bertekad akan mencabut gigiku karena beberapa minggu yang lalu, gusi di gigi bolongku ini bengkak. Habislah aku menjadi orang aneh saat kuliah, karena mukaku yang tidak simetris akibat gusiku yang bengkak ini. Aku tidak mau hal tersebut terulang lagi, makanya aku bertekad mencabut gigiku.
Sampailah keberanianku di tanggal 2 Jnuari 2014. Aku pergi kesebuah praktek dokter gigi. Ketika itu, dokter wanita itu bilang masih ada peradangan di gusiku, jadi aku harus minum obat dulu selama 3 hari, barulah bisa dicabut gigi bolongnya. Aku menurut saja, karena aku yakin bahwa dokter tersebut ahli untuk menangani hal-hal semacam ini. Akhirnya, pagi ini jadwal aku mencabut gigi.
Awalnya, sempat ragu karena Ibu bilang kalau belum sembuh nanti sakit dicabutnya. Tapi, aku berpikir lagi, dari pada terjadi bengkak yang tidak menyenangkan itu lebih baik aku cabut saja. Dengan pergulatan yang hebat dipikiranku, akhirnya aku memutuskan untuk tetap mencabut gigiku. Aku pergi sendiri kesana, naik angkutan umum, tanpa siapapun, tanpa Bapak...
Prosesnya tidak begitu menyiksa karena dokter memberikan bius di daerah gigiku yang akan dicopot. Jadi, rasanya tidak terlalu sakit. Tapi, setelah itu sangat sakit. Bukan di daerah bekas cabutan, tapi di sini, di hatiku.
Setelah dokter berhasil mencabut gigiku, efek dari bius itu masih terasa selama 3 jam. Rasanya bibirku dan daerah sekitar gigiku yang dicabut terasa tebal sekali. tapi, dokter bilang itu hanya perasaan saja, kamuflase syaraf, padahal bibirku tetap normal, dan tetap tertutup. Aku jadi membayangkan simbah, apa rasanya mati syaraf seperti itu? Terasa terbuka mulutnya, padahal tertutup? Ampuni aku ya mbah jika aku tidak bisa mengerti apa yang Engkau rasakan.
Lebih sedihnya lagi aku harus pulang sendiri dalam kondisi seperti itu naik angkutan umum. Tanpa Bapak, yang biasanya mendengarkan petunjuk dari dokter lalu mendiamkan aku dengan memberikanku ice cream. Rasanya ada yang hilang. Benar-benar ada yang hilang. Tapi, bukankah, hal ini sering aku rasakan? Kenapa perasaan ini terus muncul? Apakah aku masih tidak bisa menerima bahwa Bapak sudah meninggalkan keluargaku? Huff....
Yang saat ini aku bayangkan adalah waktu yang sudah mengubahnya. Aku tidak menyalahkan waktu, aku hanya ingin waktu itu kembali datang lagi. Saat ini Bapak sedang sakit, aku tidak tahu bagaimana kondisinya sekarang. Seandainya Bapak ada di rumah. menjadi Bapak yang untuh untuk hanya keluargaku. Seandainya Bapak ada di rumah, meskipun terbaring lemah, aku pasti tidak akan sesakit ini rasanya dalam hatiku. Tak pernah melihatnya. Aku rindu dengannya. Aku bahkan tak ingat kapan terakhir Bapak memelukku. Bisakah itu aku rasakan lagi? Bisakah dia datang ke rumah hanya untuk keluargaku. Tidak bisakah dia kembali hanya untuk keluargaku? Tidak bisakah dia mengantarkanku lagi pergi mencabut gigiku?
Aku pikir aku membencinya. Tapi, dalam diam, aku selalu merindukannya, dan terus berharap Bapak akan pulang kembali ke rumahku, ke rumah kita. Aku selalu berharap Bapak kembali suatu hari nanti. Aku akan sangat bahagia. Aku selalu merindukannya ya Allah. Tidak bisakah Engkau mengembalikannya ke keluargaku? Tidak bisakah Engkau menguatkan jalannya untuk pulang ke rumah? Tidak bisakah Engkau membuatnya kembali kepada Ibu? Apakah mereka berdua tidak berjodoh sehingga Engkau tidak mempersatukannya kembali? Ya Allah air mataku tidak bisa berhenti keluar.... Kenapa ini? hik..hik...hik...
Kejadian itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Mungkin saat itu aku berusia 7 atau 8 tahun sekitar kelas 2 SD. Aku memang sering bermasalah dengan gigiku. Dulu gigiku tumbuh gingsul, karena aku takut mencabut gigiku yang sudah goyang, jadi aku biarkan saja gigiku tumbuh agar aku tidak terlihat ompong. Akhirnya, Bapak sering mengajakku ke puskesmas untuk mencabut gigiku yang gingsul itu. Saat itu, Bapak sepertinya belum mengenal dokter gigi yang praktek, jadi aku selalu dibawanya ke puskesmas. Atau karena biayanya yang lebih murah ya? Entahlah1 Saat itu aku tidak mengerti apapun dan tidak ingin berkeingintahuan lebih untuk menanyakan hal itu. Yang aku ingat saat itu, aku gembira dan takut karena gigiku akan dicabut.
Seingatku, setelah gigiku dicabut oleh seorang dokter laki-laki, aku menangis, karena ketika itu tidak menggunakan bius lokal untuk menghilangkan rasa sakitnya. Dan rasanya benar-benar sakit, jadilah aku menangis merasakan gigiku yang dicopot paksa oleh dokter. Tapi, saat itu ada Bapak yang mendiamkan aku, dan berjanji akan membelikan aku ice cream untuk menghilangkan rasa ngilunya. Aku sangat senang saat itu, karena saat itu ice cream bukanlah makanan biasa. Ice cream hanya diberikan Bapak pada saat-saat tertentu saja. Jadilah, aku diam setelah diberikannya ice cream. Kenangan itu indah sekali, tapi kenapa malam ini membuat aku menangis? Rasanya sesak...
Pagi ini, aku cabut gigi. Tanpa siapapun. Hanya aku sendiri. Aku sudah dewasakan? Umurku sudah 22 tahun. Pagi ini gigiku dicabut bukan karena aku nakal tidak berani mencabut gigiku yang sudah goyang, tapi karena aku nakal membuat gigiku bolong hingga menimbulkan polip (daging tumbuh) di dalamnya. Aku bertekad akan mencabut gigiku karena beberapa minggu yang lalu, gusi di gigi bolongku ini bengkak. Habislah aku menjadi orang aneh saat kuliah, karena mukaku yang tidak simetris akibat gusiku yang bengkak ini. Aku tidak mau hal tersebut terulang lagi, makanya aku bertekad mencabut gigiku.
Sampailah keberanianku di tanggal 2 Jnuari 2014. Aku pergi kesebuah praktek dokter gigi. Ketika itu, dokter wanita itu bilang masih ada peradangan di gusiku, jadi aku harus minum obat dulu selama 3 hari, barulah bisa dicabut gigi bolongnya. Aku menurut saja, karena aku yakin bahwa dokter tersebut ahli untuk menangani hal-hal semacam ini. Akhirnya, pagi ini jadwal aku mencabut gigi.
Awalnya, sempat ragu karena Ibu bilang kalau belum sembuh nanti sakit dicabutnya. Tapi, aku berpikir lagi, dari pada terjadi bengkak yang tidak menyenangkan itu lebih baik aku cabut saja. Dengan pergulatan yang hebat dipikiranku, akhirnya aku memutuskan untuk tetap mencabut gigiku. Aku pergi sendiri kesana, naik angkutan umum, tanpa siapapun, tanpa Bapak...
Prosesnya tidak begitu menyiksa karena dokter memberikan bius di daerah gigiku yang akan dicopot. Jadi, rasanya tidak terlalu sakit. Tapi, setelah itu sangat sakit. Bukan di daerah bekas cabutan, tapi di sini, di hatiku.
Setelah dokter berhasil mencabut gigiku, efek dari bius itu masih terasa selama 3 jam. Rasanya bibirku dan daerah sekitar gigiku yang dicabut terasa tebal sekali. tapi, dokter bilang itu hanya perasaan saja, kamuflase syaraf, padahal bibirku tetap normal, dan tetap tertutup. Aku jadi membayangkan simbah, apa rasanya mati syaraf seperti itu? Terasa terbuka mulutnya, padahal tertutup? Ampuni aku ya mbah jika aku tidak bisa mengerti apa yang Engkau rasakan.
Lebih sedihnya lagi aku harus pulang sendiri dalam kondisi seperti itu naik angkutan umum. Tanpa Bapak, yang biasanya mendengarkan petunjuk dari dokter lalu mendiamkan aku dengan memberikanku ice cream. Rasanya ada yang hilang. Benar-benar ada yang hilang. Tapi, bukankah, hal ini sering aku rasakan? Kenapa perasaan ini terus muncul? Apakah aku masih tidak bisa menerima bahwa Bapak sudah meninggalkan keluargaku? Huff....
Yang saat ini aku bayangkan adalah waktu yang sudah mengubahnya. Aku tidak menyalahkan waktu, aku hanya ingin waktu itu kembali datang lagi. Saat ini Bapak sedang sakit, aku tidak tahu bagaimana kondisinya sekarang. Seandainya Bapak ada di rumah. menjadi Bapak yang untuh untuk hanya keluargaku. Seandainya Bapak ada di rumah, meskipun terbaring lemah, aku pasti tidak akan sesakit ini rasanya dalam hatiku. Tak pernah melihatnya. Aku rindu dengannya. Aku bahkan tak ingat kapan terakhir Bapak memelukku. Bisakah itu aku rasakan lagi? Bisakah dia datang ke rumah hanya untuk keluargaku. Tidak bisakah dia kembali hanya untuk keluargaku? Tidak bisakah dia mengantarkanku lagi pergi mencabut gigiku?
Aku pikir aku membencinya. Tapi, dalam diam, aku selalu merindukannya, dan terus berharap Bapak akan pulang kembali ke rumahku, ke rumah kita. Aku selalu berharap Bapak kembali suatu hari nanti. Aku akan sangat bahagia. Aku selalu merindukannya ya Allah. Tidak bisakah Engkau mengembalikannya ke keluargaku? Tidak bisakah Engkau menguatkan jalannya untuk pulang ke rumah? Tidak bisakah Engkau membuatnya kembali kepada Ibu? Apakah mereka berdua tidak berjodoh sehingga Engkau tidak mempersatukannya kembali? Ya Allah air mataku tidak bisa berhenti keluar.... Kenapa ini? hik..hik...hik...
Komentar
Posting Komentar