Cerita Ramadhan di Norwegia
Berangkat dari sebuah pengalaman menarik Icha Savitry, seorang WNI, yang tinggal di Norwegia. Aku jadi tertarik menelisik bagaimana cerita Ramadhan di Norwegia. Walaupun ada juga cerita inspirasi lain yang menarik Layar Tambat.
Tentu saja berbekal kecanggihan teknologi, semua informasi langsung bisa diakses dengan mudah. Aku pun dapat dengan mudah menemukan tulisan-tulisan inspiratif dari Bunda Icha di Norwegia, khususnya terkait Ramadhan.
Maha Kuasa Tuhan yang sudah menciptakan semesta dengan luar biasa. Sungguh agung tanpa cacat. Semua bermakna tidak terhingga. Namun tetap bisa dihikmati dalam kebesaranNya.
Jangan Asal Menilai Waktu
Aku teringat beberapa kali Tuhan menyebut waktu dalam firmanNya. Berdasarkan hal tersebut sudah tentu ada sesuatu dari waktu yang perlu ditelisik lebih dalam. Sebab, tidak mungkin Tuhan menciptakan sesuatu dengan sia-sia.
Waktu tidak hanya terkait dengan pergantian siang dan malam. Waktu juga bukan hanya tentang jam dan perhitungan hari. Rupanya dalam waktu, Tuhan memberikan banyak tanda kebesaranNya.
Selain itu, waktu berkaitan erat dengan perputaran matahari dan bulan. Sehingga terjadi perbedaan di satu lokasi dengan lokasi lain, dan di satu wilayah dengan wilayah lain. Dan sekali lagi, ada tanda kebesaran Tuhan pada waktu. Salah satunya tentang durasi berpuasa.
Singkatnya, durasi berpuasa di Indonesia akan berbeda dengan durasi berpuasa negara lain di dunia. Meskipun begitu, hal yang menarik yakni bagaimana cerita Ramadhan di Norwegia?
Durasi puasa di Norwegia
Menurut Bunda Icha, durasi puasa selama Ramadhan di Norwegia tidak sesederhana menentukan durasi puasa di negeri khatulistiwa seperti Indonesia. Lantaran, Norwegia memiliki empat musim dengan waktu yang berbeda pula.
Jadi, ketika musim gugur atau musim dingin, durasi puasa mempunyai waktu yang tegas. Maksudnya, waktu memulai hingga mengakhiri puasa sangat terlihat. Sedangkan, saat musim semi dan panas, durasi puasa cukup membuat ragu. Sebab, matahari bisa terang terus selama 24 jam.
Meskipun matahari terbenam paling hanya 1-2 jam saja lalu muncul kembali. Maka betapa tampak berat untuk berpuasa dengan matahari yang terus bersinar seperti itu. Bahkan mereka bisa berpuasa selama 20 jam penuh.
Walaupun demikian, tidak seluruh muslim menjalaninya. Ada fatwa khusus terkait durasi berpuasa. Mulai dari berpuasa mengikuti pergerakan matahari, menghitung latitude, membagi waktu menjadi 3, hingga mengikuti waktu Mekkah atau negara muslim terdekat.
Muslim Minoritas Tak Jadi Halangan
Beruntung, Indonesia merupakan negara dengan mayoritas muslim. Bahkan menjadi negara muslim terbesar. Menakjubkan meski tak luput juga dari beragam prahara dan perbedaan amaliah cabang yang masih saja jadi perdebatan.
Di negara lain dengan jumlah muslim yang sedikit, membuat muslim minoritas perlu sedikit ekstra bekerja keras. Tentu saja ada banyak perbedaan antara aturan Islam dengan lainnya. Mulai dari beribadah hingga makanan.
Namun kenyataannya, muslim minoritas selalu memiliki keunggulan tersendiri. Misalnya, mereka menjadi lebih kompak dan saling tolong menolong antar sesama. Tak jarang juga mereka salaing menguatkan dengan keterbatasan kondisi di negeri lain.
Termasuk juga di Norwegia yang menjadi negara dengan jumlah warga muslim minoritas. Nah, pasti menarik nih menyimak kisah Bunda Icha yang melaksanakan Ramadhan di negeri muslim minoritas.
Gaya muslim minoritas berpuasa di Norwegia
Sebagai muslim minoritas di Norwegia, Bunda Icha sudah paham betul cara bertoleransi tapi tetap sesuai aturan Islam. Pada hakikatnya, Ramadhan juga tentang melatih diri dengan menundukkan pandangan atau ghadhul bashshar.
Oleh karena itu, Bunda Icha juga menanamkan aturan tersebut kepada putranya yang bernama Fatih. Fatih yang masih bersekolah juga selalu diingatkan bahwa menjaga keistiqomahan saat berpuasa itu penting. Walaupun harus tetap bersekolah di tengah mayoritas yang tidak berpuasa.
Selain itu, Fatih juga selalu diberikan pemahaman kalau agama Islam itu meski tegas tapi tetap welas asik. Menjadikan puasa juga sebagai bentuk dakwah kepada nonmuslim. Sehingga dapat dipastikan bahwa beragam bukan sekedar identitas tapi juga perjuangan. Lalu bukan hanya keturunan tapi atas pilihan.
Dari negara dengan muslim minoritas, membuat agama menjadi sesuatu yang benar-benar diperjuangkan. Sebagaimana Islam datang dengan asing lalu akan kembali dengan asing pula. Begitulah pelajaran yang bisa terus meningkatkan iman dan taqwa.
Harapannya, Ramadhan tidak hanya menjadi bulan penuh berkah tapi juga menjadi momen awal untuk memperkuat dan meningkatkan iman dan taqwa. Sebab, hanya dengan iman dan taqwa, manusia bisa lulus menjadi seorang muslim.
Komentar
Posting Komentar