Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2017

Jalan Hijrah

Kalau bukan karena hidayah dari Allah, mungkin pagi ini aku tidak berada diantara puluhan muslimin dan muslimah ini. Di ruangan seminar kecil yang menampung kurang dari seratus orang, aku memilih duduk di tengah agar bisa lebih leluasa mengamati sekitar. Meskipun aku sejak kecil sudah beragama Islam tetapi aku jamin pengetahuanku tentang Islam tentu tidak sebanding dengan umurku saat ini. Seperti itulah awalnya, aku bertekad mengikuti kelas intensif mengaji di kota tinggalku. "Islam itu kebenaran. Agama yang membawa kebenaran," seorang Ustadz memulai narasi di depan ruangan. "Jika Islam tidak membawa sesuatu, kenapa bangsa Qurais yang merupakan bangsa hebat dan besar, menjadi kalang kabut dibuatnya. Jika Islam tidak membawa sesuatu, mengapa bangsa yang begitu besar justru gusar meredam pergerakannya. Bahkan merasa amat terancam hingga segala cara dari yang masuk akal hingga tak masuk akal dilakukan," lanjutnya. Semua mata tak berkedip. Aku pun ikut takjub di

Kamu Adalah Keinginan-Keinginan yang Salah

Rentetan sesak ini bernama kamu. Kamu, yang aku tulis dalam rangkaian angka, lalu aku kejar sekuat tenaga. Kamu, yang aku bawa dalam setiap doa, lalu aku jadikan sasaran dalam melangkah. Kamu, yang aku titipkan pinta pada setiap kawan, lalu aku amiin kan setegar baja. Lantas aku sadar. Aku lupa mengartikan wujudmu yang sebenarnya. Aku salah menafsirkan rentetan sesak ini sebagai kamu. Aku terlalu buru-buru menyimpulkan bahwa kamu adalah keinginan-keinginanku yang belum terwujud. Maka, ijinkan aku mengembalikan rentetan sesak ini pada posisi yang tepat. Karena kamu yang adalah daftar keinginanku itu salah. Aku mengejar sekuat tenaga keinginan-keinginan hanya untuk dunia itu salah. Aku yang membawa keinginan-keinginan dalam setiap doa agar dikabulkan-Nya itu salah. Aku yang menitipkan pinta agar keinginan-keinginan terwujud itu salah. Bukankah Allah sudah menakdirkan apa yang kita butuhkan hingga tak ada kata kekurangan dalam hidup? Bukankah Allah sudah menjamin re

Meletakan Kembali

"Tuhan, bagaimana membuat anakku mengerti betapa berat beban yang harus aku tanggung. Aku tidak ingin mereka tahu dan ikut memikirkan hal-hal yang tidak seharusnya mereka pikirkan," ratapku di tengah malam. Aku hanya ingin mengadu pada-Nya. Supaya harap dalam jiwa ini tak salah dihempaskan. Karena rasa kecewa itu sering kali akibat ulahku sendiri yang selalu ingin lebih. "Ma...." Aku hapus segera air mata yang mengalir. Suamiku butuh dukungan penuh untuk menghadapi semua ini. Tentu air mataku akan melemahkannya. "Iya Pa? Kok Papa bangun? Ada apa?" Untunglah tidak ada mata ke-4 yang dikenakannya. Aku bisa bebas melahap setiap garis di wajahnya. Lalu diam-diam membiarkan hatiku jatuh cinta lagi. "Makasih ya Ma untuk semuanya. Mama selalu kuat buat Papa. Papa tahu Mama itu rapuh makanya dulu Papa pilih Mama biar Papa bisa jadi laki-laki sejati. Hehe...." Bagaimana aku ini? Menangis sambil ikut tertawa mendengar ocehannya. Air mataku le

Rutin Menghisab

Sebaik-baik makhluk adalah yang sering menghisab perbuatannya sendiri. Sudah sebulan aku putuskan pergi dari segala kenyamanan. Kenyamanan yang ternyata menyesakan dada. Lalu, apakah kini keputusan yang aku pilih tidak menyesakan dada? Jawabannya masih, hanya saja dalam bentuk berbeda. Kali ini sesak di dadaku merupakan suatu kenikmatan. Nikmatnya setiap detik bisa merasakan keindahan. Sungguh nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Tidak ada, Tuhan. Tidak ada. Aku lemah dan kuat dalam waktu yang sama. Aku hebat dan payah dalam detik yang sama. Aku renta dan muda dalam nikmat yang sama. Dan, segalanya sungguh tak ingin aku tukar dengan apapun. Sebesar harap semua pengharapan. Aku pun ikut melesat bersama hamparan putih awan-awan. Melambung dan melayang setingkat pelangi warna-warni. Aku kagum menikmati. Ada banyak hal tidak terduga datang tetapi keinginanku teramat abai. Aku harus segera mengerti untuk tidak keras pada keinginan lalu lupa berkecukupan. Biarkan tangan-