Rusak Luar Biasa
Beberapa jam yang lalu aku mergokin dua laki-laki remaja yang mau maling rokok di warung Ibu. Saat itu sampai sekarang suasana hatiku sedang buruk, dengan berani aku marah-marah ke mereka. Padahal kakiku gemeran sekali. Tapi, aku mencoba berani. Jika saat itu mereka tahu kalau aku seorang wanita di rumah sendirian, pasti mereka akan tetap mengambil rokoknya. Hemm...tapi aku kan bisa teriak. hehehe... Meskipun itu tidak mungkin karena setelah mereka pergi, aku cuma bisa menyesal. Menyesal karena aku tidak menggampar mereka, atau memeriksa kantung jaketnya, atau melabrak dan menanyai mereka apakah mereka sudah sering berbuat seperti itu, atau menceramahi mereka apakah mereka tidak pernah shalat sehingga tidak tahu bahwa mencuri itu adalah perbuatan dosa, atau menceramahi mereka apakah mereka tidak berpendidikan. Heeuuu...Banyak hal yang seharusnya bisa aku lakukan saat itu. Tapi aku cukup senang karena ini adalah pertama kalinya hal terebut terjadi, dan aku bisa melewatinya. Yesss... hehehe....
Setelah itu aku sedih karena membayangkan seandainya saat itu Ibu ku sendirian dan yang maling bukan anak remaja seperti tadi, tapi, orang dengan badan tegap besar berwajah sangar dan membawa senjata. Haduh apa yang akan dilakukan oleh Ibuku? Sedetik kemudian aku menangis sejadinya-jadinya karena beberapa saat sebelumnya aku sedang marah dengan Ibuku karena masalah sepele yaitu makan, dan aku ngambek tidak mau ikut ke acara ulang tahunnya Fahri, keponakanku. Aku merasa bersalah dan meraung-raung meminta maaf. Yah...apa boleh buat posisiku memang bersalah saat itu.
Hatiku terus berkecamuk... Akhirnya aku memutuskan untuk mandi, mengguyur kepalaku agar semua penak ini luluh dalam aliran air yang jatuh. Tapi bukan itu yang aku dapat. Aku malah teringat kenangan-kenangan, kenapa Ibuku seorang wanita harus mencari nafkah? Kemanakah figur seorang laki-laki? Dan baru saja maling itu adalah laki-laki? Apakah masih pantas aku harus mencintai seorang laki-laki? Kakak laki-lakiku satu-satunya saja tidak mampu merubah citra laki-laki di dunia ini. Egois, tidak peduli, tidak peka, tidak empati, tidak ada kasih sayang, tidak ada logika, dan tidak ada hati. Kalian hanyalah makhluk....bukan Adam.. bukan Pemmimpin, bukan Muhammad, bukan Rasul.
Aku jadi kesal dengan Bapak. Dia bukanlah seorang ayah.. Apakah masih pantas disebut ayah? Apa yang sudah dia buat untuk keluarga ini? Tidak ada kepedulian!!!
Setelah itu aku sedih karena membayangkan seandainya saat itu Ibu ku sendirian dan yang maling bukan anak remaja seperti tadi, tapi, orang dengan badan tegap besar berwajah sangar dan membawa senjata. Haduh apa yang akan dilakukan oleh Ibuku? Sedetik kemudian aku menangis sejadinya-jadinya karena beberapa saat sebelumnya aku sedang marah dengan Ibuku karena masalah sepele yaitu makan, dan aku ngambek tidak mau ikut ke acara ulang tahunnya Fahri, keponakanku. Aku merasa bersalah dan meraung-raung meminta maaf. Yah...apa boleh buat posisiku memang bersalah saat itu.
Hatiku terus berkecamuk... Akhirnya aku memutuskan untuk mandi, mengguyur kepalaku agar semua penak ini luluh dalam aliran air yang jatuh. Tapi bukan itu yang aku dapat. Aku malah teringat kenangan-kenangan, kenapa Ibuku seorang wanita harus mencari nafkah? Kemanakah figur seorang laki-laki? Dan baru saja maling itu adalah laki-laki? Apakah masih pantas aku harus mencintai seorang laki-laki? Kakak laki-lakiku satu-satunya saja tidak mampu merubah citra laki-laki di dunia ini. Egois, tidak peduli, tidak peka, tidak empati, tidak ada kasih sayang, tidak ada logika, dan tidak ada hati. Kalian hanyalah makhluk....bukan Adam.. bukan Pemmimpin, bukan Muhammad, bukan Rasul.
Aku jadi kesal dengan Bapak. Dia bukanlah seorang ayah.. Apakah masih pantas disebut ayah? Apa yang sudah dia buat untuk keluarga ini? Tidak ada kepedulian!!!
Komentar
Posting Komentar